Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Demi Anak Bangsa Sampai Sarjana, Tolong Prioritaskan Kuliah Domestik

21 April 2023   11:49 Diperbarui: 22 April 2023   02:47 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Thinkstock via KOMPAS.com

Sebentar lagi, kita akan menyambut UTBK SNBT dan berarti tidak lama lagi para orang tua harus bersiap-siap membayar uang kuliah bagi mereka yang berhasil mendapatkan kursi perguruan tinggi idaman.

Nah, awal Februari lalu, dunia maya dihebohkan dengan penolakan warganet atas pemberlakuan uang pangkal untuk mahasiswa baru dari jalur mandiri di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) sebelum akhirnya PTN tersebut memutuskan untuk tidak jadi melakukannya dan membuka kesempatan bagi kaum mampu memberikan sumbangan. 

Bulan ini, salah satu PTN lainnya memutuskan untuk menaikkan batas atas uang kuliah tunggal nonpilihan bagi mahasiswa baru dari jalur seleksi nasional hingga mencapai sekitar dua hingga tiga kali lipat.

Di satu sisi, kita tidak jarang mendengar ogahnya sebagian alumni LPDP untuk "pulang kampung" setelah "menghabiskan sebagian keringat rakyat". Sungguh dua kondisi ini menjadi ironi yang cukup menyayat hati generasi penerus bangsa.

Kuliah Sarjana di dalam negeri terasa mahal

Pendidikan jenjang Sarjana sebagai "kebutuhan dasar" pekerja masa kini tentu membutuhkan biaya besar termasuk pula terkait operasional sehari-hari dan apalagi banyak mahasiswa harus merantau.

Perguruan tinggi negeri menjadi dambaan dan usaha untuk lulus melalui jalur seleksi nasional dilakukan dengan keras demi bebasnya uang pangkal, meskipun terkadang ujung-ujungnya membayar kursus persiapan yang tidak murah ketika ujian tulis harus dihadapi. Sekalipun akhirnya berhasil pun, perjalanan berikutnya belum tentu semudah dan semulus itu.

Banyak mahasiswa di berbagai perguruan tinggi mengeluhkan besaran UKT yang dinilai melampaui kemampuan sekalipun dokumen finansial sudah lengkap diberikan. Sampai-sampai, sekitar awal tahun ini mendengar kisah seorang mahasiswi dengan perjuangan yang begitu keras untuk membayar UKT di suatu PTN sampai menghembuskan napas terakhirnya.

Beasiswa itu memang ada, tetapi seringkali hanya tersedia untuk mahasiswa di fakultas atau jurusan tertentu, tidak dimulai dari tahun-tahun awal, membutuhkan performa akademik dan nonakademik yang sangat mengesankan, belum lagi ikatan dinas jika pemberinya adalah pihak korporasi.

Masalah bertambah jika masuk melalui jalur mandiri, tidak jarang mahasiswa harus membayar uang pangkal yang nilainya setara atau bahkan melebihi perguruan tinggi swasta yang cukup terkemuka.

UKT di beberapa perguruan tinggi juga lebih mahal dari golongan tertinggi untuk mahasiswa dari jalur seleksi nasional dan beasiswa tertentu tidak tersedia untuk mereka.

Pendidikan gratis ke luar negeri yang kurang efektif dan menyesakkan hati

Di sisi lain, LPDP memberikan pembiayaan untuk pendidikan jenjang Magister dan Doktoral sampai ke luar negeri secara cuma-cuma dengan satu tanggung jawab sederhana untuk pulang ke Tanah Air setelah lulus. Dengan besarnya biaya yang digelontorkan, ada saja alumni yang tidak pulang karena merasa sulit mencari pekerjaan di sini dan jika ada pun pendapatannya kurang menarik. 

Ini sungguh mengesalkan bagi masyarakat, sudah kuliah mahal-mahal di jenjang yang belum menjadi kebutuhan dasar bagi sebagian besar sektor, ogah pula mengabdi padahal tidak dituntut harus turun tangan menjadi dosen atau PNS.

Tidak jarang juga alumni yang pulang belum tentu benar-benar memberikan kontribusi yang nyata baik di dunia pendidikan, birokrasi, maupun industri. Berangkat kuliah karena sulit mencari kerja atau belum siap bekerja, pulang-pulang kemudian menikah dan menjadi ibu rumah tangga. 

Bersama dengan program IISMA yang memberikan kesempatan student exchange untuk mahasiswa S1 dalam negeri secara cuma-cuma, ya jadi terasa buang-buang uang yang ironisnya banyak diserap kaum mampu.

Di usia yang tidak muda lagi, banyak orang memutuskan untuk lulus kuliah Sarjana dengan cepat tanpa memikirkan student exchange dan kelanjutan ke jenjang yang lebih jauh demi mencari uang tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga keluarga yang harus dinafkahi.

Fokuskan pencapaian kelulusan Sarjana domestik, prioritaskan beasiswa luar negeri bagi yang memerlukan

Berbagai usulan dikicaukan di Twitter untuk menyelesaikan masalah ini dan sebagian besar cukup bagus jika diterapkan. Intinya, lebih baik Pemerintah menempatkan dana lebih besar untuk memfokuskan perjalanan pendidikan anak bangsa sampai lulus jenjang Sarjana. 

Tidak masalah jika mentok-mentok di dalam negeri, asalkan kuota seleksi nasional lebih banyak, tidak perlu membayar uang pangkal, dan UKT lebih terjangkau.

Tak sampai di situ, Pemerintah juga perlu memantau agar mahasiswa tidak menghadapi beban operasional yang terlalu tinggi, apalagi jika disebabkan oleh kegiatan yang sebenarnya tidak terasa esensial. Contohnya? Mohon maaf, konser di salah satu perguruan tinggi dan berujung pada kebutuhan panitia untuk "menomboki" cukup besar karena tiket kurang laku.

Sebaliknya, dana untuk kuliah magister dan doktoral ke luar negeri bisa diprioritaskan bagi para dosen, PNS, peneliti, dan figur lainnya yang dinilai berprestasi serta memiliki urgensi yang lebih tinggi untuk itu. Jalur umum bisa saja melanjutkan pendidikannya, tetapi diprioritaskan di dalam negeri dulu atau berjuang untuk ke luar negeri dengan kuota yang lebih sedikit.

Sanksi tegas bagi mereka yang tidak serius berkuliah dan gagal memberikan pengabdian

Banyak pihak mengusulkan agar kalangan mampu tidak perlu menerima beasiswa ke luar negeri tetapi cukup diberikan pinjaman alias student loan, tetapi bagi saya hal ini juga membatasi peluang negara untuk berkembang karena mungkin minat belajar lebih jauh akan berkurang. Belum lagi, tanpa bantuan Pemerintah mungkin akan berdampak negatif ke masyarakat ketika nantinya pulang kuliah.

Misalnya, seorang dokter spesialis yang membebankan biaya praktek sangat tinggi karena harus membiayai kuliahnya yang mahal dan lama.

Sanksi tegas diberikan bagi mereka yang tidak pulang untuk mengabdi atau pulang tetapi membukukan catatan negatif di Tanah Air. LPDP memiliki ketentuan mengabdi selama dua kali masa studi ditambah satu tahun, artinya kita dapat menuntut pengembalian biaya studi beserta dendanya untuk setiap tahun kegagalan selama masa pengabdian wajib tersebut.

Jadi, bantuan tetap berbentuk beasiswa bagi mereka yang taat tetapi menjadi student loan bagi mereka yang gagal melaksanakan kewajiban.

Penerima beasiswa domestik di perguruan tinggi dan mereka yang lolos seleksi nasional secara umum juga perlu dituntut komitmennya dalam menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

Ketika peserta yang lolos seleksi memutuskan untuk tidak mendaftar ulang, bisa juga sempat berkuliah tetapi kemudian drop out karena merasa salah jurusan atau pindah ke perguruan tinggi lain, Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian denda berupa uang pangkal yang awalnya tidak perlu dibayarkan.

Praktek sanksi saat ini malah cenderung lebih menghukum sekolah yang bersangkutan dengan mengurangi kesempatan adik kelas untuk lulus melalui jalur seleksi nasional dan ini sungguh kasihan.

Tidak salah kita mengharapkan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan yang lebih baik dengan mendanai pendidikan tingkat lanjut ke luar negeri.

Akan tetapi, ketika dana masih terbatas dan kita masih berjuang menyetarakan tingkat pendidikan masyarakat, meningkatkan tingkat kelulusan program Sarjana terasa lebih penting sekalipun cukup di dalam negeri saja. Universitas berhak mendapatkan dana yang memadai untuk kebutuhan operasionalnya dan lebih baik sebagian dana beasiswa luar negeri dialihkan untuk membuat biaya perkuliahan domestik lebih terjangkau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun