Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Kurikulum 2022 Benar-benar Menarik untuk Siswa SMA?

29 Desember 2021   23:22 Diperbarui: 30 Desember 2021   08:23 2576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para siswa kelas 12 MIPA 3 SMAN 1 Tangerang yang mengikuti uji coba pembelajaran tatap muka (PTM) perdana pada Senin (6/9/2021).(KOMPAS.com/MUHAMMAD NAUFAL)

Hadirnya kurikulum prototipe dari Kemdikbud, yang ramai disebut sebagai Kurikulum 2022, disambut bahagia oleh warganet. Padahal, poin bahagia soal penghapusan jurusan di jenjang SMA belum bersifat wajib dan baru dilakukan oleh sekolah yang berminat serta memiliki kesiapan. 

Bagaimana dengan penyatuan pelajaran IPA dan IPS menjadi IPAS di jenjang SD? Juga pelajaran informatika yang kembali diwajibkan di jenjang SMP dan bahasa Inggris yang dikabarkan menjadi opsional di jenjang SD?

Namanya juga manusia, perhatian lebih ditujukan pada hal-hal yang berpotensi memberikan kebebasan dan kemudahan ekstra. 

Mereka yang merasa diuntungkan, yaitu siswa yang saat ini duduk di jenjang SMP ke bawah, jelas senang karena berkurang bebannya ke depan dalam menghadapi pelajaran yang tidak sesuai dengan minat dan bakat. 

Akankah kurikulum baru ini benar-benar menarik jika dibandingkan dengan Kurikulum 2013 yang sudah ada?

Fleksibilitas memilih mata pelajaran bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sekarang menimbulkan dilema

Sebenarnya, di kurikulum 2013 sudah tersedia kesempatan bagi siswa suatu jurusan untuk memperdalam materi terkait jurusan lain melalui skema lintas minat. Hanya saja, pelajaran lintas minat ini akan berkurang dari dua, di kelas sepuluh ke satu saja di kelas sebelas dan dua belas. 

Bagi saya yang sejak awal duduk di bangku SMA pilihannya sudah terbatas, aktuaria sebagai pilihan utama dengan pemrograman sebagai rencana cadangan, skema ini sudah terasa cukup dengan ekonomi sebagai pelajaran lintas minatnya.

Keuntungannya terasa jelas. Ketika saya mengikuti seleksi SBMPTN empat tahun lalu, saya beruntung tidak perlu mengeluarkan dana lebih untuk mengikuti program bimbingan tahap akhir alias BTA yang harganya mencapai jutaan Rupiah itu. 

Ujian Sekolah, Ujian Nasional, dan SBMPTN mengujikan pelajaran yang sama sehingga satu set usaha belajar bisa menghadapi tiga ujian sekaligus karena program studi yang diincar sesuai dengan jurusan di SMA. 

Setelah memasuki bangku perkuliahan dan menghadapi ujian profesi, saya tidak sama sekali berada dalam titik nol untuk mempelajari ekonomi dan akuntansi. 

Mata kuliah fisika dasar dan kimia dasar juga bisa dilewati dengan baik, karena saya mempelajarinya cukup mendalam di bangku SMA.

Masalah dengan kurikulum lama muncul bagi mereka yang pilihannya masih beragam dan membutuhkan pelajaran yang berbeda-beda. 

Lihat saja salah satu ilustrasi yang ada, seorang siswa yang saat masuk SMA masih gamang, apakah akan memilih program studi bisnis atau teknik sipil di perkuliahan, mungkin akan memilih pelajaran ekonomi dan geografi secara bersama-sama. 

Di kurikulum lama, dia hanya bisa mempertahankan salah satu pelajaran sampai akhir dan ini bisa menjadi masalah jika dia belum memutuskan satu jurusan secara spesifik untuk berkuliah ketika nanti naik ke kelas sebelas.

Di kurikulum baru, dia akan mempelajari seluruh pelajaran baik yang selama ini hanya ada di jurusan IPA dan IPS selama kelas sepuluh. 

Dia punya waktu satu tahun lebih lama untuk menentukan nasib perkuliahan, yang seharusnya sudah terasa cukup lama karena saat ini banyak anak sudah memikirkannya sejak masih duduk di kelas delapan alias masih SMP. 

Waktu ekstra ini tidak gratis dan harus dibayar dengan usaha ekstra pula untuk mempelajari lebih banyak pelajaran. 

Jika sampai kelas sebelas itu tiba dan masih belum punya pilihan pasti, silakan mengambil dua pelajaran IPA dan dua pelajaran IPS.

Konsekuensinya harus dibayar saat menghadapi SBMPTN. Jika pada tahun 2024 nanti mata pelajaran yang diujikan di SBMPTN masih sama dengan saat ini, itu berarti program studi saintek akan mengujikan empat pelajaran IPA (matematika, fisika, kimia, dan biologi), sedangkan program studi soshum akan mengujikan empat pelajaran IPS (ekonomi, sosiologi, sejarah, dan geografi). 

Memilih program studi bisnis berarti siswa harus mendalami sosiologi dan sejarah secara mandiri, sedangkan memilih program studi teknik sipil berarti siswa harus mendalami dua pelajaran IPA yang tidak dipilihnya secara mandiri. 

Ya, ini tidak sesengsara siswa jurusan IPA selama ini yang harus belajar tiga sampai empat pelajaran IPS secara mandiri ketika memutuskan masuk ke program studi bisnis.

Cerita serupa akan dihadapi oleh mereka yang ingin berkuliah di luar negeri, tetapi mungkin saja berakhir di dalam negeri jika tidak mendapatkan skema beasiswa yang menarik. 

Misalnya seseorang yang ingin berkuliah terkait data science atau programming tertarik dengan universitas yang ujian masuknya "hanya" membutuhkan pengetahuan matematika dan bahasa Inggris. 

Kata "hanya" ditulis dalam kutip karena meskipun dua pelajaran saja yang dibutuhkan, tetapi kemampuan yang dimiliki haruslah mendalam. 

Alhasil, di kurikulum baru harus ada satu pelajaran IPA yang tidak diambil selama duduk di bangku sekolah dengan konsekuensi jika pada akhirnya harus mengikuti SBMPTN, pelajaran tersebut harus didalami secara mandiri. 

Jika menggunakan kurikulum lama, pelajaran bahasa Inggris bisa dipilih sebagai pelajaran lintas minat yang dipertahankan sampai akhir masa SMA dan siswa ini tetap mempelajari semua pelajaran IPA.

Semua dilema ini terjadi karena dalam kurikulum prototipe, pelajaran yang dipilih sesuai minat siswa hanya ada empat jika pelaksanaan nantinya sesuai dengan ilustrasi yang diberikan. 

Ini jelas berkurang dibandingkan total lima pelajaran peminatan di kurikulum lama, di mana empat berasal dari jurusan yang dipilih dan satu berasal dari pilihan lintas minat. 

Hal ini dibutuhkan meskipun jumlah jam belajar yang dihabiskan adalah sama, yaitu dua puluh jam karena terjadi pengurangan jam belajar di kelas sepuluh demi bisa mendapatkan semua pelajaran IPA dan IPS secara bersamaan. Efek negatifnya, jumlah pelajaran peminatan yang didapat justru berkurang. 

Menurut saya, mereka yang nantinya akan diuntungkan adalah penyedia kursus untuk mengajarkan satu pelajaran tambahan bagi mereka yang sangat membutuhkannya.

Jumlah pelajaran yang harus diikuti di kelas sebelas dan dua belas berkurang, tetapi jam belajar tetap sama panjang

Jika melihat daftar mata pelajaran wajib di kurikulum 2013 dan kurikulum prototipe, hanya ada satu pengurangan yaitu prakarya dan kewirausahaan. 

Terus terang saya senang-senang saja dengan hal ini karena tidak merasakan manfaat yang signifikan ketika harus mempelajarinya dulu. Ditambah lagi, proyek yang diberikan terasa kurang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kurang lebih sekitar enam tahun yang lalu, pelajaran itu mengharuskan kami untuk membuat seperangkat radio FM dengan bentuk seperti tape compo jadul. Ditambah lagi, tidak ada slot untuk memutar musik dari CD, tape, dan USB storage. Kami harus membeli FM tuner, speaker, dan perangkat elektronik lainnya, ditambah lagi harus membuat sasis perangkat dari nol. 

Setelah perangkatnya jadi, kami menyadari bahwa biaya produksi perangkat ini lebih mahal dari harga USB music player yang sudah dilengkapi dengan FM tuner, speaker bawaan, jack 3.5 mm, dan storage berkapasitas 512 MB. 

Ditambah lagi, perangkat tersebut berujung jadi rongsokan karena siaran radio bisa didengar dari ponsel baik dengan keberadaan FM tuner maupun live streaming.

Untuk membatasi pengeluaran yang muncul, kami dibagi ke dalam kelompok besar dan seingat saya isinya ada enam orang. Karena perangkat elektronik yang disolder tidak banyak, cukup satu orang saja yang melakukannya. 

Membuat sasis juga hanya membutuhkan dua orang, satu untuk pekerjaan kasarnya dan satu untuk mempercantik desainnya. 

Sisanya, ya cheerleaders. Kebetulan saya adalah orang yang berurusan dengan desain dan ketika ujian praktik di kelas dua belas tetap saja harus belajar menyolder dari nol karena tidak pernah kebagian selama tiga tahun bersekolah. Untunglah ujian praktik berlangsung dengan baik.

Mengubah status pelajaran yang satu ini menjadi pelajaran opsional memang menghemat pengeluaran dan waktu hingga satu setengah jam per pekan. 

Setelah ditambah dengan penghematan waktu atas berkurangnya satu pelajaran peminatan, kita lupa bahwa jam belajar tidak berkurang sama sekali karena adanya tambahan alokasi waktu terkait pengerjaan proyek. Tujuannya bagus demi penguatan karakter siswa yang lebih mampu mengamalkan Pancasila sekaligus siap kerja.

Semoga saja guru bisa menerjemahkan niat baik ini dengan positif dan tidak dijadikan ajang buang-buang waktu oleh siswa plus "dikerjainya" siswa rajin oleh siswa malas dalam proyek berkelompok. 

Ingat, berkurangnya satu pelajaran peminatan itu berpotensi menambah kebutuhan jam belajar mandiri di rumah.

Pelajaran informatika mengapa tidak diwajibkan sampai kelas dua belas?

Setelah sempat hilang dari Kurikulum 2013, kurikulum baru ini mengembalikan status pelajaran informatika menjadi wajib untuk dipelajari selama siswa duduk di kelas tujuh sampai sepuluh. 

Hal ini jelas merupakan kemajuan mengingat teknologi berperan sangat penting dalam kehidupan saat ini, apalagi kita sedang mengarah menuju metaverse. Akan tetapi, saya merasa bahwa empat tahun belajar informatika itu kurang banyak.

Kuliah di program studi manapun, mahasiswa zaman sekarang akan banyak dihadapkan dengan penggunaan komputer. Berbagai aplikasi dibutuhkan dan kebutuhannya sudah jauh melebihi penggunaan dasar di Word, Excel, serta PowerPoint. 

Pekerjaan zaman sekarang membutuhkan penguasaan terhadap rumus-rumus di Excel, belum lagi kode macro VBA untuk mengotomatisasi berbagai pekerjaan dengan output berupa spreadsheet.Berbicara mengenai pengolahan data, kebutuhannya lebih banyak lagi. 

Dengan data berukuran besar, banyak hal yang bisa dipelajari tetapi aplikasi seperti Excel tidak lagi mencukupi. Penyimpanan data di sistem database berbasis SQL dan cara mengunduhnya, melakukan visualisasi data dengan Power BI atau Tableau, sampai menganalisis data dengan metode statistik melalui R atau dengan machine learning melalui Python, menjadi hal yang penting jika ingin mendapatkan pekerjaan yang baik saat ini sekalipun terkait dengan posisi yang umumnya diisi oleh lulusan program studi soshum.

Belum selesai sampai di sana, pemasaran zaman sekarang sudah lebih modern. Membuat konten berbasis audio, grafis, dan video untuk diunggah di media sosial sampai membuat situs web dan aplikasi sendiri dari nol banyak dilakukan. 

Semua ini memang bisa saja dipelajari secara mandiri oleh siswa di rumah, tetapi tentu akan lebih baik dan maksimal jika dilakukan secara terarah dengan pendampingan guru.

Akan terasa lebih baik jika pelajaran informatika ini diwajibkan sampai kelas dua belas dan dikombinasikan dengan pendidikan logika yang sesuai. Misalnya ketika mempelajari analisis data, guru berlatar belakang matematika ikut terlibat agar siswa tidak asal menggunakan suatu metode. 

Atau ketika mempelajari content creation, guru berlatar belakang ekonomi dan sosiologi ikut terlibat agar siswa memahami bagaimana cara membuat konten yang menarik sesuai dengan target pasarnya dan memiliki nilai jual. Guru bahasa juga terlibat agar siswa berkomunikasi dengan baik, benar, dan sopan.

Harus menambah jam belajar dong? Saran saya, kurangi sedikit alokasi waktu untuk proyek. Jika tidak dikurangi, tidak apa-apa juga karena waktu luang siswa belum tentu dimanfaatkan dengan baik. Bukannya digunakan untuk belajar, berwirausaha, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat, bisa jadi waktunya dihabis-habiskan untuk bermain game online.

Demikian pandangan pertama saya mengenai kurikulum prototipe 2022 dan masih ada hal-hal yang belum dibahas di luar tiga poin di atas. 

Menulis esai sebagai syarat kelulusan juga bagus untuk mendorong keterbukaan wawasan siswa SMA yang sedikit lagi melangkah ke perguruan tinggi, asalkan siswa benar-benar mandiri dalam mengeksplorasi pikirannya sendiri dan tidak berujung pada pengalaman seorang saudara yang meminta bantuan saya untuk mencarikan ide sampai menuntunnya terkait apa yang harus dilakukan.

Yang paling penting, tentu saja tidak lagi pembedaan kasta antara siswa jurusan IPA dan IPS. Semuanya dipandang setara sebagai siswa SMA dan mereka bisa mempelajari keduanya secara bersamaan karena memang keduanya sama-sama penting. 

Konsekuensinya tidak gratis, ya silakan pelajari semua pelajaran IPA dan IPS di kelas sepuluh plus potensi bertambahnya kebutuhan jam belajar di kelas sebelas dan dua belas karena berkurangnya satu pelajaran peminatan.

Akhir kata, apakah kurikulum prototipe ini benar-benar menarik untuk calon siswa SMA? 

Ya untuk menghilangnya pelajaran prakarya dan kesempatan tambahan untuk menghindari salah jurusan, tetapi tidak untuk mereka yang pilihan jurusan kuliahnya sudah tetap dan kuat sejak sebelum naik ke bangku SMA. 

Oleh karena itu, sudah tepat keputusan Kemdikbud untuk tidak langsung mewajibkannya di semua SMA. Bagaimana dengan pendapat kalian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun