Ya, ini tidak sesengsara siswa jurusan IPA selama ini yang harus belajar tiga sampai empat pelajaran IPS secara mandiri ketika memutuskan masuk ke program studi bisnis.
Cerita serupa akan dihadapi oleh mereka yang ingin berkuliah di luar negeri, tetapi mungkin saja berakhir di dalam negeri jika tidak mendapatkan skema beasiswa yang menarik.Â
Misalnya seseorang yang ingin berkuliah terkait data science atau programming tertarik dengan universitas yang ujian masuknya "hanya" membutuhkan pengetahuan matematika dan bahasa Inggris.Â
Kata "hanya" ditulis dalam kutip karena meskipun dua pelajaran saja yang dibutuhkan, tetapi kemampuan yang dimiliki haruslah mendalam.Â
Alhasil, di kurikulum baru harus ada satu pelajaran IPA yang tidak diambil selama duduk di bangku sekolah dengan konsekuensi jika pada akhirnya harus mengikuti SBMPTN, pelajaran tersebut harus didalami secara mandiri.Â
Jika menggunakan kurikulum lama, pelajaran bahasa Inggris bisa dipilih sebagai pelajaran lintas minat yang dipertahankan sampai akhir masa SMA dan siswa ini tetap mempelajari semua pelajaran IPA.
Semua dilema ini terjadi karena dalam kurikulum prototipe, pelajaran yang dipilih sesuai minat siswa hanya ada empat jika pelaksanaan nantinya sesuai dengan ilustrasi yang diberikan.Â
Ini jelas berkurang dibandingkan total lima pelajaran peminatan di kurikulum lama, di mana empat berasal dari jurusan yang dipilih dan satu berasal dari pilihan lintas minat.Â
Hal ini dibutuhkan meskipun jumlah jam belajar yang dihabiskan adalah sama, yaitu dua puluh jam karena terjadi pengurangan jam belajar di kelas sepuluh demi bisa mendapatkan semua pelajaran IPA dan IPS secara bersamaan. Efek negatifnya, jumlah pelajaran peminatan yang didapat justru berkurang.Â
Menurut saya, mereka yang nantinya akan diuntungkan adalah penyedia kursus untuk mengajarkan satu pelajaran tambahan bagi mereka yang sangat membutuhkannya.
Jumlah pelajaran yang harus diikuti di kelas sebelas dan dua belas berkurang, tetapi jam belajar tetap sama panjang