Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagi Amin, Ternyata Soto Betawi itu Benar Enak Rasanya

16 Agustus 2021   23:39 Diperbarui: 16 Agustus 2021   23:49 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Amin adalah putra tunggal yang tinggal di Jakarta. Ayahnya bekerja sebagai pilot salah satu maskapai penerbangan pelat merah, sedangkan ibunya merupakan seorang motivator sukses yang sering memberikan seminarnya di hotel-hotel berbintang di ibu kota. 

Tentunya, Amin hidup dengan sangat berkecukupan, segala kebutuhan dan keinginannya tentu dengan mudah dapat dipenuhi oleh kedua orangtuanya. 

Kedua orangtua Amin selalu memanjakan anak mereka dengan segala sesuatunya yang berkualitas terbaik. Apapun yang diberikan orangtuanya kepada Amin merupakan barang-barang impor, mulai dari pakaian dan ransel brand internasional, ponsel pintar canggih keluaran terbaru, sampai-sampai makanan dan minuman yang dikonsumsi Amin setiap hari berasal dari bahan-bahan impor berkualitas tinggi.

Setiap hari, sebelum bekerja ibu Amin selalu memasak terlebih dahulu untuk bekal keluarga mereka. Setiap hari pula Amin selalu diantar oleh sang ibunda ke sekolah dan juga dijemput saat jam pulang sekolah. Memang, pekerjaan ibunda Amin memiliki jam kerja yang fleksibel dan tidak menuntut dirinya untuk selalu berada di kantor setiap hari. 

Amin tidak pernah jajan di sekolah ataupun membeli alat tulis di koperasi, karena setiap harinya sang ibunda selalu memberikan bekal makanan dan juga alat tulis yang lebih dari cukup.

Ayah Amin, yang dipercayakan oleh perusahaan tempat beliau mengabdi untuk mengemudikan pesawat berukuran besar, jarang berada di rumah. Setiap harinya, ayah Amin bertugas menerbangkan pesawat dari dan ke negara lain yang memakan waktu lebih dari setengah hari setiap penerbangan. 

Beliau juga jarang mencicipi makanan lain di Jakarta, karena sehari-hari beliau makan masakan sang istri, atau bekal yang sudah disiapkan oleh katering rekanan maskapai penerbangan.

Semua hal tersebut menyebabkan Amin tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang budaya lokal negaranya sendiri. Jangankan negara, untuk budaya kota Jakarta saja, Amin tidak tahu. Ketika ditanya oleh Ibu Guru di sekolah mengenai makanan tradisional khas Jakarta, tidak ada satupun yang bisa disebut oleh Amin. 

Tetapi, kalau ditanya soal makanan dan kebudayaan lainnya asal luar negeri, Amin menjawabnya dengan sangat lancar, bahkan bisa menjelaskan dengan baik seluk beluknya.

Setiap harinya Amin selalu ditemani oleh setidaknya ayah atau ibunya di rumah, Amin tidak pernah ditinggalkan sendirian hingga pada kelas 3 SMP, ibunda Amin harus memberikan seminar di luar kota ketika sang ayah masih berada di luar negeri. Dengan berat hati, ibunda Amin meninggalkan Amin dan memberikannya kartu ATM. 

"Ibu pergi dulu ya, Nak. Kalau butuh uang untuk transport, makan, pergilah ke bank dekat rumah dan masukkan kartu ATM ini untuk mengambil uang," pesan sang ibu.

Amin memang tidak ditinggal berlama-lama oleh sang ibu, namun perubahan yang terjadi pada mindset Amin sangat besar. Pada malam ketika ibu Amin berangkat ke luar kota, Amin mengambil sejumlah uang di ATM. Dengan penuh ketakutan, dia melangkahkan kaki ke ATM tanpa ditemani sang ibu. Keesokan harinya, Amin pun harus bangun lebih pagi karena dia harus memesan taksi terlebih dahulu untuk berangkat ke sekolah.

Tentunya hari itu Amin tidak membawa bekal apapun dari rumah untuk dimakannya pada jam istirahat. Ketika bel berbunyi tanda istirahat dimulai, Amin tidak dapat langsung makan seperti biasanya, Amin harus terlebih dahulu membeli makanan di kantin sekolah. Karena tidak pernah jajan sebelumnya, Amin meminta bantuan kepada Diana, teman sekelasnya.

Sesampainya di kantin, Amin terkejut karena antrean siswa sangat panjang. "Di, aku gak bisa langsung makan toh?" "Gak bisa, kamu harus antre dulu untuk beli makanan." "Ya sudahlah, mau diapain lagi? "Emang mama kamu gak masak hari ini, Min?" "Mamaku pergi ke luar kota, memang nasibku." 

Akhirnya Amin dan Diana tiba di barisan paling depan antrean, dan Amin terkejut. Tidak ada satupun makanan di kantin seperti yang sehari-hari dikonsumsinya di rumah. "Di, kamu deh yang pilihin makanan buat aku." "Lho, kenapa? Kan makanan kamu, selera kamu." "Ini makanan apa toh, Di?" Diana memilihkan makanan untuk Amin, sepiring nasi dengan ikan balado dan kangkung plecing.

Amin dan Diana pun membawa makanan mereka ke dalam kelas. Ketika membuka kemasan makanannya, Amin bingung apa yang akan dia makan dan bagaimana rasanya, namun karena lapar Amin langsung menyantapnya tanpa ba-bi-bu. Bagi Amin, rasa makanan tadi sangat lezat dan sesuai dengan seleranya yang menyukai makanan pedas. Amin pun bertanya kepada Diana, "Tadi aku makan apa toh, Di?" "Itu ikan balado dan kangkung plecing, makanan asli Indonesia."

Sekolah Amin memperbolehkan siswa-siswinya membawa ponsel ke sekolah, sehingga Amin tidak kesulitan ketika dia harus kembali ke rumah. Lagi-lagi dia memesan taksi melalui aplikasi di ponsel pintarnya untuk pulang ke rumah. Sejauh ini, Amin belum kerepotan.

Jam makan malam tiba, Amin bingung apa yang harus dia makan. Seketika dia langsung membuka lemari untuk melihat apakah masih ada mie instan untuk dia makan, dan buruknya, mie instan sudah habis. Amin pun langsung bergegas menuju pusat perbelanjaan yang kebetulan dekat dengan rumahnya dan dia mencari restoran makanan barat, makanan yang sehari-hari dimasak ibundanya. Semua restoran makanan barat tutup karena bahan bakunya sudah habis. 

Amin kebingungan dan bertanya kepada petugas informasi, "Di sini ada restoran yang menjual kangkung plecing dan ikan balado, Bu?" "Di sini tidak ada, Dik. Tidak ada satupun restoran Manado maupun Bali." Amin pun melangkahkan kaki keluar dari pusat perbelanjaan dan perutnya masih merasa lapar. Tak jauh dari tempat parkir, Amin menemukan sebuah tenda kaki lima yang menjual soto betawi. Amin tidak berpikir lagi dan langsung menuju tenda tersebut untuk memesan seporsi soto betawi. 

Penjualnya yang saat itu sedang mengalami sakit kepala menambahkan terlalu banyak garam pada soto betawi milik Amin sehingga rasanya sangat asin. "Soto ini asin sekali, kalau bukan karena aku lapar dan tidak ada makanan lain, tentu aku tidak akan menghabiskan soto ini," kata Amin dalam hati.

Waktu pun berlalu dan tibalah masa liburan sekolah. Kebetulan maskapai penerbangan tempat sang ayah bekerja memberikan libur selama dua minggu untuk ayah Amin dan sang ibunda tidak ada jadwal untuk memberikan seminar baik di dalam maupun luar kota. Ayah dan ibu Amin berdiskusi mengenai makanan yang akan mereka santap hari itu.

"Bu, sebaiknya hari ini Ibu tidak usah memasak. Kita makan di luar saja."

"Emangnya kita mau makan apa toh?"

"Rasanya Ayah sudah bosan makan makanan barat. Di rumah, di pesawat, di hotel, Ayah selalu dihidangkan makanan barat. Bagaimana kalau kita makan soto Betawi saja?

"Oke, Yah. Aku sudah kangen makan soto Betawi. Sejak menikah dengan Ayah, rasanya aku tidak pernah makan soto Betawi atau apapun makanan khas kota Jakarta."

Dan sang Ayah berteriak memanggil Amin, "Amin! Buruan ganti pakaian! Kita akan makan pagi." Amin bingung, setiap harinya Amin makan pagi di rumah, untuk apa harus ganti pakaian. Amin pun hanya diam saja di dalam kamar memainkan game di ponsel pintarnya. Ayah pun berteriak lagi, "Buruan, Amin! Common!"

Mereka pun naik mobil dan pergi ke rumah makan soto betawi di kawasan Tangerang Selatan. Sesampainya di sana, pelayan langsung memberikan buku menu. Tanpa berpikir lagi, ayah Amin langsung memesan tiga porsi soto betawi berikut nasi dan Amin langsung menolak, "Dua saja, Yah! Aku lebih baik makan kangkung plecing saja", kebetulan rumah makan tersebut juga menghidangkan kangkung plecing. 

"Kamu kan belum pernah makan soto betawi, cobain lah. Lagipula kangkung plecing gak pake daging, mau makan apa?" "Ayah, soto betawi itu gak enak. Asin banget." Ayah pun langsung meminta kepada pelayan untuk mengurangi garam pada soto betawi untuk Amin.

Soto betawi yang dipesan pun datang juga. Amin dengan perlahan-lahan mengambil sesendok kuah soto miliknya dan memasukkannya ke dalam mulut Amin. "Wah, lezat!" "Makanya Min, sebelum kamu pernah mencoba sesuatu, jangan langsung menilai. Coba dulu, baru tahu," kata Ayah. 

"Benar kok, Amin pernah makan soto betawi waktu Ibu ke luar kota," jawab Amin. "Rasanya sangat asin. Aku pun terpaksa memakannya karena di restoran bahan bakunya sudah habis," lanjutnya. "Itu mah kelebihan garam, Min. Kenapa gak pakai kecap manis? Ternyata soto betawi itu enak rasanya, iya kan?", kata Ibu. Amin pun hanya tertawa lepas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun