"Betul, Tang. Saat ini fokus dulu bekerja, kalau nanti uangnya sudah banyak baru pikirkan usaha. Jangan berhenti kerja dulu sebelum usahanya benar-benar jalan, stabil."
"Oke, Man. Oh iya, tadi kamu bilang ikan asin laris manis di Bandung. Itu setiap kali antar?"
"Iya, selalu cepat habis dan terima uangnya dari pedagang juga cepat. Baru sampai di kampung, sudah ditelepon lagi, ditunggu ikan asinnya."
"Mungkin karena ikan asin mendukung gerakan penghematan dompet. Mata tidak menangis, dompet tetap tebal, perut bisa terisi."
"Ini bukan sembarang ikan asin, Tang. Mereka itu belinya ikan asin jambal roti."
"Mahal itu jambal roti, enak. Bisa makan sedikit saja, sudah mantap."
"Terkadang aku juga bingung. Mengapa mereka bisa ketagihan ikan asin jambal roti? Sudah mahal, sedikit lagi. Kalau mereka tahu, makanan yang diasinkan itu tidak sehat. Seharusnya, mereka membeli ayam negeri. Lebih besar, lebih murah, bisa buat sekeluarga."
"Ayam negeri juga suntik hormon, Man. Lebih sehat ayam kampung."
"Setidaknya, ayam negeri lebih segar dari ikan asin. Harganya juga bisa lebih murah."
"Di sini, aku tak pernah masak ayam negeri. Kalau makan daging, sapi atau ikan biasanya."
Hari semakin malam, kami memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dan beristirahat sebelum Arman akan menjalani hari terakhir yang bisa dimanfaatkannya untuk berlibur. Kegiatan kami benar-benar padat, Arman tidak ingin ada waktu yang sia-sia sedikitpun. Kami bangun pagi-pagi, bermain dengan sayur, bumbu, kuali, dan kompor di dapur, serta bersiap-siap. Monas, Waduk Pluit, Taman Kalijodo, sampai Kawasan Kota Tua di Glodok menjadi tempat-tempat yang kami singgahi. Ketika Arman melihat sebuah gerobak yang ramai disesaki pengunjung, dia penasaran dan langsung membeli makanan yang dijual di situ, nasi ulam.