Pada suatu waktu, di suatu kota, tak jauh dari pelabuhan yang menghubungkannya dengan Pulau Dewata, hiduplah seorang pejabat yang sudah banyak makan asam garam di dunia ini bersama dengan pendamping hidupnya.Â
Pasangan ini hidup berkecukupan, rumah gedong dan mobil mewah tidaklah sulit untuk mereka miliki. Tetapi, bagi mereka apa artinya hidup ini tanpa anugerah seorang buah hati.
Malam demi malam habis ditelan matahari, sang pria sudah lama merindukan seorang buah hati. Dalam benaknya, apa arti kehidupan ini tanpa keturunan. Setiap tidurnya ia selalu bermimpi suatu saat akan hadir seorang putra baginya dengan jati diri laksana idolanya sejak kecil, seorang pahlawan nasional HOS Tjokroaminoto.
Allah mendengarkan keinginannya dan mimpi sang pria akhirnya tak lagi sebatas mimpi. Ketika mendengar sang istri terlambat datang bulan, dia sangat bersemangat mengantarkannya ke bidan. Benar saja, istrinya berbadan dua. Sang pria tak sabar anaknya cepat datang ke dunia dan diharapkannyalah dia adalah anak laki-laki.
Setelah kurang lebih tiga puluh delapan minggu sang istri mengandung, lahirlah seorang anak laki-laki yang mungil dan lucu yang kemudian diberi nama Cakra Santosa. Si pria langsung mengazani bayi kecilnya, tak lupa dia bersyukur dan menyampaikan harapannya akan masa depan Cakra kepadaNya.
Si pria semakin keras memeras keringatnya. Pekerjaan sampingan pun ditekuninya demi mendapatkan uang untuk membesarkan Cakra. Dia sadar, biaya sekolah anak tidaklah murah, apalagi jika dia menginginkan segala yang terbaik untuk buah hatinya yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama.
Cakra beranjak besar dan masuk sekolah. Si pria berusaha memberikan perlindungan ekstra untuknya karena khawatir ketidaksenangan masyarakat terhadap jabatannya berdampak pada sang anak. Cakra hanya boleh menyantap masakan ibunya, setiap hari dia pulang-pergi ke sekolah harus bersama ibunya.
Kegiatan karyawisata menjadi kesempatan bagi anak sekolah untuk bertamasya bersama teman-teman tanpa ditemani orang tua, tapi tidak demikian dengan Cakra. Sang ayah selalu memerintahkan anak buahnya untuk memberikan pengawalan ke manapun Cakra pergi. Cakra tidak senang dan protes, tidak hanya sekali, namun sang ayah tidak pernah mengubah pendiriannya.Â
Dia berusaha menjelaskan ketakutannya akan orang-orang yang tidak senang terhadap kinerjanya di pemerintahan dilampiaskan pada anaknya. Dengan bijak dan kritis, Cakra pun memberikan pendapatnya, "Ayah, kalau Ayah berbuat baik, kenapa harus takut?". Karena hal yang satu ini, beberapa kali si pejabat dipanggil oleh guru anaknya ke sekolah. Dia tetap keukeuh, pendiriannya tak berubah sedikitpun.
Tujuh tahun berlalu, Cakra yang kini sudah beranjak remaja kembali ke rumah dengan membawa formulir pendaftaran calon ketua organisasi di sekolahnya. Diserahkannyalah kertas itu kepada sang ayah dengan harapan dia mau membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu.Â
Kertas itu diambilnya, dibaca hanya judulnya saja, dan langsung dikembalikan kepada sang anak. Si pejabat tak merestui keinginan anaknya.
Dia sempat makan bawang juga, harus berbicara apa kepada sang anak. Setelah memutar otak, dia bertanya kepada sang anak, "Nak, Ayah mengerti keinginanmu. Namun, apakah anakku ini yakin, bisa mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai ketua OSIS di sekolah? Ingat Nak, memimpin OSIS tidaklah mudah." Cakra tak menyerah, berusaha memberikan keyakinan kepada ayahnya agar dia mau memberikan tanda tangannya.Â
Di sisi lain, si pejabat pun mengeluarkan jurus barunya, "Ayah bukannya meragukan kemampuanmu dan takut nilaimu anjlok. Ayah yakin kamu bisa. Tetapi, Ayah tak tega kalau harus melihatmu pulang lebih sore dan lelah.Â
Nak, hendaknya kamu mengerti pemikiran Ayah." Cakra pun sekali lagi memberikan keyakinan kepada sang ayah, dia memohon kepadanya supaya sang ayah mau menandatangani formulir itu.
Si pejabat pun mati kutu, dia bingung apa lagi yang harus dia katakan untuk menghalangi niat anaknya. Dia pun dengan jujur mengutarakan maksud sebenarnya.
"Cakra, memimpin lembaga sebesar OSIS dengan adil tidaklah mudah. Tidak semua anak suka dan setuju dengan keputusan OSIS. Dan yang akan mereka salahkan adalah ketua OSIS mereka, mereka tak peduli. Mereka akan berbuat apa saja, Nak. Dan kamu harus ingat posisi Ayah, belum tentu semua orang suka dengan Ayah. Kalau sampai kita berdua tidak disukai orang, tamatlah riwayat kita, Nak."
Cakra belum mengerti soal politik. Dia hanya tahu kalau sang ayah selalu memberikan kinerja yang memuaskan dalam bekerja dan selama ini semua masyarakat puas. Cakra pun tidak pernah mendapatkan kesulitan dalam berteman, dia tak merasa ada musuh di sekelilingnya. Si pejabat pun mempersilahkan anaknya untuk meminta persetujuan sang ibu.
Dengan penuh semangat, Cakra pun masuk kamar ibunya, memohon dan memberikan keyakinan kepada sang ibu. Tak butuh waktu lama bagi beliau untuk berpikir dan memutuskan untuk membubuhkan tanda tangannya di atas formulir itu.Â
Cakra pun senang sekali, dia sudah mendapatkan tanda tangan sebagai syarat mencalonkan diri dalam pemilihan ketua OSIS. Diletakkannya formulir yang sudah diisi dan ditanda tangan dalam map yang kemudian dimasukkan ke dalam tas sekolah.
Gayung pun bersambut, hari pemilihan tiba. Seluruh teman-teman memberikan dukungan kepada Cakra dan Cakra terpilih untuk memimpin OSIS sekolahnya selama satu tahun. Cakra tidak sombong dan berpuas diri, dia langsung bergerak cepat dan melakukan banyak pembaharuan di sekolahnya. Semua siswa pun bangga sekaligus puas atas kinerjanya. Atas prestasinya itu, Cakra menjadi populer di kalangan siswa SMP di kotanya.
Meskipun banyak waktu tersita untuk berogranisasi, Cakra tetap sehat dan kuat, tubuhnya tetap bugar, dan justru semakin produktif mencetak prestasi baik di dalam maupun di luar sekolah. Cakra berhasil mempertahankan juara umum, memenangkan lomba olahraga dan fisika, serta menjadi salah seorang peraih medali emas olimpiade fisika internasional. Cakra pun meraih nilai UN tertinggi di sekolahnya.
Cakra pun melangkah ke bangku sekolah menengah atas. Saat semester ganjil kelas satu SMA, Cakra kembali menempati peringkat pertama di kelasnya. Ibu wali kelas pun meminta bantuannya untuk menjadi tutor sebaya dan sekaligus mencalonkan diri di pemilihan ketua OSIS.
Cakra pun kemudian kembali terpilih menjadi ketua OSIS di masa SMA dan melakukan hal-hal yang dulu pernah dilakukannya semasa SMP. Kegiatan membantu teman-temannya yang kesulitan belajar sebagai tutor sebaya dilakoninya. Hidup tak selalu mulus, di sini cobaan datang baginya. Ketika nilai salah satu teman yang diajarinya jelek, teman ini tidak puas dan mencoba untuk memfitnah dia. Dia dituduh dengan sengaja mengajarkan hal yang salah agar nilai temannya jelek kepada Ibu Guru. Lebih buruknya lagi, Ibu Guru langsung percaya dan memarahi Cakra habis-habisan.
Sang ayah diam-diam tahu tentang masalah ini. Tanpa terlebih dahulu berbicara empat mata dengan anaknya, dia ditemani kaki tangannya datang ke sekolah.Â
Mereka masuk ke ruang kepala sekolah, tanpa berbasa-basi mereka langsung menggebrak meja di dalam ruangan itu. "Kamu perlakukan apa anakku? Kamu jangan macam-macam, jaga mulut anak buahmu itu!" Suaranya menggelegar membelah angkasa hingga terdengar jelas di ruang kelas Cakra pada jam istirahat makan siang.Â
Mengenali ciri khas suara sang ayah, Cakra langsung bergegas menuju ruang kepala sekolah untuk menenangkan amarah ayahnya
"Ayah, kita sudah lakukan apa yang terbaik menurut Hukum Tuhan. Sisanya kita serahkan kepadaNya. Bijaklah, Yah. Sabar, sabar"
"Tidak bisa! Orang seperti ini tak tahu diri! Mana anak buahmu? Bawa ke sini! Kamu tidak tahu siapa saya? Saya pe...", saking emosinya tiba-tiba kepala si pejabat sakit dan dia pun pingsan.
Setelah siuman, Cakra hadir di sisi ayahnya dan kembali berusaha menenangkan amarah beliau.
"Sabar, Yah. Allah tahu mana yang benar, Allah kita tahu segalanya. Dan, ayah tak perlu membawa-bawa jabatan ayah di kantor. Bisa jadi masalah kedua, bukannya menyelesaikan masalah. Ingat, Yah. Iman dan takwa kita kepada Tuhan serta rasa kecintaan terhadap tanah air harus senantiasa kita tonjolkan daripada membanggakan kedudukan diri sendiri."
"Bukannya Ayah tidak mengerti, tapi tadi emosi Ayah sudah tak tertahankan. Rasanya mulut Ayah sudah tidak bisa digembok lagi."
Bulan berganti bulan, masih di bangku SMA, Cakra mendapatkan ide untuk menulis novel. Ide ini bukanlah ide yang terbilang mustahil mengingat Cakra adalah orang yang cukup pandai dalam menulis. Cakra pun meminta restu sang ayah untuk memulai proyeknya ketika makan malam. Seperti biasa, sudah bisa ditebak, dia tidak sependapat dengan Cakra dan selalu punya alasan untuk menghalangi rencana indah anaknya itu.
"Nak, untuk apa susah-susah menulis novel? Cari uang? Itu tugas Ayah, mencari nafkah untuk kamu dan ibumu. Tugas kamu adalah fokus belajar, menggapai masa depan yang lebih baik dari Ayah. Kalau bisa, go international!"
"Ayah, bukannya aku menolak pendapat Ayah. Aku bukannya memedulikan soal uang yang mungkin aku raih dari karyaku, tetapi bagaimana aku bisa berkontribusi memajukan nusa dan bangsa? Juga bagaimana dengan pengalamanku di luar sekolah, Ayah?"
"Ibu juga setuju sama Cakra, Yah. Jika novelnya laku keras, Cakra akan semakin mudah untuk mendapatkan beasiswa kuliah di jurusan apapun yang dia mau."
Novel pertama Cakra selesai ditulis, diterbitkan, dan dipajang di rak-rak toko buku dari Sabang sampai Merauke. Mereka yang gemar membaca novel menyambutnya dengan begitu antusias dan tak butuh waktu lama bagi Cakra untuk dinobatkan sebagai penulis best seller. Bahkan, novel ini pun dijadikan sebagai ide cerita dari salah satu film layar lebar. Pastilah Cakra mendapatkan uang dalam jumlah yang fantastis hanya dari satu novel tulisannya itu. Begitulah Cakra, dia memilih untuk mendonasikan sebagian pendapatannya kepada kaum papa.
Melihat Cakra dengan bakatnya yang beragam dan begitu luar biasa serta hatinya yang begitu mulia, Cakra pun mendapatkan banyak tawaran dari universitas baik di dalam maupun di luar negeri. Tawaran beasiswa hingga lulus master di negeri kincir angin pun diterimanya dengan senang hati.
Selama di Belanda, Cakra juga sangat mudah untuk mendapatkan teman. Cepat mempelajari bahasa Belanda dengan baik, Cakra tidak menemukan kesulitan dalam berbicara dengan masyarakat setempat. Cakra aktif sebagai salah satu anggota organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Selain itu, Cakra juga aktif menyuarakan pendapatnya untuk kemajuan ibu pertiwi melalui akun jejaring sosial miliknya.
Sukses lulus dengan nilai memuaskan dan juga dengan prestasi yang menggembirakan selama kontrak kerja di sana, tidak membuat Cakra mengurungkan niatnya untuk kembali ke tanah airnya, Indonesia. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia dan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Cakra sempat mendiskusikan hal ini dengan sang ibu melalui telepon seluler.
Begitu mendengar rencana anaknya, ibu pun kaget. Beliau tak percaya, kenyamanan di negeri orang tidak membuat putra tunggalnya betah untuk menetap di sana. Beliau tak yakin, anaknya mau kembali ke tanah air. Di Indonesia, tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan, standar hidupnya tak sebaik di Belanda, begitu pula dengan gaji yang diberikan.Â
Tidak mudah pula untuk bisa sukses berbisnis di Indonesia. "Ibu mengerti kamu ingin mengabdikan dirimu untuk negeri ini. Namun, apakah kamu mau menebak masa depanmu setelah pulang ke tanah air?", kata ibu di telepon seluler.
Cakra merenung, memikirkan sekali lagi rencananya yang mungkin tak terpikirkan oleh banyak orang yang hidup di luar negeri. Kebanyakan dari mereka menikah dengan warga setempat, membentuk keluarga, dan hidup bahagia di negeri perantauan.Â
Namun itu bukan jawaban Cakra yang kini sudah beranjak dewasa. "Aku tak peduli seberapa besar tanah airku bisa menghargai aku, dalam bentuk uang, tanah, apapun. Aku ingin di akhir hidupku, aku sudah banyak menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan tanah airku."
Musim panen dan musim tanam silih berganti, waktu empat tahun untuk kontrak kerja tak terasa begitu cepat berlalu. Begitu kontrak kerjanya usai, Cakra mengadakan perpisahan dengan sahabat-sahabatnya di Belanda dan bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia.Â
Memang tak mudah baginya meninggalkan tempat yang sebelumnya dia usahakan untuk betah tinggal di sana, namun baginya lebih menyedihkan lagi apabila harus meninggalkan tanah kelahiran untuk selama-lamanya.
Sesampainya di terminal kedatangan Bandara Adisucipto, Jogjakarta, Cakra langsung melepaskan kerinduannya yang sudah menumpuk sejak pertama kali meninggalkan negeri untuk kuliah. Dipeluknyalah ibu dan ayahnya, yang juga merindukan putra semata wayangnya itu.
Ketika memeluk sang anak, si pejabat pun terpikir untuk mencalonkan Cakra menjadi salah seorang PNS. Pintar, berpengalaman, pikirnya pasti mudah untuk mendapatkan posisi strategis di pemerintahan. Dia pun dengan berani mengutarakan niatnya kepada sang anak begitu masuk ke dalam mobil, namun Cakra menolak.
"Ayah, bagaimana aku bisa hidup dari pajak yang dibayarkan oleh mereka yang hidupnya juga belum tentu berkecukupan? Dan bagaimana aku bisa hidup kalau aku juga terus disalahkan oleh masyarakat?"
Cakra memilih pulang ke kota kelahirannya dan membangun usaha inovatif. Dia mempekerjakan para pengangguran, memberikan pelatihan yang cukup dan layak, memberikan upah yang lebih dari cukup, dan mengambil marjin keuntungan yang relatif tidak terlalu besar sehingga produknya bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat.Â
Bukannya karena punya banyak pesaing sehingga perlu melakukan perang harga, bukan juga karena kualitas produknya kurang baik, bukan juga karena produknya kurang bernilai, namun dalam benaknya selalu teringat bahwa keserakahan akan harta dan kebiasaan mementingkan diri sendiri bukanlah hal yang disukai Allah dalam hidup anak manusia.Â
Kehidupan berorganisasi dan beribadah pun tidak ditinggalkannya. Cakra aktif sebagai anggota pengurus Masjid dan juga anggota salah satu partai politik.
Dia yang menabur, dialah yang menuai. Bukannya hidup mulus-mulus saja, begitu banyak badai yang harus dihadapi oleh Cakra. Namun dirinya kuat dan berprinsip, sama sejak dulu, inilah yang membuatnya hidup sukses di negeri sendiri. Cakra sempat digadang-gadang oleh partai politik tempat dirinya bernaung untuk dicalonkan pada posisi gubernur ibu kota.Â
Tetapi, Cakra menolak. "Saya memang berpolitik, tapi bukan untuk mencari posisi. Saya berpolitik semata-mata untuk menyuarakan pemikiran saya terkait kemajuan bangsa ini dan saya tidak harus duduk di jabatan tertentu untuk bisa mewujudkan apa yang menjadi harapan saya bagi bangsa ini."
Berpolitik, aktif mengelola Masjid, dan berbisnis, tidaklah cukup untuk hidup seorang Cakra. Keberhasilannya dalam berbisnis menggugah hatinya untuk kembali menelurkan bibit-bibit baru penerus bangsa melalui penulisan beberapa buku bertema kewirausahaan.Â
Harapannya, suatu saat negeri kecintaannya bisa menjadi negara yang berpengaruh terhadap kehidupan global, tak lagi bergantung pada sumber daya mentah, dan produk-produknya bisa bersaing dengan produk asal luar negeri. Masyarakatnya hidup adil dan makmur, terjadi kemerataan pendapatan tanpa melihat asal suku dan juga agama, serta senantiasa hidup disiplin sesuai ajaran agama.Â
Cakra pun mendukung beberapa organisasi pemuda dan menyediakan ruko tempat mereka berkumpul tanpa memungut sewa. Karena terlalu lelah, Cakra pun beberapa kali jatuh sakit. Alih-alih beristirahat total, Cakra memilih untuk tetap beraktivitas meskipun badan terasa tak enak. "Lebih membosankan lagi kalau sakit dan berbaring di tempat tidur," katanya.
Hidup Cakra tak hanya sekedar menjadi orang sukses dengan otak pandai dan harta berlimpah, tapi juga dikenang dalam sanubari orang-orang yang mengenalnya sebagai orang yang baik hati, tidak congkak, dan bermanfaat untuk kemajuan negeri.Â
Cakra berhasil mewujudkan seluruh harapannya dan juga harapan ayahnya sebelum dia lahir ke dunia, menjadi orang yang berguna untuk nusa dan bangsa. Begitu banyak orang yang kaya dan pintar di dunia ini, namun apalah arti kehidupan jika tidak bisa memberikan faedah bagi orang banyak, terlebih lagi terkait urusan di akhirat nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H