Memang tak mudah baginya meninggalkan tempat yang sebelumnya dia usahakan untuk betah tinggal di sana, namun baginya lebih menyedihkan lagi apabila harus meninggalkan tanah kelahiran untuk selama-lamanya.
Sesampainya di terminal kedatangan Bandara Adisucipto, Jogjakarta, Cakra langsung melepaskan kerinduannya yang sudah menumpuk sejak pertama kali meninggalkan negeri untuk kuliah. Dipeluknyalah ibu dan ayahnya, yang juga merindukan putra semata wayangnya itu.
Ketika memeluk sang anak, si pejabat pun terpikir untuk mencalonkan Cakra menjadi salah seorang PNS. Pintar, berpengalaman, pikirnya pasti mudah untuk mendapatkan posisi strategis di pemerintahan. Dia pun dengan berani mengutarakan niatnya kepada sang anak begitu masuk ke dalam mobil, namun Cakra menolak.
"Ayah, bagaimana aku bisa hidup dari pajak yang dibayarkan oleh mereka yang hidupnya juga belum tentu berkecukupan? Dan bagaimana aku bisa hidup kalau aku juga terus disalahkan oleh masyarakat?"
Cakra memilih pulang ke kota kelahirannya dan membangun usaha inovatif. Dia mempekerjakan para pengangguran, memberikan pelatihan yang cukup dan layak, memberikan upah yang lebih dari cukup, dan mengambil marjin keuntungan yang relatif tidak terlalu besar sehingga produknya bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat.Â
Bukannya karena punya banyak pesaing sehingga perlu melakukan perang harga, bukan juga karena kualitas produknya kurang baik, bukan juga karena produknya kurang bernilai, namun dalam benaknya selalu teringat bahwa keserakahan akan harta dan kebiasaan mementingkan diri sendiri bukanlah hal yang disukai Allah dalam hidup anak manusia.Â
Kehidupan berorganisasi dan beribadah pun tidak ditinggalkannya. Cakra aktif sebagai anggota pengurus Masjid dan juga anggota salah satu partai politik.
Dia yang menabur, dialah yang menuai. Bukannya hidup mulus-mulus saja, begitu banyak badai yang harus dihadapi oleh Cakra. Namun dirinya kuat dan berprinsip, sama sejak dulu, inilah yang membuatnya hidup sukses di negeri sendiri. Cakra sempat digadang-gadang oleh partai politik tempat dirinya bernaung untuk dicalonkan pada posisi gubernur ibu kota.Â
Tetapi, Cakra menolak. "Saya memang berpolitik, tapi bukan untuk mencari posisi. Saya berpolitik semata-mata untuk menyuarakan pemikiran saya terkait kemajuan bangsa ini dan saya tidak harus duduk di jabatan tertentu untuk bisa mewujudkan apa yang menjadi harapan saya bagi bangsa ini."
Berpolitik, aktif mengelola Masjid, dan berbisnis, tidaklah cukup untuk hidup seorang Cakra. Keberhasilannya dalam berbisnis menggugah hatinya untuk kembali menelurkan bibit-bibit baru penerus bangsa melalui penulisan beberapa buku bertema kewirausahaan.Â
Harapannya, suatu saat negeri kecintaannya bisa menjadi negara yang berpengaruh terhadap kehidupan global, tak lagi bergantung pada sumber daya mentah, dan produk-produknya bisa bersaing dengan produk asal luar negeri. Masyarakatnya hidup adil dan makmur, terjadi kemerataan pendapatan tanpa melihat asal suku dan juga agama, serta senantiasa hidup disiplin sesuai ajaran agama.Â