"Ayah, bukannya aku menolak pendapat Ayah. Aku bukannya memedulikan soal uang yang mungkin aku raih dari karyaku, tetapi bagaimana aku bisa berkontribusi memajukan nusa dan bangsa? Juga bagaimana dengan pengalamanku di luar sekolah, Ayah?"
"Ibu juga setuju sama Cakra, Yah. Jika novelnya laku keras, Cakra akan semakin mudah untuk mendapatkan beasiswa kuliah di jurusan apapun yang dia mau."
Novel pertama Cakra selesai ditulis, diterbitkan, dan dipajang di rak-rak toko buku dari Sabang sampai Merauke. Mereka yang gemar membaca novel menyambutnya dengan begitu antusias dan tak butuh waktu lama bagi Cakra untuk dinobatkan sebagai penulis best seller. Bahkan, novel ini pun dijadikan sebagai ide cerita dari salah satu film layar lebar. Pastilah Cakra mendapatkan uang dalam jumlah yang fantastis hanya dari satu novel tulisannya itu. Begitulah Cakra, dia memilih untuk mendonasikan sebagian pendapatannya kepada kaum papa.
Melihat Cakra dengan bakatnya yang beragam dan begitu luar biasa serta hatinya yang begitu mulia, Cakra pun mendapatkan banyak tawaran dari universitas baik di dalam maupun di luar negeri. Tawaran beasiswa hingga lulus master di negeri kincir angin pun diterimanya dengan senang hati.
Selama di Belanda, Cakra juga sangat mudah untuk mendapatkan teman. Cepat mempelajari bahasa Belanda dengan baik, Cakra tidak menemukan kesulitan dalam berbicara dengan masyarakat setempat. Cakra aktif sebagai salah satu anggota organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Selain itu, Cakra juga aktif menyuarakan pendapatnya untuk kemajuan ibu pertiwi melalui akun jejaring sosial miliknya.
Sukses lulus dengan nilai memuaskan dan juga dengan prestasi yang menggembirakan selama kontrak kerja di sana, tidak membuat Cakra mengurungkan niatnya untuk kembali ke tanah airnya, Indonesia. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia dan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Cakra sempat mendiskusikan hal ini dengan sang ibu melalui telepon seluler.
Begitu mendengar rencana anaknya, ibu pun kaget. Beliau tak percaya, kenyamanan di negeri orang tidak membuat putra tunggalnya betah untuk menetap di sana. Beliau tak yakin, anaknya mau kembali ke tanah air. Di Indonesia, tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan, standar hidupnya tak sebaik di Belanda, begitu pula dengan gaji yang diberikan.Â
Tidak mudah pula untuk bisa sukses berbisnis di Indonesia. "Ibu mengerti kamu ingin mengabdikan dirimu untuk negeri ini. Namun, apakah kamu mau menebak masa depanmu setelah pulang ke tanah air?", kata ibu di telepon seluler.
Cakra merenung, memikirkan sekali lagi rencananya yang mungkin tak terpikirkan oleh banyak orang yang hidup di luar negeri. Kebanyakan dari mereka menikah dengan warga setempat, membentuk keluarga, dan hidup bahagia di negeri perantauan.Â
Namun itu bukan jawaban Cakra yang kini sudah beranjak dewasa. "Aku tak peduli seberapa besar tanah airku bisa menghargai aku, dalam bentuk uang, tanah, apapun. Aku ingin di akhir hidupku, aku sudah banyak menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan tanah airku."
Musim panen dan musim tanam silih berganti, waktu empat tahun untuk kontrak kerja tak terasa begitu cepat berlalu. Begitu kontrak kerjanya usai, Cakra mengadakan perpisahan dengan sahabat-sahabatnya di Belanda dan bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia.Â