Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

E-Wallet Tak Hanya Buat Khawatir Menkeu, Kualitas Pangan Nasional Juga

15 Februari 2019   18:49 Diperbarui: 15 Februari 2019   18:58 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Semakin dekat menjelang Pilpres, berbagai masalah naik ke permukaan dan menjadi ajang kedua petarung untuk mengampanyekan diri, termasuk juga harga kebutuhan dan makanan yang semakin hari semakin mahal. 

Misalnya saja, beberapa waktu lalu kita mendengar kalimat dari salah satu cawapres yaitu "tempe setipis kartu ATM". Harga semakin mahal, porsi semakin sedikit, itulah kondisi yang digambarkan oleh frasa tersebut. 

Belum selesai memikirkan masalah pangan yang menjadi salah satu topik bahasan di debat kedua mendatang, pernyataan berikutnya datang dari Menteri Keuangan kita, Ibu Sri Mulyani Indrawati, yang mengkhawatirkan adanya praktik transfer pricing dan pengemplangan pajak akibat semakin mendominasinya penggunaan e-wallet sebagai metode pembayaran di masyarakat. 

Akan tetapi, sebelum membicarakan terlalu dalam dengan konteks yang ribet dan istilah yang mengundang gelak tawa, lebih baik kita turun ke masyarakat dan melihat masalah lain yang justru lebih simpel untuk dipikirkan tetapi seringkali diabaikan, yaitu efek e-wallet terhadap kualitas konsumsi pangan bangsa kita.

Kedatangan e-wallet sebagai solusi makan enak di tengah mahalnya harga
Di tengah kepusingan mengatur keuangan sehingga tetap bisa makan banyak, enak, dan sehat, datang berbagai pahlawan bernama "e-wallet" yang menawarkan pembayaran cashless lengkap dengan diskon atau cashback. 

Berbekal sebuah smartphone dan nomor HP untuk mendaftarkan diri, selamat datang di era makanan enak. Satu per satu promosi diberikan, sebut saja GO-PAY yang di musim liburan akhir tahun kemarin menawarkan cashback sebesar 50% bertajuk "payday", OVO dengan cashback 60% di setiap akhir bulan untuk pelanggan yang dine-in atau take away dan diskon dengan nominal tertentu untuk pembelian melalui GrabFood, sampai sekarang dilanjutkan lagi oleh DANA dengan cashback 50% hingga akhir Maret 2019. 

Jika awalnya tetap saja pelanggan harus mengeluarkan uang, sekarang bisa jadi mereka benar-benar makan gratis karena hadir pahlawan berikutnya bernama "BBM Group War", sebuah permainan untuk mengasah pengetahuan umum dan berhadiah sejumlah saldo DANA setiap harinya.

Angin surga bagi para pengusaha kuliner
Merchant mana yang menolak untuk bergabung. Dengan pemotongan untuk komisi yang tergolong kecil paling banyak 1.5% atau bahkan bisa jadi dibayar utuh, mereka tak perlu lagi pusing dengan urusan yang bernama uang kembalian dan pelanggan pun ramai berdatangan untuk membeli dengan biaya hampir nol untuk mengadakan promosi karena semuanya ditanggung pengelola e-wallet.

Melihat perilaku konsumen dan dampaknya terhadap dunia pangan

Tak ada pelanggan yang tak bahagia, di tengah harga makanan yang semakin mahal ada solusi untuk tetap bisa makan enak tanpa harus sakit kepala di kemudian hari. Ada tiga kelompok pelanggan dengan sikap berbeda-beda dalam memanfaatkan angin surga ini, mulai dari bersikap "bijaksana", memiliki akal yang "pintar", sampai justru menambah pengeluaran akibat mental aji mumpung.

Terlihat bijaksana, tetapi ada yang tak disadari
Bagi para pelanggan yang "bijaksana", kehadiran cashback dari para pengelola e-wallet ini sangatlah menguntungkan karena mereka bisa mendapatkan barang yang dibutuhkan, bahkan mungkin lebih banyak dan lebih baik dari itu, dengan mengeluarkan uang yang sama atau lebih sedikit. 

Misalnya saja cerita seorang pelayan di salah satu kedai kopi di mall kepada saya, selama periode cashback 50% yang diselenggarakan oleh salah satu penyedia e-wallet di akhir tahun kemarin, dia lebih memilih makan nasi fried chicken di gerai sebelah setiap harinya dengan cukup membayar Rp10 ribu, lebih murah dan lebih dekat dibandingkan nasi goreng telur atau nasi rames di kantin basement seharga Rp12 ribu. Sudah daging, hemat pula, kapan lagi kan?

Meski mereka terlihat bijaksana, mereka lupa bahwa konsumsi fast food setiap hari adalah hal yang tidak sehat. Penyajian yang tidak segar, komposisi gizi yang berat sebelah, dan cara masak berupa digoreng yang tentunya mengundang berbagai risiko penyakit, mulai dari batuk, radang tenggorokan, obesitas, kolesterol tinggi, sampai penyakit jantung kronis. 

Apa yang terlihat lebih hemat dan menguntungkan hari ini tidak mereka sadari justru menumpuk bahaya di masa mendatang. Sulit mengharapkan merchant dengan makanan sehat karena tentu pengelola e-wallet membaca situasi bahwa generasi milenial sekarang lebih senang dengan makanan yang cepat, keren, dan lumayan costly ala kebarat-baratan atau kejepang-jepangan.

Belum lagi, para pelaku usaha kuliner yang tidak bergabung bersama pengelola e-wallet populer sang penyebar cashback akan mengalami penurunan penjualan bahkan kehilangan seluruhnya. 

Oleh karena berstatus sebagai UMKM dengan modal terbatas, tidak punya akses terhadap kecanggihan teknologi, tidak dilirik oleh pengelola e-wallet, atau diajak pun tidak bisa menunggu proses withdrawal hingga esok hari ketika libur datang dan sangat membutuhkan perputaran uang tunai yang cepat untuk membeli barang modal, mereka ini sangatlah dirugikan. 

Kelompok yang selama ini menjadi andalan untuk menyediakan makanan sehat nan variatif dengan harga murah perlahan harus tersingkir dari mata pencahariannya dan kehilangan gigi sebagai pilar perekonomian nasional. Sebaliknya, konglomerat lokal, pemodal asing, dan pemegang lisensi brand dari luar negeri tersebutlah yang tersenyum bahagia mengeruk semua uang masyarakat kita.

Hal ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan topik sumber daya yang juga menjadi bahasan debat kedua nanti. Karena bisnis besar tentunya membeli bahan baku dari pemasok besar, bagaimana nasib rakyat kecil yang selama ini makan dari mengusahakan sumber daya untuk bahan baku pangan? Ingat bahwa mereka yang harus menjadi fokus utama negara ini adalah para rakyat kecil.

Menghadapi pelanggan yang saking pintarnya

Bagi pelanggan yang "pintar", cashback tersebut digunakan untuk meningkatkan kebahagiaan keluarga dengan cara memanfaatkan kemampuan logika matematika. Kalkulator ponsel yang biasanya hampir tak pernah disentuh kini jadi andalan supaya persentase cashback yang diperoleh pun maksimal mengingat ada batas perolehan dalam satu transaksi, satu hari, dan satu periode perhitungan oleh pengelola per merchant-nya. 

Jika biasanya akhir pekan dihabiskan dengan mengajak keluarganya ke rumah makan yang itu-itu saja, kali ini mereka dibawa ke food court mall mewah alias naik kelas. Akan tetapi, jangan harap mereka memiliki kebebasan untuk memilih makanan karena tentu saja hal ini sudah diatur oleh sang empunya uang. Si A makan B, si C makan D, si E makan F, meski repot karena harus berpindah-pindah gerai tetap saja dilakukan supaya cashback maksimal. Jika satu ponsel sudah mencapai limit, digunakanlah ponsel kedua, ketiga, sampai limit semuanya habis tanpa sisa. 

Di dua kelompok pertama ini, mereka tidak mengalami peningkatan pengeluaran dan berakhirnya cashback tidak membuat mereka sedih karena uang tinggal kembali ke tempat semula atau mencari tempat baru, gampang.

Kelompok orang-orang seperti ini terlihat baik untuk melakukan distribusi pendapatan secara merata, tetapi hal ini kenyataannya hanya akan menyusahkan karena mereka mengantre dan menghabiskan waktu di banyak tempat yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melayani pelanggan lain. 

Tanpa sadar, mereka pun sebenarnya membuang waktu mereka untuk mengatur strategi dan mondar-mandir sana sini, padahal mereka tahu bahwa time is money and time is expensive. Kebersamaan keluarga pun diabaikan demi apa yang disebut sebagai penghematan. Dan satu lagi, karena mereka ini adalah kutu loncat, jika usaha kuliner menjadi usaha musiman berusia seumur jagung, pantaslah mereka ikut disalahkan.

Mumpung diskon, mumpung cashback, makan semakin jor-joran

Sayangnya, justru sebagian besar masyarakat kita bukanlah pelanggan e-wallet yang bijaksana alias bersikap aji mumpung. Mumpung ada cashback, semuanya diborong baik butuh maupun tidak sampai-sampai konsumsi menjadi berlebihan dan sebagian malah dibuang ke tong sampah karena tak sanggup dihabiskan sampai terlanjur rusak. 

Cashback hunter, sebutan di keluarga saya untuk mereka yang ada di kelompok ini, matanya sangat lihai mencari merchant ber-cashback dan dengan cepat langsung mengantre di sana.

Semua barang diambil dan dipesan dengan berpikir bahwa persentase diskonnya sangat besar ketika mereka lupa bahwa sesungguhnya ada batas nilai nominal cashback yang diberikan. Asalkan saldo habis, tangan langsung sigap membuka aplikasi M-Banking agar kegiatan "hunting" bisa tetap berlanjut. Alih-alih berhemat, pengeluaran malah justru membengkak habis-habisan tanpa kontrol sehingga barang yang benar-benar dibutuhkan tak jadi terbeli.

Siapa yang diuntungkan? Tentu pemilik usaha yang sebelumnya cenderung sepi pembeli, produknya bukan merupakan kebutuhan pokok, dan trennya sudah berakhir. Demi memaksimalkan keuntungan, kalau bisa biaya produksi ditekan sebesar persentase cashback meskipun sebenarnya mereka tetap menerima uang sebesar harga normal dan kepuasan pembeli harus dikorting. Akan tetapi, mana ada hunter yang sadar tentang hal ini? Mata mereka sudah terlanjur dibutakan oleh pesona cashback yang terus diburu. 

Setelah periode cashback besar berakhir, sebagian mengalami penurunan persentase dan sebagian lainnya tak lagi menyediakan cashback sehingga antrean hilang dan gerai kembali ke kondisi semula, kosong melompong tanpa pembeli.

Di sisi lain, tentu di luar keuangan pelanggan yang jebol, perilaku membuang makanan ketika tak sanggup menghabiskan sangat dibenci Allah. Masih banyak orang yang sulit untuk makan di luar sana dan mereka yang diberikan rezeki untuk makan justru membuatnya menjadi sia-sia dengan berakhir menjadi sampah sehingga bukan hemat, nikmat, atau pahala yang didapat, dosa justru semakin bertambah.

Ditambah lagi jika mereka pernah mempelajari teori Malthus yang berintikan bahwa pertambahan manusia jauh lebih cepat dari pertambahan makanan, apa penerapannya dalam kehidupan sehari-hari? Teori tersebut sejalan dengan fakta saat ini bahwa semakin hari pemenuhan bahan baku pangan untuk semua orang semakin sulit tercapai dengan sumber daya yang terbatas dan mereka hanya semakin memperkeruh masalah.

Inilah keprihatinan pangan zaman now yang harus dihadapi dan disikapi oleh bangsa Indonesia, bukan hanya menjangkit kalangan ekonomi menengah ke bawah tetapi juga mereka yang lebih berkecukupan. 

Dampaknya pun sangat luas dan melebar ke mana-mana. Pengelola e-wallet tidak salah, memanfaatkan promosi yang ada tidak salah, kitalah yang harus bersikap cermat sehingga pengeluaran tetap terkendali, konsumsi kita tetap sehat dan seimbang, serta tidak merugikan rakyat kecil. Jika hal ini ditanyakan dalam debat, apa pendapat kedua kubu? 

Kita tunggu saja, semoga mereka juga memikirkan masalah ini dan bukan hanya sebatas dampak e-wallet di dunia finansial serta mahalnya pangan yang seringkali harus diimpor sebagai dua hal terpisah. Ibu Sri Mulyani tenang saja, kita semua patut khawatir atas adanya promosi e-wallet secara kontinu seperti ini, bukan hanya Kementerian Keuangan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun