Kelompok orang-orang seperti ini terlihat baik untuk melakukan distribusi pendapatan secara merata, tetapi hal ini kenyataannya hanya akan menyusahkan karena mereka mengantre dan menghabiskan waktu di banyak tempat yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melayani pelanggan lain.Â
Tanpa sadar, mereka pun sebenarnya membuang waktu mereka untuk mengatur strategi dan mondar-mandir sana sini, padahal mereka tahu bahwa time is money and time is expensive. Kebersamaan keluarga pun diabaikan demi apa yang disebut sebagai penghematan. Dan satu lagi, karena mereka ini adalah kutu loncat, jika usaha kuliner menjadi usaha musiman berusia seumur jagung, pantaslah mereka ikut disalahkan.
Mumpung diskon, mumpung cashback, makan semakin jor-joran
Sayangnya, justru sebagian besar masyarakat kita bukanlah pelanggan e-wallet yang bijaksana alias bersikap aji mumpung. Mumpung ada cashback, semuanya diborong baik butuh maupun tidak sampai-sampai konsumsi menjadi berlebihan dan sebagian malah dibuang ke tong sampah karena tak sanggup dihabiskan sampai terlanjur rusak.Â
Cashback hunter, sebutan di keluarga saya untuk mereka yang ada di kelompok ini, matanya sangat lihai mencari merchant ber-cashback dan dengan cepat langsung mengantre di sana.
Semua barang diambil dan dipesan dengan berpikir bahwa persentase diskonnya sangat besar ketika mereka lupa bahwa sesungguhnya ada batas nilai nominal cashback yang diberikan. Asalkan saldo habis, tangan langsung sigap membuka aplikasi M-Banking agar kegiatan "hunting" bisa tetap berlanjut. Alih-alih berhemat, pengeluaran malah justru membengkak habis-habisan tanpa kontrol sehingga barang yang benar-benar dibutuhkan tak jadi terbeli.
Siapa yang diuntungkan? Tentu pemilik usaha yang sebelumnya cenderung sepi pembeli, produknya bukan merupakan kebutuhan pokok, dan trennya sudah berakhir. Demi memaksimalkan keuntungan, kalau bisa biaya produksi ditekan sebesar persentase cashback meskipun sebenarnya mereka tetap menerima uang sebesar harga normal dan kepuasan pembeli harus dikorting. Akan tetapi, mana ada hunter yang sadar tentang hal ini? Mata mereka sudah terlanjur dibutakan oleh pesona cashback yang terus diburu.Â
Setelah periode cashback besar berakhir, sebagian mengalami penurunan persentase dan sebagian lainnya tak lagi menyediakan cashback sehingga antrean hilang dan gerai kembali ke kondisi semula, kosong melompong tanpa pembeli.
Di sisi lain, tentu di luar keuangan pelanggan yang jebol, perilaku membuang makanan ketika tak sanggup menghabiskan sangat dibenci Allah. Masih banyak orang yang sulit untuk makan di luar sana dan mereka yang diberikan rezeki untuk makan justru membuatnya menjadi sia-sia dengan berakhir menjadi sampah sehingga bukan hemat, nikmat, atau pahala yang didapat, dosa justru semakin bertambah.
Ditambah lagi jika mereka pernah mempelajari teori Malthus yang berintikan bahwa pertambahan manusia jauh lebih cepat dari pertambahan makanan, apa penerapannya dalam kehidupan sehari-hari? Teori tersebut sejalan dengan fakta saat ini bahwa semakin hari pemenuhan bahan baku pangan untuk semua orang semakin sulit tercapai dengan sumber daya yang terbatas dan mereka hanya semakin memperkeruh masalah.
Inilah keprihatinan pangan zaman now yang harus dihadapi dan disikapi oleh bangsa Indonesia, bukan hanya menjangkit kalangan ekonomi menengah ke bawah tetapi juga mereka yang lebih berkecukupan.Â