2 Mei lalu, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. 20 Mei lalu, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Mari kita merenung di bulan Mei yang kebetulan dicanangkan sebagai Bulan Pendidikan dan Kebudayaan ini terkait masa depan bangsa dan negara kita. Salah satu tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang ada di dalamnya. Dengan kecerdasan berupa ilmu, pengetahuan, dan budi yang luhur dari bangsa Indonesia, maka bangsa ini dapat menjadi bangsa yang sejahtera dan maju. Kecerdasan tersebut dapat diperoleh bangsa ini dengan pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh wilayah NKRI. Permasalahannya, apakah bangsa ini sudah memilikinya?
Selama lebih dari tujuh dasawarsa, NKRI telah menjadi sebuah negara yang merdeka dan bebas menentukan nasibnya sendiri. Kunci dari kemampuan negara ini untuk lepas dari penjajahan asing adalah kecerdasan para pejuang untuk berstrategi dalam memerdekakan bangsanya. Ketika persaingan di skala global semakin ketat dan era Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah di depan mata, sayangnya belum sepenuhnya masyarakat Indonesia memperoleh pendidikan yang berkualitas khususnya dalam bentuk pendidikan formal. Pendidikan di Pulau Jawa cukup mudah didapat ketika masih banyak masyarakat di pelosok yang belum mendapatkan akses terhadap pendidikan. Mereka yang beruntung mendapatkannya pun harus berjuang ekstra keras untuk menempuh pendidikan dan banyak sekali keterbatasan untuk mencapai tingkat kualitas yang diharapkan.
Solusi untuk mengurangi keterbatasan tersebut dan menciptakan kehidupan berpendidikan yang merata adalah menjadikan pendidikan itu sendiri sebagai gerakan semesta, di mana negara ini memberdayakan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk memajukan tingkat pendidikan. Hal ini sangat memungkinkan karena sejatinya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cerdas, bahkan sekelompok anak bangsa telah berhasil mencetak berbagai prestasi di kancah internasional. Mengapa tidak Kemdikbud saja yang mengurus ini semua? Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki Kemdikbud, tentunya tidak mungkin Kemdikbud bekerja sendirian untuk membangun sekolah di seluruh wilayah Nusantara dalam waktu singkat. Apa saja yang harus dilakukan?
Menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN
Era MEA memungkinkan masyarakat dari negara tetangga bekerja di Indonesia. Persaingan semakin ketat dan salah satu faktor penentunya adalah pendidikan. Mau tidak mau, tingkat pendidikan masyarakat kita harus ditingkatkan agar kompetitif dengan mereka. Kemdikbud perlu menerbitkan peraturan “Wajib Belajar 13 tahun” untuk pelajar usia sekolah sehingga paling tidak mereka memiliki sertifikat Diploma I. Mengapa tidak berhenti di SMA/SMK saja? Para lulusan SMK memang memiliki kompetensi spesifik untuk terjun ke dunia kerja, tetapi bagaimana dengan para lulusan SMA yang masih mempelajari berbagai mata pelajaran secara umum?
Kemudian peraturan ini disosialisasikan dengan baik dan masyarakat dijelaskan manfaatnya agar mau mengikutsertakan anak mereka dalam program ini apa pun kondisinya. Orang tua dan anak harus berusaha bersama-sama untuk menyelesaikan pendidikan anak dengan hasil yang memuaskan di sekolah yang sebaik mungkin.
Keterbatasan lembaga pendidikan formal
Keterbatasan sekolah dan perguruan tinggi bisa dikurangi dengan pendirian lembaga pendidikan swasta oleh pihak swasta, khususnya dalam rangka CSR oleh perusahaan-perusahaan dengan keuntungan yang besar. Sekolah dan perguruan tinggi tersebut sebisa mungkin didirikan di daerah-daerah yang benar-benar kekurangan sarana pendidikan. Dalam pelaksanaan nantinya, sebisa mungkin pula pelajar benar-benar tidak dikenakan biaya sehingga tidak semakin membebankan keluarganya dan jika memang pada akhirnya biaya harus dibebankan, biaya tersebut murni diperuntukkan untuk operasional sekolah, bukan untuk perjuangan membangun cabang. Mengapa saya harus berbicara soal biaya? Fakta di lapangan berbicara bahwa salah satu pos pengeluaran terbesar untuk seorang anak adalah biaya pendidikan, terlebih lagi untuk mereka yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan swasta.
Dari mana perusahaan tersebut tahu daerah mana saja yang kekurangan pendidikan dan lembaga pendidikan seperti apa yang harus didirikan? Data terkait hal tersebut diberikan oleh Kemdikbud. Kemdikbud harus memastikan agar nantinya yang dibangun tidak asal sekolah, tidak asal perguruan tinggi, tetapi sekolah atau perguruan tinggi yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak dan pengajar yang berkualitas untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Hal ini penting mengingat kondisi sekolah-sekolah yang ada sekarang ini belum semuanya tergolong layak dan memiliki fasilitas yang cukup, khususnya untuk praktikum. Maklum, fasilitas untuk praktikum tergolong mahal sehingga wajar jika kita menemukan sebuah sekolah hanya memiliki satu komputer untuk banyak siswa dan masih banyak lagi kendala. Jika terus dibiarkan, sekolah seperti ini hanya akan meluluskan pelajar dengan jangkauan teori yang luas tetapi tidak dengan keterampilannya.
Khusus pendidikan jenjang perguruan tinggi, pihak yang kesulitan mendirikan perguruan tinggi fisik dapat mengadakan kerja sama dengan perguruan tinggi yang sudah ada untuk menyelenggarakan aktivitas kuliah online. Kuliah online tidak hanya menambah jumlah mahasiswa yang dapat merasakan bangku kuliah, melainkan juga memfasilitasi para pekerja penuh dan mereka yang di daerahnya tidak terjangkau kehadiran perguruan tinggi.
Selanjutnya, setelah kehadiran lembaga pendidikan swasta dan pendidikan online, peran Kemdikbud di sini adalah menentukan dan mengembangkan kurikulum standar untuk seluruh lembaga pendidikan formal yang ada, mengawasi kegiatan lembaga pendidikan formal agar berjalan sebagaimana mestinya, dan terus memantau kualitas pendidikan agar senantiasa positif dan merata.
Kemampuan lembaga pendidikan formal mencetak lulusan yang mampu mengamalkan nilai Pancasila
Indonesia memiliki dasar negara yang sederhana tetapi memuat nilai-nilai mulia untuk kehidupan bangsa ini yaitu Pancasila. Begitu pentingnya nilai-nilai dalam Pancasila hingga pendidikan mempelajarinya secara lebih mendalam dan juga bentuk pengamalannya. Permasalahannya, apakah para pelajar sudah melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari? Ketika masih ada pelajar yang melakukan aksi menyontek, maka pelajar tersebut belum mampu mengamalkan nilai Pancasila dalam hidupnya. Lembaga pendidikan harus berjuang agar para lulusan nantinya mampu mengamalkan nilai mulia Pancasila dan menjadi insan yang berguna melalui penguatan iman, penegakan disiplin, dan tidak menganggap nilai sebagai satu-satunya hal yang penting. Mengapa siswa mau menyontek? Salah satunya adalah standar nilai yang tinggi di lembaga pendidikan.
Keterbatasan pengajar
Indonesia saat ini boleh dibilang memiliki keterbatasan pengajar, terlebih lagi pengajar berkualitas. Menjadi pengajar dianggap kurang menguntungkan secara ekonomis bagi sebagian orang. Mereka yang menjadi pengajar saat ini pun tidak semuanya memiliki kompetensi yang luas untuk menampung keingintahuan para pelajar. Hal ini memaksa sekelompok pengajar yang sudah memasuki usia pensiun untuk terus mengajar demi menjaga kualitas.
Keterbatasan pengajar dapat dikurangi dengan menggerakkan hati anak bangsa untuk mau membaktikan diri mereka sebagai pahlawan tanpa tanda jasa kepada sesama mereka. Gerakan seperti ini sudah ada di Indonesia dalam wujud kelompok “Indonesia Mengajar” dan diharapkan ke depannya semakin banyak anak bangsa yang terpanggil untuk mengikuti kegiatan seperti ini. Akan lebih baik lagi jika negeri ini benar-benar memiliki pengajar yang sejak awal diperuntukkan menjadi guru melalui pendidikan keguruan. Pemerintah bersama dengan pihak swasta dapat memberikan beasiswa kepada mereka yang berprestasi dan mau membaktikan diri sebagai pengajar namun tidak memiliki cukup uang. Selanjutnya, Kemdikbud berperan mendata pengajar-pengajar yang ada dan menentukan di jenjang dan pelajaran apakah yang masih kekurangan pengajar agar pengajar baru tersebut dapat dididik sesuai kebutuhan.
Kemampuan pengajar mengamalkan nilai Pancasila
Pengajar tidak boleh menuntut didikannya melulu tentang nilai, melainkan mengajak didikan untuk belajar dan berusaha sebaik-baiknya sehingga nilai bukanlah menjadi pusat utama. Pengajar harus memperhatikan dan menghargai usaha para didikannya. Menjadikan nilai sebagai pusat perhatian mengurangi niat pelajar untuk memahami materi pelajaran untuk masa depan mereka dan malah mendorong kepada ketidakjujuran. Ketidakjujuran berarti gagalnya pengalaman sila pertama Pancasila. Pengajar juga tidak diperkenankan mendorong para didikannya untuk bersaing terlalu ketat karena dapat menjurus kepada persaingan yang tidak sehat, ketidakadilan, dan perpecahan.
Mengintensifkan peran keluarga sebagai pusat pendidikan pertama dan utama
Tidak sepanjang hari seorang pelajar berada di lembaga pendidikan formal tempat dirinya menimba ilmu. Sebagian besar waktu dihabiskan di rumah bersama dengan keluarga. Keluarga tidak hanya memberikan kasih sayang dan memenuhi kebutuhan ekonomis, melainkan juga menanamkan karakter, keterampilan, dan pengetahuan sehingga sang pelajar bisa menjadi manusia sejati dan memposisikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Peran keluarga sangat besar dalam membentuk karakter dan keterampilan anak sehingga peran keluarga dalam pendidikan harus diintensifkan. Orang tua harus digerakkan untuk mendidik anaknya dengan baik, benar, dan penuh cinta, bukannya mendedikasikan seluruh waktunya melulu untuk mencari nafkah.
Pendidikan dalam tingkat masyarakat dan negara
Lingkungan sekitar memberikan peran yang cukup besar dalam membentuk keterampilan dan karakter seorang individu. Maka, setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban untuk menjadi teladan berkehidupan yang benar dan taat. Tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat bergerak untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dan juga nilai kearifan bangsa (termasuk di dalamnya Pancasila) agar selanjutnya diamalkan oleh seluruh masyarakat. Di lingkungan Rukun Tetangga atau Rukun Warga, dapat diadakan kegiatan pendidikan keterampilan dan juga didirikannya perpustakaan. Masyarakat kelompok mampu didorong untuk menyisihkan uang yang mereka miliki untuk memberikan beasiswa kepada mereka yang tidak mampu.
Bagaimana dengan masyarakat yang sudah terlanjur bekerja dengan pendidikan terakhir kurang dari SMA? Kemdikbud perlu menggerakkan para pemimpin di setiap daerah untuk mendata mereka dan selanjutnya memotivasi mereka agar mau belajar lagi dan selanjutnya mengikuti ujian kesetaraan agar memiliki ijazah yang lebih tinggi. Materi belajar dapat diperoleh dari sumbangan buku-buku, pembelian buku baru dengan kas setempat, dan juga mengunduh buku-buku elektronik.
Dalam konteks bernegara, Pemerintah dapat bekerja sama dengan kelompok intelektual dan praktisi teknologi untuk membuat publikasi-publikasi bernuansa pendidikan dan pengamalan Pancasila. Publikasi ini dapat berupa unggahan di jejaring sosial dan juga permainan interaktif.
Peran media terhadap gerakan pendidikan
Media massa baik media cetak maupun media elektronik haruslah berkontribusi terhadap pendidikan bernilai positif di negeri ini. Paling tidak, media memberikan konten yang sesuai dengan nilai-nilai positif bangsa dan tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengannya (misalnya : kekerasan, berbicara kasar, ketidaksopanan). Hal ini penting mengingat media dinikmati secara luas oleh masyarakat dan dijadikan bahan pertimbangan serta acuan dalam imitasi sosial. Salah satu dampak kehadiran acuan imitasi yang bersifat negatif ini adalah semakin marak dan parahnya bullying di lembaga pendidikan. Akan lebih baik lagi jika media mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk menampilkan konten edukatif, misalnya : kuis Pancasila, cerdas cermat, pembahasan materi pelajaran, dan pengetahuan akan fakta-fakta unik di dunia ini.
Menjadikan diri mau dididik oleh pendidikan
Segala usaha kesemestaan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik tidak akan ada artinya jika masyarakat yang ada tidak mau dididik. Usaha dimulai dari diri sendiri di mana individu mau menerima pendidikan dan antusias untuk menambah ilmu yang dimilikinya, bergerak aktif untuk terus memperluas wawasan dari kanal pendidikan mana saja tanpa sedikitpun menutup diri. Usia, kemampuan finansial, dan segala hal lainnya jangan dijadikan hambatan untuk terus belajar dan belajar. Selamat belajar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI