Parkir sembarangan di kota-kota besar di Indonesia menjadi fenomena sosial yang semakin mencolok, terutama di daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kota seperti Jakarta, Bekasi, Surabaya, dan Makassar menghadapi masalah ini sebagai konsekuensi dari urbanisasi yang pesat dan pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkendali.Â
Data terbaru tahun 2024 menunjukkan bahwa kota-kota besar ini memiliki tingkat kepadatan yang signifikan, dengan Bekasi mencapai 12.000 jiwa/km, Jakarta 1.500 jiwa/km, Surabaya 8.900 jiwa/km, dan Makassar 8.400 jiwa/km.Â
Tingginya densitas ini memengaruhi pola hidup warga kota, termasuk dalam penggunaan ruang publik seperti jalanan.Â
Ditambah, pada tahun 2024, jumlah kendaraan roda empat di Kota Makassar diperkirakan mencapai sekitar 1,3 juta unit atau tumbuh signifikan sekitar 8 - 10 persen dalam satu tahun.
Kota Makassar, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia timur, menghadapi tantangan yang mirip dengan kota-kota besar lainnya. Dengan kepadatan penduduk 8.400 jiwa/km, kota ini mengalami tekanan besar dalam hal pengelolaan ruang kota.Â
Perilaku parkir sembarangan sering kali terjadi di permukiman padat yang tidak memiliki cukup ruang untuk garasi.Â
Kejadian seorang warga yang viral di media sosial karena menyulap badan jalan menjadi "garasi pribadi" Â pada bulan September 2024 lalu, menjadi contoh nyata dari persoalan ini.
Parkir Sembarangan dan Fenomena Sosial Entitlement Mentality
Parkir sembarangan bukan hanya mengurangi estetika kota, tetapi juga membawa dampak sosial yang serius.Â
Penggunaan ruang publik secara egois dapat memicu konflik antarwarga, menghambat akses darurat seperti ambulans, dan memperburuk kemacetan.Â
Selain itu, fenomena ini juga mencerminkan kurangnya kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga fasilitas bersama.
Fenomena parkir sembarangan ini tidak hanya soal keterbatasan lahan, tetapi juga mencerminkan perilaku sosial yang dikenal dengan istilah entitlement mentality.Â
Istilah ini mengacu pada pola pikir di mana seseorang merasa berhak menggunakan fasilitas publik tanpa mempertimbangkan dampak terhadap orang lain.Â
Dalam konteks parkir sembarangan, perilaku ini menunjukkan sikap egois di mana pemilik kendaraan bermobil merasa memiliki hak lebih besar atas ruang publik dibandingkan warga lainnya.
Budaya stratifikasi sosial yang meletakkan orang kaya atau pemilik harta benda berharga sebagai kelas atas tidak terlepas dari warisan feodalistik masa lalu di Indonesia.Â
Dalam sistem feodal, hierarki sosial ditentukan oleh kedudukan dan kekayaan, di mana para bangsawan atau penguasa lokal memegang kendali penuh atas sumber daya, tanah, dan masyarakat yang bergantung pada mereka.Â
Struktur ini melahirkan pola pikir yang menempatkan pemilik kekuasaan atau kekayaan sebagai pihak yang lebih berhak atas ruang dan fasilitas publik, sebuah pola yang terus terbawa hingga kini.
Salah satu cerminan dari warisan ini adalah perilaku egoistik pemilik kendaraan, terutama di perkotaan. Mobil atau kendaraan mewah menjadi simbol status yang dianggap membedakan pemiliknya dari orang-orang "biasa."Â
Dalam praktiknya, ini sering kali terlihat dalam sikap yang merasa berhak menggunakan jalan atau trotoar untuk parkir pribadi, bahkan jika tindakan itu merugikan orang lain.Â
Mereka yang memiliki lebih banyak aset, seperti kendaraan, merasa berstatus lebih tinggi, sebuah pengaruh langsung dari mentalitas feodal yang menonjolkan ketimpangan hak dan akses berdasarkan hierarki.
Ego yang lahir dari status ini juga memengaruhi cara orang berinteraksi di ruang publik. Mereka cenderung memprioritaskan kebutuhan pribadi di atas kesejahteraan kolektif, yang akhirnya memperburuk ketidakadilan sosial.Â
Dalam konteks ini, entitlement mentality berperan sebagai penguat, di mana seseorang merasa bahwa status ekonominya memberi legitimasi untuk mengabaikan aturan atau norma demi kenyamanan pribadi.Â
Fenomena ini menjadi tantangan besar dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.
Pendekatan Komunal Sampai Law Enforcement yang Tegas
Di tingkat lingkup warga RT/RW, penanganan parkir sembarangan bisa dilakukan melalui pendekatan yang lebih berbasis komunal.Â
Pengurus RT/RW perlu bekerja sama dengan warga untuk mensosialisasikan pentingnya tertib parkir, baik melalui pertemuan rutin maupun media informasi lokal.Â
Selain itu, penyediaan area parkir terorganisir di lingkungan perumahan dapat mengurangi parkir sembarangan. Dengan adanya aturan yang jelas dan tempat parkir yang memadai, diharapkan masyarakat lebih disiplin dan kesadaran kolektif meningkat.
Di pusat keramaian seperti depan mal atau pasar, penegakan hukum yang lebih ketat sangat diperlukan untuk mengurangi parkir sembarangan. Pemerintah dan instansi terkait harus meningkatkan pengawasan di titik-titik rawan ini dengan penempatan petugas secara rutin.Â
Penindakan yang tegas, seperti Keberhasilan dalam penegakan hukum, seperti penerapan denda atau sanksi lainnya untuk pelanggaran parkir sembarangan, akan membangun kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kenyamanan ruang publik.Â
Ini akan membantu menjaga kelancaran arus lalu lintas dan kenyamanan publik, sekaligus mendisiplinkan masyarakat dalam menggunakan ruang publik secara bijak. (yrd).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H