Istilah ini mengacu pada pola pikir di mana seseorang merasa berhak menggunakan fasilitas publik tanpa mempertimbangkan dampak terhadap orang lain.Â
Dalam konteks parkir sembarangan, perilaku ini menunjukkan sikap egois di mana pemilik kendaraan bermobil merasa memiliki hak lebih besar atas ruang publik dibandingkan warga lainnya.
Budaya stratifikasi sosial yang meletakkan orang kaya atau pemilik harta benda berharga sebagai kelas atas tidak terlepas dari warisan feodalistik masa lalu di Indonesia.Â
Dalam sistem feodal, hierarki sosial ditentukan oleh kedudukan dan kekayaan, di mana para bangsawan atau penguasa lokal memegang kendali penuh atas sumber daya, tanah, dan masyarakat yang bergantung pada mereka.Â
Struktur ini melahirkan pola pikir yang menempatkan pemilik kekuasaan atau kekayaan sebagai pihak yang lebih berhak atas ruang dan fasilitas publik, sebuah pola yang terus terbawa hingga kini.
Salah satu cerminan dari warisan ini adalah perilaku egoistik pemilik kendaraan, terutama di perkotaan. Mobil atau kendaraan mewah menjadi simbol status yang dianggap membedakan pemiliknya dari orang-orang "biasa."Â
Dalam praktiknya, ini sering kali terlihat dalam sikap yang merasa berhak menggunakan jalan atau trotoar untuk parkir pribadi, bahkan jika tindakan itu merugikan orang lain.Â
Mereka yang memiliki lebih banyak aset, seperti kendaraan, merasa berstatus lebih tinggi, sebuah pengaruh langsung dari mentalitas feodal yang menonjolkan ketimpangan hak dan akses berdasarkan hierarki.
Ego yang lahir dari status ini juga memengaruhi cara orang berinteraksi di ruang publik. Mereka cenderung memprioritaskan kebutuhan pribadi di atas kesejahteraan kolektif, yang akhirnya memperburuk ketidakadilan sosial.Â
Dalam konteks ini, entitlement mentality berperan sebagai penguat, di mana seseorang merasa bahwa status ekonominya memberi legitimasi untuk mengabaikan aturan atau norma demi kenyamanan pribadi.Â
Fenomena ini menjadi tantangan besar dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.