Bab 6 – Ada Anna di Hape Dirga
Hari pernikahan pun tiba.
Di ruang rias, Anna duduk dengan wajah lelah meski penampilannya begitu memukau. Para tamu yang datang memujinya habis-habisan. Bahkan MUA-nya berkata, "Wajah mbak Kinan ini nggak perlu banyak dirias. Cantik alami banget! Beruntung banget dokter Dirga dapat istri seperti ini."
Namun, di sudut ruangan, beberapa tamu perempuan sedang berbisik.
Tamu 1: "Katanya dokter Dirga itu bucin banget sama Kinan. Makanya semua urusan pernikahan ini dia yang atur."
Tamu 2: "Iya, tapi dengar-dengar, Kinan sebenarnya nggak mau. Terpaksa karena permintaan Papanya."
Anna mendengar percakapan itu dengan telinga panas. Anna menggerutu dalam hati, Apa? Dirga bucin? Tidak salah? Dirga itu raja sandiwara! Di depanku dia ketus, tapi di depan orang lain dia bisa seperti malaikat.
Di aula utama, Anna tersenyum kecil ketika melihat dokter Hasan. Ia merasa berhutang budi kepada dokter yang telah menyelamatkan nyawa Kinan itu. Namun senyumnya memudar ketika melihat Dudi berdiri di sebelah dokter Hasan.
Dudi terpaku di depan foto pre-wedding yang terpajang di pintu masuk. Dudi terkejut, "Ayah, ini calon istri dokter Dirga?"
Dokter Hasan mengangguk. "Iya, Kinan, putri keluarga Kusumah. Kenapa?"
Dudi kebingungan, "Beberapa hari lalu, dia ke kampusku. Dia bilang mencari temannya, tapi bahkan sudah kutanya ke bagian administrasi, tidak ada nama Anna di jurusan Teknik Industri.”
Ketika keluarga dokter Hasan maju untuk memberi selamat kepada mempelai, Dudi berdiri di belakang ayahnya. Ia tersenyum simpul pada Anna. "Aku nggak tahu kalau kamu calon istri dokter Dirga," ujar Dudi.
Dirga, yang sedang berbasa-basi dengan Dokter Hasan, mendengar ucapan Dudi. Ia melirik Anna dengan curiga, "Kamu kenal Dudi?"
Sebelum Anna sempat menjawab, Dudi melanjutkan, "Beberapa hari yang lalu dia ke kampusku, Dok. Dia bilang mencari temannya..."
Anna langsung menendang lutut Dudi. Wajahnya tegang, dan dia memelototi Dudi dengan tajam.
Dudi kaget, "Eh, maaf. Aku salah bicara..."
Setelah menjauh, "Ayah, apa benar Kinan ini terpaksa menikah?”
Dokter Hasan menghela napas. "Semua orang tahu bahwa Kinan melakukannya demi Papanya. Dirga memang menyukainya, tapi aku tidak yakin perasaan itu sama dari pihak Kinan."
Kini rombongan undangan rekan-rekan Dirga dari rumah sakit sudah mulai berdatangan, antri menyalami kedua mempelai. Terdengar laun gurauan para dokter muda di sana, “Wah, hebat ya Dirga! Bisa dapat dua-duanya...”
Namun tetiba kalimat tersebut terhenti. Dokter muda itu menutup mulutnya seolah keceplosan. Anna mencoba mengamatinya, namun suasana terlalu riuh sehingga dia tak dapat memperhatikan lagi.
Dirga dapat dua-duanya? Apa maksudnya? Apakah diam-diam dia juga memacari dokter Rianti? Duh, kasihan Kinan. Pikir Anna.
---
Setelah pesta selesai, Anna menuju kamar hotel yang telah disiapkan untuknya dan Dirga. Ia ingin segera mengganti gaun pengantin yang berat itu. Di kamar, asisten MUA membantu membuka kancing-kancing gaunnya, namun tiba-tiba Dirga masuk ke dalam ruangan, "Kamu bisa keluar sekarang," ucapnya kepada asisten MUA.
Asisten itu mengangguk gugup dan meninggalkan kamar.
"Kenapa kamu menyuruhnya pergi? Aku butuh bantuan untuk melepas gaun ini."
Dirga mendekat, "Biar aku yang membantu."
Anna mundur beberapa langkah, memeluk tubuhnya yang masih terbungkus gaun. "Tidak perlu. Panggil saja dia kembali."
Dirga menatap tajam. "Kamu mau dilepaskan sekarang atau tidur dengan gaun itu semalaman?"
Anna mendongak, menatap mata Dirga dengan penuh perlawanan, mengepalkan tangannya, merasa semakin terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. Namun, ia tahu bahwa melawan Dirga hanya akan memperburuk keadaan. Anna menghela napas, "Baiklah. Tapi jangan sentuh aku. Aku bisa melepasnya sendiri."
Dirga tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat, membuat Anna tak bisa bergerak. Tatapannya yang sulit diartikan bertemu dengan mata Anna, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan namun tertahan.
Perlahan, Dirga membungkuk, membiarkan bibirnya menyentuh tengkuk Anna dengan lembut.
Anna membeku di tempatnya, napasnya tertahan. Kecupan itu hangat namun singkat, seperti bisikan tanpa kata. Sentuhan lembut Dirga di tengkuknya membuat napasnya tersendat. Rasa hangat yang menjalar di kulitnya terasa aneh, seperti tidak sepenuhnya miliknya. Ini tubuh Kinan, pikirnya, tapi perasaan ini nyata—dan dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Dirga melangkah mundur, memberinya ruang. Matanya yang tajam bertemu dengan tatapan Anna. Tidak ada lagi dingin atau ketus di sana, hanya ketulusan yang sulit ia sembunyikan.
"Aku tidak akan menyakitimu, Kinan," katanya pelan, suaranya dalam namun penuh kelembutan.
Anna tidak tahu harus berkata apa. Dirga yang biasanya penuh dengan sikap arogan kini tampak rapuh di depannya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Anna merasa tersentuh—seolah melihat pria yang tidak lagi sekadar menjalankan tanggung jawab, melainkan seseorang yang benar-benar ingin mencintai.
Dengan lembut, Dirga membantu Anna melepas gaun pengantin yang berat itu. Tangannya terampil namun penuh kehati-hatian, memastikan Anna tetap nyaman. Setiap gerakan terasa seperti sebuah janji tak terucapkan.
Tubuh Anna—tubuh Kinan—tercermin di cermin besar di ruangan itu. Ia melihat sosok yang bukan dirinya, namun anehnya, ia merasa mulai menerima kenyataan ini. Mungkin, ini bukan hanya tentang hidup dalam tubuh orang lain. Mungkin, ini adalah kesempatan untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia miliki sebelumnya.
Dirga menariknya ke dalam pelukan. Sentuhannya hangat, menenangkan. Wajah Dirga yang begitu dekat. Ia bisa merasakan denyut jantungnya, cepat namun stabil. Ada kejujuran dalam kata-katanya yang tidak bisa ia abaikan.
"Aku... aku bukan Kinan," gumamnya lemah, hampir tidak terdengar.
Namun Dirga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menyentuh bibir Anna dengan miliknya. Ciuman itu lembut, seperti angin musim semi yang menyapu lembut wajahnya. Tidak ada paksaan, hanya kehangatan yang perlahan menyusup ke dalam hatinya.
Malam itu menjadi awal dari sesuatu yang baru. Dalam keheningan kamar, mereka menemukan cara untuk saling memahami, satu sentuhan demi satu sentuhan. Anna, meski merasa asing dengan tubuh Kinan, merasakan keintiman yang perlahan membuatnya nyaman.
Dirga, di sisi lain, seperti menemukan sisi baru dari Kinan. Gadis yang selama ini ia anggap lemah ternyata memiliki keberanian yang ia abaikan. Setiap gerakan, setiap napas, terasa seperti percakapan diam-diam antara dua jiwa yang mencoba menyatu.
Ketika malam berganti menjadi fajar, Anna terbaring di sisi Dirga, tubuhnya terasa ringan namun penuh dengan emosi yang bercampur. Ia tahu, ini hanyalah awal dari perjalanan panjang mereka. Dan meskipun ia masih terjebak dalam tubuh Kinan, untuk pertama kalinya ia merasa tidak sendirian.
Dirga mengusap rambutnya dengan lembut, memandangnya dengan mata penuh kasih. "Terima kasih," bisiknya.
—
Malam itu begitu hangat. Dirga memperlakukannya dengan lembut, tidak dingin seperti biasanya.
Matanya melirik hape milik Dirga di meja nakas. Ada dorongan aneh dalam dirinya, sesuatu yang membuat tangannya bergerak sebelum pikirannya sempat menahan. Ia meraih ponsel itu, dingin di tangannya. Jarinya menyentuh layar, mencoba menghidupkannya.
Terkunci.
Anna menggigit bibirnya, otaknya berputar. Kode apa yang digunakan Dirga untuk mengunci ponselnya? Tanggal lahir Kinan muncul di benaknya, namun entah kenapa ia malah mengetik tanggal lahirnya sendiri—tanggal yang seharusnya tidak pernah diketahui Dirga.
Layar menyala. Berhasil.
Anna terdiam, jantungnya berdegup kencang. Kenapa tanggal lahirku? bisiknya pada dirinya sendiri.
Tangannya gemetar saat ia mencoba mencari penjelasan. Rasa ingin tahu menguasainya. Perlahan, ia membuka galeri. Jantungnya semakin berdetak cepat. Yang ia temukan hanyalah foto-foto jurnal medis, seminar kedokteran, dan ruangan rumah sakit. Tidak ada satu pun foto Kinan.
Ia menggulir layar ke bawah, hingga akhirnya menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir sesaat. Sebuah foto. Foto seorang perempuan.
Foto dirinya!
Anna tertegun. Itu adalah wajahnya—bukan wajah Kinan, tetapi Anna, saat ia masih hidup dalam tubuhnya sendiri. Foto itu terlihat diambil secara diam-diam, dengan latar belakang kampus tempat ia dulu berkuliah. Anna ingat jelas baju yang digunakannya dalam foto itu. T-shirt hitam berbalut jaket krem celana panjang cargo favoritnya.
Tangannya gemetar saat ia kembali ke menu utama. Jarinya mengetuk aplikasi telepon, lalu dengan ragu mengetik nomor ponselnya sendiri—nomor yang tidak lagi aktif sejak ia berada di tubuh Kinan. Sebuah nama muncul di layar: Kirana.
Ponsel itu terjatuh dari tangannya ke atas kasur. Tubuhnya gemetar, pikirannya kacau. Siapa sebenarnya Dirga? Bagaimana ia bisa tahu tentang Anna, dan mengapa nomor Anna tersimpan di ponselnya dengan nama "Kirana"?
Langkah kaki terdengar dari kamar mandi. Dirga keluar dengan handuk tergantung di lehernya. Matanya langsung tertuju pada ponsel yang tergeletak di atas kasur, bukan di tempat seharusnya di meja nakas. Ia melangkah cepat, mengangkat ponselnya, dan melihat layar masih menyala. Menu terakhir yang terbuka membuat wajahnya berubah kaku. Nomor telepon bertulisan "Kirana". Dirga mengangkat pandangannya, langsung bertemu dengan mata Anna yang penuh tanya dan bingung. Keheningan yang berat menggantung di antara mereka.
"Kenapa kamu buka ponselku?" tanya Dirga, suaranya rendah, hampir berbisik, tapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan.
Anna tidak menjawab. Ia hanya menatap Dirga dengan mata yang mulai memerah, mencoba mencari jawaban di balik wajah tenangnya. "Siapa Kirana?" tanyanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
Dirga menarik napas dalam, menggenggam ponselnya erat. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya gelap. Namun sejuruh kemudian sorot matanya melemah, mengecup bibirnya kemudian berbisik, "Kamu tidak perlu tahu," jawabnya dingin. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Anna yakin Dirga menyembunyikan lebih dari sekadar nama itu.
Kepalanya terasa pusing, penuh dengan berbagai pertanyaan. Kenapa tidak ada Kinan di hapemu? Kenapa malah fotoku yang muncul? Kenapa tanggal lahirku jadi kode kunci? Kenapa ada nomor hapeku bernama “Kirana” di sana? Apakah kamu kenal aku? Kenapa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H