Mohon tunggu...
Ani Sudaryanti
Ani Sudaryanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis bagi saya, sebagai upaya penyampaian pemikiran sederhana yang tertanam dan berkumpul di kepala dan hati saya. Dengan diksi dan ungkapan yang masih dibilang amatir. Jadi mohon maklum :)--masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Pasar

3 Desember 2013   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Daganganku…” hanya itu yang terucap lirih, sudah tiada tenaga. Kemungkinan, habis karena aku kebanyakan bernyanyi. Aku mengumpulkan menjadi satu semua daganganku yang terserak tidak teratur. Ada yang kotor bagian belakang, tengahnya dan ada yang benar-benar kotor. Yang bersih saja tidak laku, apa lagi yang kotor.

Terbayang sudah wajah istriku yang menggemaskan. Celana-celana ini akan ku bawa pulang, memintanya untuk mencucinya. Siapa tahu masih bisa laku. Pasti dia ngambek lagi, aku tidak membawa uang. Malah bawa kerjaan. Kemarin, waktu hari minggu dia minta lipstik dan bedak katanya biar cantik. Menurutku tanpa semua itu dia memang sudah cantik. Aku menikahinya memang karena dia cantik. Seharusnya tanpa lipstik di bibirnya dia sudah menawan. Dulu, aku berpikir dengan memiliki istri cantik maka akan menghemat uang untuk beli bedak.

Dia terus merayu dengan manja. Ku katakan, “Iya nanti, kalau dagangan abang laku”. Baginya itu adalah janji. Sayangnya aku memberikan kecewa yang dalam untuknya.

Ku kumpulkan daganganku dalam sebuah karung. Tapi, aku menemukan sesuatu dalam tumpukan daganganku. Kau tahu apa? Sebuah dompet hitam. Hampir senada dengan warna celanaku, jadi aku tidak tahu kapan dompet ini mampir ke daganganku. Sungguh, ini bukan miliku. Aku hanya punya dua ribu lima ratus.

Menurutku, pencopetdan yang mengejarnya itu lewat, dia menjatuhkann dompet ini.Aku penasaran, apa sih isinya. Ku intip saja. Seperti tersengat listrik, lima lembar uang seratus ribuan. Sebuah foto, KTP, SIM dan tiket yang di lipat menjadi dua. Aku membaca terbata, tiket konser. Aku berpikir sebentar. Emmh, tiket konser, berarti pertunjukan menyanyi. Wah, mahal sekali harganya. Cukup untuk dua kali bayar kontrakan bang Haji.

Padahal kalau untuk mendengar orang bernyanyi, di pasar pun bisa. Gratis. Tidak perlu membeli tiket konser macam ini. Asal punya telinga yang lubangnya besar. Mau ku apakan dompet ini. Kalau ku lihat isinya, dompet ini bisa untuk membeli celana-celana yang ku jual ini dan terlanjur kotor karena terinjak-injak. Tuhan memang maha baik, lihatlah hari ini ku rasa akan makan sekenyang-kenyangnya, dan di rumah kontrakan nanti aku akan bernyanyi bersama istriku. Ku pikir ini sebagai ganti rugi daganganku. Kalau begitu, ku bawa pulang saja. Dan aku berjalan menuju kontrakanku dengan bernyanyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun