Mohon tunggu...
Ani Sudaryanti
Ani Sudaryanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis bagi saya, sebagai upaya penyampaian pemikiran sederhana yang tertanam dan berkumpul di kepala dan hati saya. Dengan diksi dan ungkapan yang masih dibilang amatir. Jadi mohon maklum :)--masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Pasar

3 Desember 2013   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gimana sih, katanya lima belas ribu dua, kok, sepuluh ribu. Seharusnya tujuh ribu lima ratus” cerocosnya. Mengajariku berhitung. Memaksaku berpikir. Padahal aku sedang tidak bisa berpikir.

“Kalau beli dua baru lima belas ribu, tapi ibu kan minta satu” gugatku. Ibu itu lalu menenteng anaknya berlalu setelah mengaduk-aduk celana-celana ini. Sungguh nasib. Perutku meraung kencang. Memaksaku memanggilnya. Pasar ini memang sudah gadung, berteriak-teriak memanggilnya malah tambah gaduh.

­-***-

Uang di tanganku. Hayalanku berubah. Tidak sebatas roti kering dan air mineral. Nasi bungkus yang harganya lima ribu. Cukup menghentikan nyanyian perutku. Lama-lama aku jadi terbiasa dengan nyanyian keroncong. Seperti lagu-lagu yang beradu di otakku. Aku menjadi suka menyanyi ; kekasih gelap.

Uang itu ku masukkan ke dalam saku celanaku. Aku harus bergegas ke warung makan mpok Pia, telor gorengnya enak. Sama seperti istriku kalau memasak.

“Bang, minta uang!” Sebelum aku sampai melangkahkan kaki ke warung makan mpok Pia. sebuah tangan menjulur seenaknya di mukakku. Dia, wanita yang baru ku puji, masakannya enak. Istriku. Dengan daster seadanya, mengadahkan tangan.

“Buat apa sih neng?” aku mengajukan pertanyaan bodoh. Untung dia tidak berteriak “Ya, buat makan, gimana sih?” karena ku tahu dari semalam dia belum makan.Saat ini, aku tidak bisa berpikir. Kepalaku terkontaminasi rasa di perutku.

“Uuuh, aku lapar!” teriaknya gemas. Sedikit manja. Seharusnya aku mengerti dengan rasa laparnya. Bukankah, tadi pagi telah ku janjikan kenyang padanya. Telor goreng, buat dia sebenarnya cukup.

Cukup lama aku menimbang. Wanita yang statusnya istriku, cerocos sejadi-jadinya. Pasar ini sudah gaduh, dia cerocos malah tambah gaduh. Lagu di lapak masih bernyanyi ; kekasih gelap.

Mau apa lagi, ku berikan lima ribu padanya. Sisanya dua ribu lima ratus. Aku jadi enggan makan roti kering dan minum air mineral. Aku sudah terlanjur menghayalkan nasi bungkus mpok Pia ditambah telor goreng. Pasti enak.

-***-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun