“Gimana sih, katanya lima belas ribu dua, kok, sepuluh ribu. Seharusnya tujuh ribu lima ratus” cerocosnya. Mengajariku berhitung. Memaksaku berpikir. Padahal aku sedang tidak bisa berpikir.
“Kalau beli dua baru lima belas ribu, tapi ibu kan minta satu” gugatku. Ibu itu lalu menenteng anaknya berlalu setelah mengaduk-aduk celana-celana ini. Sungguh nasib. Perutku meraung kencang. Memaksaku memanggilnya. Pasar ini memang sudah gadung, berteriak-teriak memanggilnya malah tambah gaduh.
-***-
Uang di tanganku. Hayalanku berubah. Tidak sebatas roti kering dan air mineral. Nasi bungkus yang harganya lima ribu. Cukup menghentikan nyanyian perutku. Lama-lama aku jadi terbiasa dengan nyanyian keroncong. Seperti lagu-lagu yang beradu di otakku. Aku menjadi suka menyanyi ; kekasih gelap.
Uang itu ku masukkan ke dalam saku celanaku. Aku harus bergegas ke warung makan mpok Pia, telor gorengnya enak. Sama seperti istriku kalau memasak.
“Bang, minta uang!” Sebelum aku sampai melangkahkan kaki ke warung makan mpok Pia. sebuah tangan menjulur seenaknya di mukakku. Dia, wanita yang baru ku puji, masakannya enak. Istriku. Dengan daster seadanya, mengadahkan tangan.
“Buat apa sih neng?” aku mengajukan pertanyaan bodoh. Untung dia tidak berteriak “Ya, buat makan, gimana sih?” karena ku tahu dari semalam dia belum makan.Saat ini, aku tidak bisa berpikir. Kepalaku terkontaminasi rasa di perutku.
“Uuuh, aku lapar!” teriaknya gemas. Sedikit manja. Seharusnya aku mengerti dengan rasa laparnya. Bukankah, tadi pagi telah ku janjikan kenyang padanya. Telor goreng, buat dia sebenarnya cukup.
Cukup lama aku menimbang. Wanita yang statusnya istriku, cerocos sejadi-jadinya. Pasar ini sudah gaduh, dia cerocos malah tambah gaduh. Lagu di lapak masih bernyanyi ; kekasih gelap.
Mau apa lagi, ku berikan lima ribu padanya. Sisanya dua ribu lima ratus. Aku jadi enggan makan roti kering dan minum air mineral. Aku sudah terlanjur menghayalkan nasi bungkus mpok Pia ditambah telor goreng. Pasti enak.
-***-