“Ah! Bohong, cepat bayar!” perut besar itu yang sedang bernyanyi, memberiku kepalan besar. Tepat di hidungku. Belum menyentuhnya. Kepalaku bergerak kebelakang. Bisa aku bayangkan, kalau kepala itu menyentuh hidungku, wah tubuh mungilku ini tidak akan bisa bernyanyi ; kekasih gelap.
Ku raba kantong celana kumalku. Yang sudah dua hari tidak di cuci. Itu sih biasa bagiku. Kadang seminggu tidak juga ku cuci. Hemat sabun. Kadang, aku mandi tidak pakai sabun. Setiap hari aku mandi. Tapi, pakai sabunnya seminggu sekali. Atau sesuai permintanya istriku. Yang selalu ngambek kalau badanku bau.
“Dua ribu doang, gimana?” aku menekan kata ‘gimana?’, maksudnya agar si perut besar itu berpikir dua kali untuk merampasnya. Mungkin dua ribu tidak berarti apa-apa baginya, jaman sekarang dua ribu bisa apa? Tapi bagiku lumayan. Wong, memang aku tidak punya selain dua ribu itu.
Nyatanya, dia langsung merampas. Mungkin karena dia tidak berpikir. Boro-boro berpikir dua kali. Sepertinya dia tidak bisa berpikir. Pikirku, pasti karena perutnya sedang bernyanyi jadi si perut besar tidak bisa berpikir, sama sepertiku. Keroncongan.
Setelah di tinggal si perut besar, pasar ini masih saja gaduh. Dengan nyanyian-nyanyian itu. Aku tidak lagi menikmati. Setelah dua ribuku hilang. Mungkin dua ribu itu bisa buat beli roti kering yang harganya lima ratus dan air mineral yang harganya juga lima ratus. Sisanya, aku simpan untuk besok kalau perutku bernyanyi lagi. Tapi, itu Cuma hayalan. Memang kerjaku selain berteriak-teriak, aku juga suka menghayal. Sebab, ditanganku sekarang sudah tidak ada lagi uang tersebut.
-***-
Di tengah sisa-sisa tenagaku, dengan udara yang malas ku hela. Ku coba menenangkan raungan perutku. Sekarang perutku tidak lagi bernyanyi tapi meraung.
“Bang, celananya berapa?” harapan untuk dapat roti kering muncul. Ibu dengan menenteng anaknya yang baru pulang sekolah –bajunya merah putih— sepertinya tertarik dengan celana yang ku jual. Celana pendek selutut dengan karet di pinggang.
“Lima belas ribu dua, bu” jelasku. Padahal aku telah menaruh tulisan ‘15000 dapat dua’ tapi ibu itu masih saja bertanya.
“Kalau satu?” tanyanya lagi padaku yang sedang menahan raungan perutku. Aku berpikir sejenak. Sama seperti si perut besar tadi, karena perutku meraung, aku jadi tidak bisa berpikir.
“Sepuluh ribu, tidak mahal” ibu itu terus mengaduk-aduk daganganku. Di lempar ke kiri, ke kanan, kadang merogoh bagian bawah dari tumpukan. Aku hanya bisa pasrah dengan tingkahnya. Nasib dagangan dengan harga minimal.