"Udah ngomongnya? Duduk gih pesen makan apa gitu, laper tau nungguin," aku menyela dan sedikit cemberut palsu.
    "Aduhh, iya iya. Mbak? (Ia melambaikan tangan dan pelayan menghampiri kami) Duh, maaf banget, repot banget ni." Dia masih sibuk dengan barang bawaannya dan membenahi dandanannya. Dia memang cantik, bahkan dia tidak bisa pergi tanpa seperangkat alat riasnya.
    "Udah deh, udah cantik, masih dipoles mulu. Iri aku tu nanti." Candaanku bermuka serius menatap Reni, batinku sambil bergejolak, aku akan mengatakan sesuatu, dan sudah menebak reaksinya setelah aku bercerita nanti.
    "Iya dong biar makin cantik, cantik gini aja aku masih sendiri. Kalau kamu sih wajar ya, kan emang nggak peduli sama gituan heheh. Oh iya bulan depan gimana? Jadi daftar kerja bareng nggak? Aku sudah nggak betah banget ni di tempat kerjaku sekarang, aduh..... (Reni mulai seperti kereta saat bicara, panjang dan susah putusnya di mana), kan lumayan tuhkalau kita bisa satu tim."
    "Ren aku mau narik omongan kita tahun kemarin deh."
    "Maksud kamu apa sih?"
    "Iya omongan kita waktu itu, setelah kamu curhat sama aku tentang masalahmu, sakitmu, terus kita ngomong di sini?"
    "Hah, apain sih, aku nggak ngerti deh." Ingatan dia buruk, tapi aku hargai ekspresi dia yang mencoba menemukan jawaban mana yang tepat dari maksudku.
    "Ren, tahun ini aku mau nikah. Maaf."
    "Nikah sama siapa kamu tuh, uh bercanda aja deh. Jauh-jauh nemuin aku Cuma mau candain aku kaya gini." Seketika dia berubah dan mengiraku bercanda. Dia lanjut bersolek dan sesekali melirikku.
    Pelayan datang dan membawa pesanan kami.