Mohon tunggu...
Winni Soewarno
Winni Soewarno Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa yang sedang belajar menulis

Perempuan yang sedang belajar menulis dan mengungkapkan isi kepala. Kontak : cempakapt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sang Porter Stasiun Kereta

20 Mei 2022   13:18 Diperbarui: 20 Mei 2022   14:02 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku baru saja keluar dari taksi, saat seorang porter – kuli angkut - menghampiriku. Dia berkeringat dan nafasnya agak menderu. Mungkin tadi berlari mengejar taksiku. Bawaanku tak banyak. Sebuah koper kecil dan satu plastik besar oleh-oleh yang tidak berat. Aku tidak memerlukan jasa porter untuk membawa barangku itu. Aku menggeleng untuk menolaknya. Kekecewaan terlihat dimata porter nomer 39 itu. 

Bahunya merosot turun dan melangkah menjauh. Ada sesuatu yang seakan menyentuh hatiku. Entah kenapa, aku memanggilnya untuk membawakan barang-barangku. Sekilas kegembiraan terlihat diwajahnya yang letih.

“Masih satu jam, Bu. Keretanya belum masuk. Ibu mau tunggu disini atau langsung ke atas?, tanyanya sopan. Perutku mengisyaratkan minta perhatian. Sudah jam dua rupanya. Lebih baik beli makanan untuk kunikmati di kereta nanti.

“Saya cari makan dulu ya, Pak.”

Porter itu berhenti dideretan tempat duduk kosong. “Saya tunggu disini ya, Bu.”

Aku menggangguk dan berlalu sambil mataku mencari-cari apa yang ingin kunikmati. Pilihan nasi goreng adalah makanan yang paling bisa kuterima dibanding beberapa gerai makanan siap saji yang berderet di dalam stasiun. Aku mampir disebuah kedai makanan yang terkenal dengan masakan mie-nya. 

Ada nasi goreng juga disitu. Sambil antri dilayani, aku melihat beberapa porter lain berbaju merah dan biru di area itu. Mereka tak ada yang duduk. Padahal banyak kursi yang kosong. Mungkin peraturannya seperti itu. Kursi tunggu diperuntukkan untuk penumpang saja, sementara porter menunggu dengan berdiri.

Sekitar sepuluh menit kemudian pesananku siap. Aku menenteng dua kantong kertas menuju tempat porter ku berdiri disamping koperku. Dia memberikan tempat duduk padaku.

“Bapak sudah makan?.” Si pak porter yang namanya Kamidin di seragamnya, menggeleng sambil tersenyum lemah. Aku mengulurkan satu kantong kertas yang kubeli tadi. Semula dia menolak. 

Tapi setelah agak kupaksa, akhirnya dia menerima. Ucapan terimakasih terlontar. Sambil membungkuk, dia mengucapkan terimakasih beberapa kali. Wah, hanya sewadah nasi goreng dan pangsit goreng saja membuatnya senang, pikirku.

“Dimakan dulu saja, Pak. Saya akan tunggu bapak disini.”

Sejenak dia seakan tergoda. Tapi kulihat ada niat kuat di matanya.

“Nanti saja, Bu. Tunggu kereta ibu datang dulu, baru saya makan,” jawabnya.

“Masih lumayan lama kok, Pak. Masih sempat kalau bapak mau makan,”

“Terimakasih, Bu. Saya masih kuat kok. “tolaknya.

Kubuka percakapan dengan Kamidin ini. Katanya dia baru dua tahun menjadi porter disini. Tadinya dia bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah kantor di dekat stasiun ini. Ketika pandemic COVID-19, perusahaannya bangkrut. Dia termasuk yang dirumahkan. Menjadi porter dilakukannya daripada berdiam ditempat kostnya. 

Menurutnya, jika sedang ramai seperti libur Leabaran kemarin, hasilnya lumayan. Dia menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli sebuah motor. Kalau perusahaan tidak memanggilnya lagi nanti, dia akan menggunakan motornya untuk menjadi supir ojek. 

Mungkin bisa menghasilkan rejeki buat di kirim kepada ibunya di kampung dan sebagian ditabung.  “Pingin kuliah juga, kalau uangnya sudah terkumpul.”

Perlu diacungi jempol tekad porter muda ini. Bagus juga bisa membuat rencana bagi hidupnya, pikirku.

“Kalau lulusan SMA saja, tak ada pekerjaan bagus, Bu.”

“Wah, bagus itu. Anak muda memang harus semangat. Jangan menyerah pada keadaan.” Sahutku memberi semangat.

Dia ijin meninggalkanku saat sebuah pengumuman terdengan. Ada kereta yang akan masuk. Mungkin dia mencari rejeki dari penumpang yang akan turun ini. Dia akan segera kembali saat keretaku masuk nanti, janjinya. Aku mengangguk setuju sambil membuka beberapa pesan di telpon genggamku. Setelah mataku lelah, aku mengalihkan perhatian pada orang-orang yang lalu lalang. 

Kulihat lalu lalang orang didepanku. Ada pasangan turis mancanegara bercelana pendek, bertopi lebar dan menggendong ransel besarnya sambil memperhatikan sebuah peta. Serombongan orang, nampaknya keluarga sedang tertawa-tawa melihat anak yang kecil-kecil sedang bermain.

Dua perempuan tanggung nampak sedang seru bercakap-cakap. Sekelompok orang bergerombol di bangku sebelah kiri depanku, nampak bersiap mungkin akan melakukan perjalanan dinas. Kuperhatikan raut wajah mereka sambil merekam ekspresi-ekspresi yang terlihat dalam otakku. 

Ada wajah gembira dengan ekspresi senang. Ada wajah sedih bercampur cemas. Nampak pula wajah bingung dan ragu. Terlihat juga yang kepalanya terangguk kaget karena menahan kantuk. Bisa jadi wajah lelahku juga menjadi bagian dari wajah-wajah lelah yang kulihat. Semua berbaur menjadi satu diruang tunggu stasiun ini.

Sekitar limabelas menit kemudian, Kamidin datang. Ada senyum kecil tersungging. Mungkin dia dapat rejeki dari penumpang yang turun dari kereta itu.

“Sudah masuk keretanya, Bu. Mau naik sekarang?” tanyanya. Aku menggangguk saja. Kamidin dengan sigap mengangkat tas oleh-olehku. Tangan lainnya menyeret koper dan membawa bungkusan nasi gorengnya. Langkahnya panjang-panjang. Aku mengikuti dengan terbirit-birit. 

Saat aku tiba di tangga teratas, Kamidin sudah menungguku di pintu masuk kereta. Dia melangkah masuk setelah melihatku. Saat aku didepan pintu, Kamidin sudah menunggu di kursi nomer 9B. Koper dan tasku sudah ditempat barang di atas.

Aku merogoh dompet dalam tas yang kubawa. Saat mengambil dompet, ada sesuatu yang tersentuh. Amplop. Honorku dari jadi pembicara kemarin. Biasanya, honor diberikan melalui transfer. 

Entah kenapa yang ini diberikan tunai dalam amplop. Agaknya, ini waktunya berbagi, dorong hatiku. Kusobek amplop itu tanpa mengeluarkannya dari tas. Kutarik beberapa lembaran merah. Kuulurkan itu kepada Kamidin.

“Bu. Ini..ini.. ini banyak sekali. Kebanyakan.” sergah Kamidin kaget. Aku mendorong tangannya yang terulur untuk mengembalikannya.

“Tak apa-apa. Saya dapat rejeki. Ini buat kamu, buat menambah tabungan kuliahmu.”

“Terimakasih..terimakasih, Bu” ucapnya dengan agak tercekat. “Tadi sebelum ketemu ibu, dari pagi saya belum dapat pelanggan. Ibu yang bertama. Lalu saya dapat pelanggan. Sekarang saya dapat lagi dari ibu. Rejeki saya mengalir melalui ibu. Semoga banyak rejekinya ibu. Sehat-sehat juga.”

Aku hanya tersenyum kecil saat dia secara tak terduga menunduk, mencium tanganku sebelum berlalu turun dari kereta. Aku tertawa saat melihatnya dari jendela kereta. Dia melonjak-lonjak senang di peron. Mirip anak kecil yang kegirangan mendapat coklat kesukaan. Aku bersyukur karena mengikuti dorongan hati yang tiba-tiba tadi. 

Tak kecewa berbagi sedikit rejeki yang kuterima. Ikut bahagia karena pemberianku yang sedikit itu membuat cerah hari seorang Kamidin. Kusertakan doa, berharap rejeki yang kubagi menjadi berkat bagimu juga ya, porter muda.

Selamat berbagi dan bahagia

Salam 

Winni Soewarno

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun