Selama 2 bulan, saya pernah menjadi order taker di perusahaan asing. Jadi, tahu pasti bagaimana mental harus tahan banting. Pasalnya kalau pelanggan komplain, saya kena teguran.
Tak betah berlama-lama di tempat itu, saya minta pindah.
"Ke lain departemen aja, asal jangan di situ," pinta saya pada bos bule. Saya yakin posisi ini hanya sebagai batu loncatan saja.
Atas dasar itulah, saya masih tenggang rasa. Turut merasakan dibetein orang. Namun lama kelamaan kian mengganggu. Saking ramahnya, penelpon bertubi-tubi. Duh.
Saat sibuk menunggu panggilan telpon penting dari keluarga tetiba telpon masuk.
Sebagai hotelier marketing, telemarketing menjadi target. Dilaporkan pada laporan mingguan (weekly report).
Setiap staf marketing bertarget menelpon 10 pelanggan per hari, Senin hingga Kamis.
Sejak komplain bertalu-talu, telemarketing agak dikendorkan. Saya yakin, suatu saat kegiatan ini akan lenyap kok, seiring pesatnya iklan digital.
Saya pribadi sejujurnya enggan menerima panggilan telpon jika:
(*) Panggilan tak dikenal atau unknown caller.
(*) Nomor penelpon, tidak disimpan di hp
(*) Pengalaman tertipu. Tentang tipuan ini, kelak saya bahas tersendiri ya.
Jika dengan menelpon, cara gampang berinteraksi, pernah terpikirkah bagaimana mood seseorang yang dihubungi?
Telemarketing, masih efektif?
Penelpon yang menawarkan produk disebut telemarketer. Kegiatannya dinamakan telemarketing. Siapapun dapat melakukannya. Modalnya handphone plus pulsa atau dari telpon kantor (landphone).
Produk terbanyak yang sering ditawarkan yaitu dari jasa perbankan dan asuransi. Ini berdasar pengalaman pribadi selama 5 hari itu. Bukan mengacu pada sumber data manapun.