Selain himbauan pemerintah, diantaranya alasan kualitas personel, lebih luwes terhadap adat budaya lokal, dan gaji dapat ditekan. Bukan karena tenaga kita lebih murah. Bukan! Saat itu kontrak tenaga kerja asing dibayar setara dengan standar upah di negaranya.
Dipandang dari segi prestise, merekrut ekspatriat melambungkan image perusahaan. Publik memandang manajemen hotel yang keren. Selain itu bayaran tinggi sebagai gula-gula menerbitkan air liur personel negara lain, termasuk Perancis, Australia, New Zealand, Tiongkok, dsb.
Tanggung jawab besar di pundak pimpinan manajerial ini dipandang sepadan dengan bayaran yang wow. Karena itu mereka mendorong karyawan penuh tekanan (pressure) agar tercapainya target perusahaan.
Masalah terbesar yaitu komunikasi
Berkarir di perusahaan multinasional tak luput dari hambatan dan rintangan. Tidak selamanya mulus dan lancar.
Suatu hari Pak Edi, pemilik hotel di Surabaya memanggilku. "Ada apa ya?" dalam hati bertanya-tanya. Tak biasanya ia memanggil.
"Bu, tolong catat permintaan saya ya, sampaikan kepada Mr. Smith. Menu hidangan di restoran, jangan western food melulu!"
"Baik Pak," jawabku sambil siap mencatat.
"Buatlah dalam daftar menu, hidangan yang biasa kita makan sehari-hari. Nasi rawon, nasi pecel, rujak cingur, atau menu lainnya. Yang penting harus enak, dihidangkan menarik, harga jangan terlalu mahal!" begitu permintaannya.
"Saya ingin restoran di hotel ini penuh pengunjung," lanjutnya.
Pak Edi mengeluh telah minta dibuatkan nasi rawon dan makanan khas Surabaya dimasukkan dalam daftar menu tapi belum juga digenapi.
Satu dijentik, sepuluh rebah, seorang yang dikata-katai, saya yang mendengar ikut merasakan.