Kunjungan ketiga, keempat dan terakhir tuntas menjelang petang. Menu hari raya selalu tersedia di meja. Menu permanen yaitu bakso selain ketupat sayur, kare, opor ayam. Wah, makan besar lagi!.
"Sssst... tapi ini sesi terakhir!", ujar kawan serius. Menu bakso tetap disantap, walau perut sudah tak sanggup menampung.
Bagaimana kami menolak? Tuan rumah telah mematok porsi di mangkuk bakso. Tidak menyentuh, tak menghargai tuan rumah. Makan tak habis, pun tak enak.
"Wah, perut saya tak kuat menampung, Bu", ujarku
"Ah, ini porsi sedikit, sila ibu, selamat menikmati", ujar Bu Heru sambil melayani tamu lain.
Kami ngebut makan lalu pamit pulang.
Sepanjang jalan menuju hotel saya irit bicara, pasalnya perut sesak, saking banyak terisi bakso. Hari itu 5 porsi bakso telah kami santap.
"Mengapa bakso selalu tersedia di tiap rumah pada hari lebaran?" tanyaku penasaran.
"Yah semua orang suka bakso. Juga gak ribet buatnya", jawab teman.
Di kota A lain lagi kisahnya. Suatu hari, saya pergi ke pesta pernikahan Mira, hotelier -- staf pemasaran. Karena ini undangan masal se hotel, saya pergi dengan GM bule, Mr. Smith.
Pernikahan Mira & Zaki memakai adat Minangkabau. Kami disuguhi hidangan nikmat khas Minang. Ya, masakan khas Minang enak-enak.
Tak sengaja pula, mataku beralih ke food stall. Beradu pandanglah dengan bakso. Saya ambil secukupnya. Mr. Smith melihatku, lalu matanya melebar. Ia minta diambilkan bakso.
Setiba di hotel ia menyuruh chef membuatkan menu bakso. Penasaran katanya. Jadilah bakso ala chef.
Tak puas dengan racikan bumbu Chef, ia bertanya, adakah jajanan bakso di luar hotel. Serempak kami jawab, "Ada....!". Ia ingin mencoba cita rasa bakso di tempat lain sebagai pembanding.