Mohon tunggu...
Cay Cay
Cay Cay Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar tak dibatasi usia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Monster Itu Bernama Intoleransi

25 Januari 2017   09:02 Diperbarui: 29 Juni 2017   18:41 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari ayat-ayat tersebut diharapkan segenap bangsa Indonesia mampu memahaminya. Jika mampu memahaminya maka untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dibutuhkan adanya toleransi. Sikap ini hendaknya tumbuh di kalangan masyarakat. Bukan hanya toleransi secara pasif namun juga secara aktif. Persoalan yang terkait SARA mestinya bisa dikelola, dicarikan solusinya agar tidak menjadi konflik terbuka dan tetap menghadirkan kerukunan.

Kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dengan kelompok lain hendaknya bisa saling menghormati dan menerima perbedaan tanpa harus mengusik apalagi melecehkan. Hidup berdampingan dalam masyarakat yang plural dibutuhkan sikap bijak dari masing-masing pihak.  Dibutuhkan benang pengikat yang mampu menyatukan bangsa besar ini. Kesadaran untuk mempertahankan NKRI hendaknya menjadi kepentingan bersama.

Jika bangsa Indonesia yang plural ini tak lagi menyadari adanya kepentingan yang sama bisa ditebak apa jadinya. Sedikit gesekan antar kelompok yang berbeda kepentingan akan berujung pada konflik. Hilangnya sikap penghormatan dan penerimaan terhadap kelompok yang berbeda, tak sealiran atau sepaham akhirnya menimbulkan sikap intoleransi.

Dari sisi Pemerintah, diperlukan kebijaksanaan dan strategi untuk menciptakan dan memelihara suasana kebebasan beragama dan  kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai, sejahtera dan bersatu.

“Monster” Intoleransi di Masyarakat

Secara  normatif, jelas bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi yang harus dihormati. Namun sayang secara praksis sering menimbulkan persoalan. Di negara Indonesia yang multikultural aksi intoleransi kerap terjadi. Bahkan ada kecenderungan meningkat akhir-akhir ini. Kasus intoleran  tersebut umumnya berwujud penyerangan atau perusakan rumah ibadah. Selain aksi penyerangan, ada juga kasus pelarangan terhadap kelompok umat beragama menyelenggarakan ibadah. Hal ini menjadi keprihatinan bersama.

Aksi intoleransi yang berupa perusakan atau pembakaran terhadap rumah ibadah umumnya menyebabkan kerusakan terhadap bangunan rumah ibadah. Hal ini selalu menjadi sorotan pemerintah dan masyarakat. Satu contoh kasus adalah di Bantul, Yogyakarta yakni perusakan kompleks Gua Maria di Dusun Semanggi, Bangunjiwo, Bantul, Selasa 7 Juni 2016. Komplek Gua Maria tersebut selama ini telah menjadi tempat peribadatan umat Katolik sejak tahun 1969 di daerah Padokan, Tirtonirmolo, Bantul.

Aksi-aksi intoleransi yang satu disusul dengan aksi serupa lainnya. Seringkali aksi-aksi tersebut memunculkan perasaan miris. Kondisi negeri yang saya katakan penuh berkah ini rupanya sedang dilanda krisis toleransi. Di berbagai wilayah muncul aksi-aksi yang mencerminkan sikap intoleransi. Berbagai tindakan intoleransi dengan mengusung  isu SARA banyak dipertontonkan. Ada kelompok atau anggota masyarakat yang gemar melancarkan aksi intoleransi dengan mengatasnamakan agama. Kelompok ini seakan merasa paling berhak untuk menyerang pihak yang tak sepaham dengannya.

Di lingkaran politik, isu SARA dijadikan dagangan politik oleh mereka yang mengincar kekuasaan. Pada musim pilpres atau pilkada seperti sekarang ini, aksi intoleransi makin marak. Bahkan, seperti mendapatkan momentumnya. Calon-calon yang ingin meraih kekuasaan beserta tim pendukungnya menggunakan isu SARA untuk menyingkirkan pesaingnya. Tengoklah kasus pilgub DKI yang mendapat soroton luas. Bukan hanya oleh masyarakat Jakarta tapi juga masyarakat di luar Jakarta.

Intoleransi sebagai suatu gerakan tak hanya muncul secara nyata di ruang publik. Aksi ini juga merambah ruang virtual di kalangan netizen. Media sosial menjadi ajang untuk melancarkan aksi  tersebut. Berbagai berita hoax atau ujaran yang berisi fitnah, provokasi, pelecehan, serta ungkapan  bernada kebencian terkait SARA sengaja dihamburkan oleh pemilik-pemilik akun media sosial dan situs-situs berita yang tak bertanggung jawab. Apa yang diunggah di media sosial kemudian menjadi viral dan menyebar ke segala penjuru.

Segala bentuk aksi intoleransi berupa ujaran, foto maupun video yang diunggah di media sosial berpotensi menjadi alat pemecah belah masyarakat. Masyarakat yang tidak kritis akan mudah disulut emosinya. Aksi-aksi seperti ini tak dipungkiri memberi andil terhadap munculnya konflik sosial horizontal. Ibarat monster, tindakan intoleransi yang dilakukan secara masif akan mencabik-cabik dan menghancurkan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun