Mohon tunggu...
Cay Cay
Cay Cay Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar tak dibatasi usia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Monster Itu Bernama Intoleransi

25 Januari 2017   09:02 Diperbarui: 29 Juni 2017   18:41 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia Milik Kita Bersama

Indonesia adalah negeri yang penuh berkah. Benarkah penuh berkah? Ya, saya lebih suka menyebutnya demikian karena negeri ini selain memiliki kekayaan hayati juga menyimpan keragaman yang luar biasa. Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia sungguh membanggakan dan tiada duanya.

Tak hanya kaya dan beragam, Indonesia juga unik. Apanya yang unik? Sosok Indonesia itu bagaikan sosok dengan seribu wajah. Orang Indonesia ada yang berkulit kuning, sawo matang, ada juga yang hitam legam. Orang Indonesia ada yang bermata sipit, bermata lebar, berambut lurus, atau juga berambut keriting halus. Keunikan ini sudah ada sejak berabad-abad yang silam.

Bicara tentang Indonesia tentu tak bisa lepas dari keberagaman atau kebinekaan yang dimilikinya. Mengingkari kebinekaan berarti juga mengingkari hakikat ke-Indonesia-an itu sendiri. Indonesia tak bisa diklaim hanya milik satu golongan saja. Indonesia milik kita semua yang berdiam di negeri ini, yang terdiri atas beragam suku dengan aneka budaya dan bahasa. Bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Indonesia tentu menyadari hal ini. Ketika mereka mengaku sebagai orang Indonesia, maka mereka juga menjadi bagian dari bangsa yang plural dan multikultural. Ini adalah sebuah keniscayaan.

Kebinekaan Indonesia tak hanya dipandang dari beragamnya etnis, bahasa, ataupun budaya. Namun juga dari beragamnya keyakinan atau agama yang dianut penduduknya. Konstitusi Undang-undang Dasar negara kita Republik Indonesia sangat menghormati, menjamin dan melindungi hak kemerdekaan setiap warga negaranya dalam hal beragama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nuraninya. Jaminan dan perlindungan negara terhadap warganya dalam hal kemerdekaan beragama dan berkeyakinan itu diberikan dalam dimensi yang luas tanpa membeda-bedakan suku, ras, kelompok atau golongan.

Dasar legalitas kebebasan beragama di Indonesia dapat ditemukan pada pasal 28E ayat (1) dan (2) tentang hak asasi manusia , pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tentang agama yang ayatnya berbunyi sebagai berikut.

Pasal 28E

(1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

(2)Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 29

(2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Dari ayat-ayat tersebut diharapkan segenap bangsa Indonesia mampu memahaminya. Jika mampu memahaminya maka untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dibutuhkan adanya toleransi. Sikap ini hendaknya tumbuh di kalangan masyarakat. Bukan hanya toleransi secara pasif namun juga secara aktif. Persoalan yang terkait SARA mestinya bisa dikelola, dicarikan solusinya agar tidak menjadi konflik terbuka dan tetap menghadirkan kerukunan.

Kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dengan kelompok lain hendaknya bisa saling menghormati dan menerima perbedaan tanpa harus mengusik apalagi melecehkan. Hidup berdampingan dalam masyarakat yang plural dibutuhkan sikap bijak dari masing-masing pihak.  Dibutuhkan benang pengikat yang mampu menyatukan bangsa besar ini. Kesadaran untuk mempertahankan NKRI hendaknya menjadi kepentingan bersama.

Jika bangsa Indonesia yang plural ini tak lagi menyadari adanya kepentingan yang sama bisa ditebak apa jadinya. Sedikit gesekan antar kelompok yang berbeda kepentingan akan berujung pada konflik. Hilangnya sikap penghormatan dan penerimaan terhadap kelompok yang berbeda, tak sealiran atau sepaham akhirnya menimbulkan sikap intoleransi.

Dari sisi Pemerintah, diperlukan kebijaksanaan dan strategi untuk menciptakan dan memelihara suasana kebebasan beragama dan  kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai, sejahtera dan bersatu.

“Monster” Intoleransi di Masyarakat

Secara  normatif, jelas bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi yang harus dihormati. Namun sayang secara praksis sering menimbulkan persoalan. Di negara Indonesia yang multikultural aksi intoleransi kerap terjadi. Bahkan ada kecenderungan meningkat akhir-akhir ini. Kasus intoleran  tersebut umumnya berwujud penyerangan atau perusakan rumah ibadah. Selain aksi penyerangan, ada juga kasus pelarangan terhadap kelompok umat beragama menyelenggarakan ibadah. Hal ini menjadi keprihatinan bersama.

Aksi intoleransi yang berupa perusakan atau pembakaran terhadap rumah ibadah umumnya menyebabkan kerusakan terhadap bangunan rumah ibadah. Hal ini selalu menjadi sorotan pemerintah dan masyarakat. Satu contoh kasus adalah di Bantul, Yogyakarta yakni perusakan kompleks Gua Maria di Dusun Semanggi, Bangunjiwo, Bantul, Selasa 7 Juni 2016. Komplek Gua Maria tersebut selama ini telah menjadi tempat peribadatan umat Katolik sejak tahun 1969 di daerah Padokan, Tirtonirmolo, Bantul.

Aksi-aksi intoleransi yang satu disusul dengan aksi serupa lainnya. Seringkali aksi-aksi tersebut memunculkan perasaan miris. Kondisi negeri yang saya katakan penuh berkah ini rupanya sedang dilanda krisis toleransi. Di berbagai wilayah muncul aksi-aksi yang mencerminkan sikap intoleransi. Berbagai tindakan intoleransi dengan mengusung  isu SARA banyak dipertontonkan. Ada kelompok atau anggota masyarakat yang gemar melancarkan aksi intoleransi dengan mengatasnamakan agama. Kelompok ini seakan merasa paling berhak untuk menyerang pihak yang tak sepaham dengannya.

Di lingkaran politik, isu SARA dijadikan dagangan politik oleh mereka yang mengincar kekuasaan. Pada musim pilpres atau pilkada seperti sekarang ini, aksi intoleransi makin marak. Bahkan, seperti mendapatkan momentumnya. Calon-calon yang ingin meraih kekuasaan beserta tim pendukungnya menggunakan isu SARA untuk menyingkirkan pesaingnya. Tengoklah kasus pilgub DKI yang mendapat soroton luas. Bukan hanya oleh masyarakat Jakarta tapi juga masyarakat di luar Jakarta.

Intoleransi sebagai suatu gerakan tak hanya muncul secara nyata di ruang publik. Aksi ini juga merambah ruang virtual di kalangan netizen. Media sosial menjadi ajang untuk melancarkan aksi  tersebut. Berbagai berita hoax atau ujaran yang berisi fitnah, provokasi, pelecehan, serta ungkapan  bernada kebencian terkait SARA sengaja dihamburkan oleh pemilik-pemilik akun media sosial dan situs-situs berita yang tak bertanggung jawab. Apa yang diunggah di media sosial kemudian menjadi viral dan menyebar ke segala penjuru.

Segala bentuk aksi intoleransi berupa ujaran, foto maupun video yang diunggah di media sosial berpotensi menjadi alat pemecah belah masyarakat. Masyarakat yang tidak kritis akan mudah disulut emosinya. Aksi-aksi seperti ini tak dipungkiri memberi andil terhadap munculnya konflik sosial horizontal. Ibarat monster, tindakan intoleransi yang dilakukan secara masif akan mencabik-cabik dan menghancurkan masyarakat.

Sikap intoleransi dalam masyarakat menggerus sendi-sendi kesatuan bangsa yang majemuk, melemahkan semboyan Bineka Tunggal Ika, merongrong dasar negara Pancasila dan UUD 45. Hal ini dapat membuyarkan komitmen bersama untuk mendukung dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bercermin pada kasus yang menimpa Ahok, sang petahana gubernur DKI yang menjadi salah satu calon dalam pilgub 2017. Kasus Ahok hingga kini masih terasa panas dan berdampak luas. Kasus dugaan atas penistaan agama  yang dilontarkan kelompok ormas FPI kepadanya menuai reaksi beragam dari masyarakat. Tak ayal masyarakat pun terpecah. Ada kelompok yang pro Ahok, ada yang pro FPI, ada juga yang cukup sebagai penonton di wilayah pinggiran. Masing-masing punya alasan tersendiri untuk mengambil sikap berseberangan.

Masyarakat yang terpecah lupa bahwa mereka sesungguhnya adalah bangsa yang satu. Perbedaan pandangan dan pilihan politik menyebabkan mereka tercerai. Mereka lalu saling melontarkan aksi intoleransi untuk menjatuhkan satu sama lain. Bahkan tak jarang mereka lalu memaksakan kehendak. Kedamaian serasa terusik. Keindahan hidup di negeri yang plural menjadi pudar.

Sikap memaksakan kehendak merupakan wujud intoleransi. Jika sikap ini dilakukan oleh kelompok yang merasa paling kuat dan paling benar akan memunculkan rasa was-was dan ketakutan di kalangan masyarakat. Di sisi lain sikap intoleran juga memunculkan rasa muak di kalangan masyarakat yang masih berpikir jernih. Sekali lagi aksi intoleransi mirip sosok monster yang menakutkan sekaligus memuakkan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Apa yang dapat kita lakukan untuk memupus aksi intoleransi ini? Sebagai bagian dari masyarakat yang tetap mencintai Indonesia, tak bisa lain kita harus menyadari kembali betapa kita memang hidup di negeri yang plural. Keutuhan negeri menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.

Toleransi sangat dibutuhkan untuk terus menjaga perdamaian dan memper-tahankan NKRI. Selain itu dibutuhkan sikap kritis dan keberanian menolak aksi intoleransi. Tindakan tegas terhadap pelaku aksi intoleransi yang mengarah pada pelanggaran hukum harus dilakukan oleh pemerintah dan aparat yang berwenang. Tanpa itu semua, intoleransi akan terus menjadi monster yang menghantui.

Memupus aksi intoleransi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pesan-pesan perdamaian perlu digemakan terus-menerus di berbagai media. Stop penyebaran viral segala bentuk tayangan gambar, video maupun ujaran yang berisi fitnah dan ungkapan kebencian. Perlu ada dialog antarkelompok yang berbeda pandangan. Di sinilah dibutuhkan peran para pemimpin agama agar memberikan pencerahan kepada umatnya.

Terlalu sulitkah memupus aksi intolensi? Rasanya tidak, hanya dibutuhkan kehendak baik dari seluruh pihak. Kalau bisa dilakukan kenapa tidak kita lakukan? Jangan ada lagi intoleransi di antara kita***

Salam NKRI

Tasikmalaya, 25 Januari 2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun