Mohon tunggu...
Cathleen Callista
Cathleen Callista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya ada Murid di IPEKA Tomang

saya adalah murid IPEKA Tomang yang ingin menyelesaikan tugas PAS

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perempuan dalam Kekuasaan: Kemajuan dan Tantangan Indonesia dalam Mencapai Target SDG 5.5

30 November 2024   20:00 Diperbarui: 30 November 2024   19:03 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perempuan dalam Kekuasaan: Kemajuan dan Tantangan Indonesia dalam Mencapai Target SDG 5.5

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5.5 bertujuan memastikan partisipasi penuh dan efektif perempuan serta kesempatan yang setara untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik. Di Indonesia, tujuan ini masih menghadapi hambatan budaya, struktural, dan sistemik terhadap representasi perempuan dalam posisi kekuasaan, terutama di pemerintahan dan parlemen. Meskipun kemajuan telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, kesenjangan yang signifikan masih ada, menyoroti perlunya upaya berkelanjutan untuk menjembatani ketimpangan ini.

Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia

Dalam pemilu legislatif 2019, perempuan di Indonesia mengisi sekitar 21% kursi di parlemen nasional (DPR), hanya meningkat sedikit dibandingkan 17% pada pemilu 2014. Angka ini masih jauh dari kuota 30% yang diwajibkan oleh undang-undang Indonesia. Kuota ini mengharuskan partai politik untuk mencalonkan setidaknya 30% perempuan dalam daftar calon legislatif mereka, dengan tujuan meningkatkan representasi perempuan di badan legislatif. Namun, implementasinya sering tidak konsisten, dengan banyak partai hanya memenuhi kuota secara administratif tanpa memastikan inklusi bermakna atau elektabilitas kandidat perempuan.

Di tingkat daerah, representasi perempuan bahkan lebih rendah, dengan beberapa parlemen provinsi dan kabupaten melaporkan partisipasi perempuan kurang dari 10%. Kesenjangan ini menunjukkan tantangan yang dihadapi perempuan untuk terjun ke politik, terutama di daerah pedesaan di mana norma patriarki dan akses terbatas ke sumber daya semakin menghambat keterlibatan mereka.

Perempuan di Cabang Eksekutif

Indonesia telah mencatat kemajuan dalam kepemimpinan perempuan di tingkat eksekutif, meskipun tidak merata. Negara ini pernah memiliki seorang presiden perempuan, Megawati Sukarnoputri, yang menjabat dari 2001 hingga 2004, menandai tonggak penting dalam sejarah politik kita. Namun, perempuan tetap kurang terwakili dalam posisi menteri. Dalam kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo, hanya 9 dari 34 menteri (sekitar 26%) adalah perempuan. Jumlah ini merepresentasikan keadaan dimana perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam peran pengambilan keputusan di sektor-sektor penting lainnya.

Di tingkat daerah, gubernur, wali kota, dan bupati perempuan masih jarang. Bias budaya dan stereotype tentang kemampuan kepemimpinan perempuan tetap ada, menghalangi banyak perempuan untuk mengejar posisi eksekutif. Ketika perempuan berhasil menduduki posisi tersebut, mereka sering menghadapi pengawasan dan perlawanan yang tidak dialami oleh rekan laki-laki mereka.

Hambatan Partisipasi Perempuan dalam Kepemimpinan

Beberapa faktor yang berkontribusi pada kurangnya representasi perempuan dalam posisi kekuasaan di Indonesia meliputi:

  1. Norma Budaya dan Patriarki: Norma masyarakat yang mengakar kuat masih memprioritaskan laki-laki untuk peran kepemimpinan, dan melihat tanggung jawab utama perempuan sebagai pengurus keluarga. Pola pikir ini membatasi aspirasi politik perempuan dan penerimaan masyarakat terhadap pemimpin perempuan

  2. Kurangnya Dukungan: Partai politik yang didominasi laki-laki sering kali gagal memberikan bimbingan atau dukungan bagi kandidat perempuan, mengurangi elektabilitas dan peluang keberhasilan mereka.

  3. Kekerasan dan Pelecehan: Politisi perempuan sering menghadapi pelecehan, baik secara online maupun offline, yang membuat banyak perempuan enggan terjun ke dunia politik.

Kemajuan dan Peluang

Meskipun tantangan tetap ada optimisme tidak boleh disingkirkan. Organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi telah berperan penting dalam mendorong kesetaraan gender dalam politik. Inisiatif seperti program pelatihan kepemimpinan untuk perempuan dan kampanye publik untuk menantang stereotip mulai mengubah persepsi masyarakat.

Pemerintah juga telah mengambil langkah untuk mempromosikan kesetaraan gender, sejalan dengan SDG 5.5. Misalnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara aktif mendorong peningkatan representasi perempuan dalam peran pengambilan keputusan. Selain itu, beberapa partai politik mulai mengadopsi kebijakan yang lebih sensitif terhadap gender, meskipun upaya ini masih belum merata di semua partai.

Bagaimana Kepemimpinan Perempuan Mendukung SDG

Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan kepemimpinan bukan hanya masalah kesetaraan gender, tetapi juga pendorong penting untuk mencapai SDG lainnya. Studi menunjukkan bahwa pemimpin perempuan cenderung memprioritaskan isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, yang berdampak langsung pada pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, pemimpin perempuan telah memperjuangkan kebijakan yang menangani kesehatan ibu, perlindungan anak, dan konservasi lingkungan, menunjukkan manfaat luas dari pemerintahan yang inklusif gender.

Apa yang Harus Dilakukan

Untuk mempercepat kemajuan menuju SDG 5.5, Indonesia harus mengatasi hambatan sistemik dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi perempuan dalam kepemimpinan. Tindakan kunci meliputi:

  1. Memperkuat Kuota Gender: Memastikan bahwa kuota 30% tidak hanya terpenuhi tetapi juga menghasilkan pemilihan pemimpin perempuan yang mampu dan berkomitmen.

  2. Peningkatan Kapasitas: Memberikan pelatihan dan sumber daya kepada kandidat perempuan untuk meningkatkan daya saing mereka dalam pemilu.

  3. Melawan Pelecehan: Membentuk mekanisme untuk melindungi politisi perempuan dari pelecehan dan kekerasan, menciptakan lingkungan politik yang lebih aman dan inklusif.

  4. Mengubah Norma Budaya: Mempromosikan kesetaraan gender melalui pendidikan dan kampanye media untuk menantang stereotip dan mendorong penerimaan yang lebih besar terhadap pemimpin perempuan.

  5. Melibatkan Laki-Laki: Mengajak laki-laki sebagai sekutu dalam mempromosikan kesetaraan gender, terutama di partai politik dan badan pengambilan keputusan.

Kesimpulan

Mencapai SDG 5.5 adalah langkah penting bagi kemajuan Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan. Meskipun negara ini telah mencatat kemajuan dalam meningkatkan representasi perempuan di pemerintahan dan parlemen, masih banyak yang perlu dilakukan. Dengan mengatasi hambatan sistemik dan mendorong budaya yang inklusif gender, Indonesia dapat membuka potensi penuh para pemimpin perempuannya, membawa manfaat tidak hanya bagi perempuan tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Kepemimpinan perempuan bukan hanya sebuah tujuan---tetapi juga landasan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun