Pada pembahasan sebelumnya mengenai jurnalisme, yaitu sebuah proses pengolahan berita yang akan disebarkan kepada khalayak. Setiap negara memiliki sistem jurnalisme yang bersifat berbeda-beda, begitu pula dengan negara Jepang. Jepang memiliki aturan tersendiri yang dianggap paling baik untuk negaranya.Â
Berbicara mengenai dunia jurnalis di Jepang, Hiroki Sugita, seorang Dewan Eksekutif International Press Institute (IPI) mengatakan bahwa perkembangan Jepang di bidang berita dan peliputan sangat lambat, bukan karena isi berita yang tidak baik, melainkan masyarakat Jepang lebih tertarik untuk membaca dan mempelajari hal lain, seperti sains, teknologi, kesehatan, budaya, manga, animasi, dan lain sebagainya (International Press Institute [IPI], 2021).
Kali ini, akan membahas bagaimana dunia jurnalisme di negara Jepang.
Asal Mula Jurnalisme Publik di Jepang
Jurnalisme publik adalah sejumlah teknik yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan pemilih dan memanfaatkan pengetahuan untuk liputan (Ito, 2005, p. 50). Jurnalisme publik penting karena berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan demokrasi (p. 57).
Pertama kali hadirnya konsep jurnalisme publik di Jepang, menarik perhatian para jurnalis. Kata "jurnalisme publik" kemudian muncul pertama kali dalam artikel Asahi Shimbun, surat kabar harian terbesar kedua di Jepang pada tanggal 4 Agustus 1994.
Dua tahun kemudian, dalam majalah bulanan kajian Jurnalistik Asahi Shimbun edisi Desember 1996, seorang staf penulis Hiroto Ohno menggambarkan kegiatan jurnalistik yang disebut jurnalisme publik.
Hal ini menjadi pemicu awal mula jurnalisme publik semakin populer di kalangan komunitas akademik jurnalisme dan peneliti komunikasi massa.
Pada tahun 1997, terdapat beberapa artikel yang membahas mengenai kegiatan jurnalisme publik dan latar belakang (filosofi) yang menyebabkan munculnya jurnalisme publik, salah satunya "Public Journalism in U.S." karya Takashige Otsuka (Ito, 2005, p. 47-48).
Jurnalisme di Jepang
Sejarah peraturan Pers di Jepang menjadi sangat ketat dapat didengarkan di sini.
Di Jepang sendiri, pemerintah menjadi pemegang kendali media dan berkuasa atas pekerjaan jurnalistik, bahkan menjadi peraturan yang paling kaku dan penyensoran yang paling ketat daripada negara lain.
Adanya kontrol pemerintah yang ketat, jurnalis tidak diizinkan untuk membahas masalah politik, terkecuali apabila sudah memiliki hubungan dengan pemerintah.
Pada UU yang diberlakukan pertama kali pada era Meiji, direvisi dan diperluas kembali tidak hanya berisi mengenai pemerintah mengatur pers, tetapi memegang kendali penuh terhadap semua majalah dan buku.
Terdapat obligasi sebagai jaminan kepada pemerintah apabila terjadi pelanggaran terhadap UU pers. Pelanggaran akan diberi sanksi, denda dan hukuman penjara. Pada tahun pertama perang, terdapat 453 surat kabar yang dilarang terbit dan salinannya disitaÂ
Adapula aturan lainnya, seperti tidak diizinkan menjadi penerbit/editor, perubahan pemilik/editor harus melapor dalam waktu maksimal tujuh hari setelah perubahan dilakukan, makalah yang tidak terbit dalam 100 hari berturut-turut harus diberhentikan, dan lain sebagainya (Martin, 1918, p. 17-20).
Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca melalui sumber aslinya di sini.
Para jurnalis yang bertugas sebagai perwakilan suara masyarakat Jepang, RUU yang mengatur jurnalisme dan kebebasan berekspresi masih dipertanyakan keberadaannya, seperti UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Pekerja media mengkritik "peraturan media" tersebut karena banyaknya penarikan UU yang dibuat kembali tanpa memasukkan unsur paling penting sehingga masyarakat lebih memilih untuk mementingkan keselamatan pribadi daripada kebebasan berekspresi (Ito, 2005, p. 57-58).
Pemerintah mengontrol pers pada proses pengumpulan berita, di mana jurnalis yang ingin mengumpulkan informasi haruslah menjadi bagian dari keanggotaan bona fine news organizations, dengan begitu mereka memiliki hak untuk bergabung dengan klub reporter.
Kemampuan wartawan Jepang untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut dibatasi oleh fakta bahwa pejabat di Jepang tidak terikat secara hukum untuk mengungkapkan informasi.
Beberapa undang-undang di Jepang membatasi pengungkapan berbagai jenis informasi oleh pegawai pemerintah, sementara tidak ada undang-undang yang melindungi akses pelapor ke informasi resmi (Akhavan-Majid, 1990, p. 5).
Selain pemerintah, kelompok elit juga memiliki power yang kuat dalam mengendalikan (kontrol) media, yang didasarkan pada tiga komponen utama, yaitu keanggotaan elit akademik, aliran personel dan overlap, serta berkaitan dengan ekonomi.
Kontrol dilakukan secara langsung oleh kelompok elit dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah, cenderung memengaruhi kebijakan pemerintah ke arah konsentrasi dan konglomerasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Konsentrasi kepemilikan media di Jepang berada di tangan lima konglomerat media massa besar yang memiliki perusahaan surat kabar, media penyiaran (stasiun televisi lokal), dan meluas hingga ke majalah dan tabloid olahraga di seluruh daerah di Jepang. Surat kabar nasional utama seperti Yomiuri, Asahi, Mainichi, Nikkei, dan Sankei yang terikat dalam kepemilikan lintas media dengan lima stasiun televisi utama Tokyo seperti NTV, TV Asahi, TBS, TV Tokyo dan Fuji TV.
Pekerja profesional media Jepang yang menjadi bagian dari konglomerat, termasuk jurnalis di Jepang juga merupakan anggota elit akademik. Anggota yang direkrut merupakan lulusan perguruan tinggi bergengsi di Jepang, seperti Tokyo, Kyoto, Waseda, dan Keio (Akhavan-Majid, 1990, p. 3-4).
Dapat disimpulkan bahwa jurnalisme di Jepang tidak hanya dipegang oleh kelompok elit media, tetapi hukum pers yang ditegakkan pun kaku, baik di masa perang maupun di masa pasca-perang (damai). Hal ini atas dasar kewaspadaan pemerintah sehingga dapat dikatakan peraturan pers di Jepang merupakan aturan yang paling ketat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H