Sejarah peraturan Pers di Jepang menjadi sangat ketat dapat didengarkan di sini.
Di Jepang sendiri, pemerintah menjadi pemegang kendali media dan berkuasa atas pekerjaan jurnalistik, bahkan menjadi peraturan yang paling kaku dan penyensoran yang paling ketat daripada negara lain.
Adanya kontrol pemerintah yang ketat, jurnalis tidak diizinkan untuk membahas masalah politik, terkecuali apabila sudah memiliki hubungan dengan pemerintah.
Pada UU yang diberlakukan pertama kali pada era Meiji, direvisi dan diperluas kembali tidak hanya berisi mengenai pemerintah mengatur pers, tetapi memegang kendali penuh terhadap semua majalah dan buku.
Terdapat obligasi sebagai jaminan kepada pemerintah apabila terjadi pelanggaran terhadap UU pers. Pelanggaran akan diberi sanksi, denda dan hukuman penjara. Pada tahun pertama perang, terdapat 453 surat kabar yang dilarang terbit dan salinannya disitaÂ
Adapula aturan lainnya, seperti tidak diizinkan menjadi penerbit/editor, perubahan pemilik/editor harus melapor dalam waktu maksimal tujuh hari setelah perubahan dilakukan, makalah yang tidak terbit dalam 100 hari berturut-turut harus diberhentikan, dan lain sebagainya (Martin, 1918, p. 17-20).
Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca melalui sumber aslinya di sini.
Para jurnalis yang bertugas sebagai perwakilan suara masyarakat Jepang, RUU yang mengatur jurnalisme dan kebebasan berekspresi masih dipertanyakan keberadaannya, seperti UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Pekerja media mengkritik "peraturan media" tersebut karena banyaknya penarikan UU yang dibuat kembali tanpa memasukkan unsur paling penting sehingga masyarakat lebih memilih untuk mementingkan keselamatan pribadi daripada kebebasan berekspresi (Ito, 2005, p. 57-58).
Pemerintah mengontrol pers pada proses pengumpulan berita, di mana jurnalis yang ingin mengumpulkan informasi haruslah menjadi bagian dari keanggotaan bona fine news organizations, dengan begitu mereka memiliki hak untuk bergabung dengan klub reporter.