Mohon tunggu...
I am a free soul
I am a free soul Mohon Tunggu... Wiraswasta - A mother of two beautiful souls

Give me fruits and take me to the woods. I am easy to please.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wae Rebo, Negeri di Awan nan Menakjubkan

15 Maret 2017   17:32 Diperbarui: 17 Maret 2017   02:00 2407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Datanglah saat bulan purnama maka kekagumanmu akan tempat ini akan berlipat.

Ketika saya melihat lebih banyak orang memilih menikmati Flores dengan mengunjungi pulau pulaunya dan pantainya yang berpasir putih, tujuan utama saya saat di Flores justru jauh dari pantai, jauh dari keramaian, sebuah kampung yang terletak di tengah hutan dan kelilingi lembah. Yep, sebuah kampung yang sudah mendunia, namanya Wae Rebo.

Bermalam di Labuan Bajo, saya menyewa sebuah mobil untuk mengantarkan saya ke Wae Rebo. Bila di awal saya mendengar biaya sewa mobil terkesan mahal, tapi setelah melakukan perjalanannya, sayapun merasa itu angka yang wajar. Tarif sewa mobil dari Wae Rebo antara 700rb – 1jt Rupiah per hari. Jadi, jika tujuannya hanya Wae Rebo, butuh 2 hari, berarti di kali 2.

Di jemput sopir dan seorang teman di hostel, kami memulai perjalanan Pkl 5 pagi dari Labuan Bajo. Saya bersyukur startnya sepagi itu karena saya bisa menikmati pemandangan matahari terbit di sepanjang jalan. Aaah keindahan alam Flores sungguh luar biasa, perjalanan panjang dan berkelok tak jadi membosankan karena mata di manjakan dengan pemandangan sawah dan bukit yang indah.  

Sepanjang jalan menuju Wae Rebo, pemandangannya sungguh indah. Jadi sering brenti dan foto foto.
Sepanjang jalan menuju Wae Rebo, pemandangannya sungguh indah. Jadi sering brenti dan foto foto.
Setelah 7 jam di mobil (beberapa kali naik turun sih untuk sekedar meluruskan kaki atau menikmati pemandangan) tibalah kami di Desa Denge, desa terakhir di kaki bukit dimana mobil mobil pengunjung biasa parkir. Disambut gerombolan anak pencari kayu bakar, agak serem karna mereka semua bawa parang. Hahahaa…

Ini nih, anak anak yang menyambut saya di kaki bukit. Serem ya, mereka baw parang semua.
Ini nih, anak anak yang menyambut saya di kaki bukit. Serem ya, mereka baw parang semua.
Gerimis menyambut di awal pendakian. Aaahhh senangnya. Saat melakukan perjalanan di hutan, hujan dan becek adalah situasi yang selalu saya nantikan. Entahlah, itu membuat saya semakin menikmati petualangannya. Perjalanan menuju desa Wae Rebo terbilang mudah bagi orang orang yang sudah terbiasa mendaki gunung. Jalannya nanjak santai. Tentu jalurnya tanpa halangan karena jalur ini adalah satu satunya jalur yang di lalui oleh warga setiap harinya. 

Trek ringan yang sangat menyenangkan
Trek ringan yang sangat menyenangkan
Sekitar 3 jam perjalanan, tibalah kami di sebuah rumah kayu atau pos terakhir sebelum memasuki Desa Wae Rebo. Di pos ini terdapat sebuah kentungan yang sengaja disediakan bagi pengunjung. Para pengunjung harus memukul kentungan ini sebagai penanda bagi warga desa bahwa mereka kedatangan tamu. Dari pos terakhir ini, butuh waktu sekitar 10 menit lagi untuk tiba di desa.

Ini dia pos terakhir yang ada kentungannya. Jangan lupa di bunyikan ya kentungannya supaya mereka tahu kita datang.
Ini dia pos terakhir yang ada kentungannya. Jangan lupa di bunyikan ya kentungannya supaya mereka tahu kita datang.
Suasana damai seketika menyeruak diantara desiran angin lembut dan kabut tipis menyambut kedatangan saya di Wae Rebo. ‘Ya Tuhan, terima kasih atas kesempatan yang Engkau berikan bagi saya untuk bisa melihat tempat indah ini’ gumam saya seketika.

Tampak 7 bangunan berbentuk kerucut yang di sebut Mbaru Niang di bangun mengelilingi sebuah halaman luas. Yang terbesar dan di ujung atapnya terdapat sepasang tanduk, di peruntukan sebagai bangunan utama tempat para tetua desa atau kepala adat menerima setiap pengunjung yang wajib untuk melapor sebelum melakukan aktivitas apapun di desa ini sekaligus upacara penyambutan. Ini ritual wajib sebagai bentuk permohonan ijin kepada roh para leluhur mereka bahwa kita akan bermalam di tempat mereka.

Selamat datang di Wae Rebo
Selamat datang di Wae Rebo
Setelah melapor, sayapun di antar menuju ‘kamar hotel’. Tampak sebuah ruangan luas yang di sekelilingnya telah terpasang tikar dilengkapi bantal dan selimut. Tiba disana saya dapati sudah ada beberapa pengunjung lain yang tiba lebih dulu. Di sambut hangat warga desa dengan suguhan kopi, teh dan obrolan santai. Mereka menunjukkan fasilitas mck yang tersedia di sebelah bangunan yang mereka jadikan tempat menginap para pengunjung. Berada di desa yang di kelilingi lembah, sayapun tertarik bertanya jika mereka punya pemandian alam seperti sungai atau aliran air pegunungan. Ternyata ada dan saya lebih memilih untuk mandi di sebuah pancuran di tengah hutan tanpa dinding penghalang.. Ayolah, ketika kita berada di alam, kembalilah sebisa mungkin ke alam. Hehehee…

Ini dia nih tempat mandinya. Keren kan. Harus mandi di sini biar paketnya lengkap berada di alam.
Ini dia nih tempat mandinya. Keren kan. Harus mandi di sini biar paketnya lengkap berada di alam.
Di sini, jangan berharap ada sinyal handphone apalagi koneksi internet. Listrikpun sangat terbatas. Ada listrik beberapa jam untuk keperluan menambah daya handphone atau kamera serta penerangan saat makan malam para pengunjung. Jadi meskipun tidak ada sinyal atau koneksi internet, mereka masih tetap paham kalau kita butuh batre gadget tetap terisi untuk foto foto :D.

Suasana menjelang makan malam di dalam Mbaru Niang khusus pengunjung.
Suasana menjelang makan malam di dalam Mbaru Niang khusus pengunjung.
Menjelang malam, ternyata semakin banyak pengunjung yang datang. Terhitung ada 18 orang pengunjung pada saat itu. Saat tiba di Desa ini saya sudah menghayal mulai tertidur saat hari mulai gelap, tertidur nyenyak dan lama hingga bangun segar keesokan pagi. Tapi ternyata tidak kesampaian. Pengunjung lain pada saat itu kebetulan rombongan abg, mereka ngobrol cekikian hingga larut.

Bangun pagi hari saat matahari terbit adalah sebuah keharusan bagi penikmat pemandangan. Sungguh sempurna suasana pagi itu. Pagi yang damai yang sangat ingin saya nikmati setiap hari untuk beberapa lama. Namum sayang, isi kantong tidak sanggup untuk memenuhi keinginan saya lebih dari semalam di sini.

Pagi hari di Desa Wae Rebo. Gambar di ambil dari taman baca, sebuah bangunan yang posisinya paling tinggi, biasanya dipakai pengunjung untuk menikmati sunrise.
Pagi hari di Desa Wae Rebo. Gambar di ambil dari taman baca, sebuah bangunan yang posisinya paling tinggi, biasanya dipakai pengunjung untuk menikmati sunrise.
Menginap di sini di kenakan biaya 325,000 Rupiah per orang sudah termasuk makan malam dan makan pagi keesokan harinya.

Satu bangunan Mabru Niang di huni lebih dari 2 keluarga. Ruangan di dalam Mbaru Niang sangatlah luas. Di pisahkan oleh sekat sekat untuk beberapa ruang menyerupai kamar dan 1 kamar di huni 1 keluarga. Sisa ruangnya sebagai ruangan umum yang biasa di gunakan sebagai dapur dan ruang makan. Dari 7 bangunan, hanya ada 1 bangunan yang di peruntukan bagi pengunjung.

Aaah Wae Rebo, seandainya tarifmu bisa lebih bersahabat dengan kantong saya, saya ingin sekali tinggal lebih lama. Seminggu atau 2 minggu. naik turun bukit, makan dari hasil hutan. 

Sekitar pkl 9 pagi keesokan harinya, sayapun meninggalkan desa ini untuk kembali ke Labuan Bajo setelah sebelumnya menghabiskan beberapa saat mengobrol bersama warga dan bermain bersama anak anak.

Inilah semua anak anak di Wae Rebo. Kecuali yang paling belakang :D
Inilah semua anak anak di Wae Rebo. Kecuali yang paling belakang :D
Mereka sedang sibuk mengangkat kulit kayu manis
Mereka sedang sibuk mengangkat kulit kayu manis
Tips:
  • Datanglah di bulan bulan sebelum atau sesudah April – July, saat Flores masih agak sepi dari wisatawan manca negara. Bisa jadi pada saat itu malah wisatawan local yang ramai, tapi setidaknya lebih sepi ketimbangan penuh sama local dan manca negara.
  • Jika tidak ingin perjalanan darat terlalu lama, cari penginapan di Ruteng. Dari Ruteng tinggal 2 jam lagi ke desa Denge. Desa Denge adalah desa terakhir sebelum memasuki kawasan perbukitan menuju Wae Rebo.
  • Bawa bekal snack, buah untuk mengganjal perut. Karena menunggu saat makan bersama tiba setelah perjalanan jauh, biking ga sabar :D.
  • Anak anak di Wae Rebo akan senang sekali jika pengunjung berbaik hati bawakan mereka oleh oleh buku mewarnai (pensil warnanya jangan lupa) serta permen atau snack.
  • Saat listrik menyala, siap siap ambil posisi di tempat nge-charge gadget. Space terbatas saat ramai dan hanya ada listrik beberapa jam saja.
  • Berada di Wae Rebo saat bulan purnama, pemandangan di sore hari hingga malam jauh lebih indah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun