Datanglah saat bulan purnama maka kekagumanmu akan tempat ini akan berlipat.
Ketika saya melihat lebih banyak orang memilih menikmati Flores dengan mengunjungi pulau pulaunya dan pantainya yang berpasir putih, tujuan utama saya saat di Flores justru jauh dari pantai, jauh dari keramaian, sebuah kampung yang terletak di tengah hutan dan kelilingi lembah. Yep, sebuah kampung yang sudah mendunia, namanya Wae Rebo.
Bermalam di Labuan Bajo, saya menyewa sebuah mobil untuk mengantarkan saya ke Wae Rebo. Bila di awal saya mendengar biaya sewa mobil terkesan mahal, tapi setelah melakukan perjalanannya, sayapun merasa itu angka yang wajar. Tarif sewa mobil dari Wae Rebo antara 700rb – 1jt Rupiah per hari. Jadi, jika tujuannya hanya Wae Rebo, butuh 2 hari, berarti di kali 2.
Di jemput sopir dan seorang teman di hostel, kami memulai perjalanan Pkl 5 pagi dari Labuan Bajo. Saya bersyukur startnya sepagi itu karena saya bisa menikmati pemandangan matahari terbit di sepanjang jalan. Aaah keindahan alam Flores sungguh luar biasa, perjalanan panjang dan berkelok tak jadi membosankan karena mata di manjakan dengan pemandangan sawah dan bukit yang indah. Â
Tampak 7 bangunan berbentuk kerucut yang di sebut Mbaru Niang di bangun mengelilingi sebuah halaman luas. Yang terbesar dan di ujung atapnya terdapat sepasang tanduk, di peruntukan sebagai bangunan utama tempat para tetua desa atau kepala adat menerima setiap pengunjung yang wajib untuk melapor sebelum melakukan aktivitas apapun di desa ini sekaligus upacara penyambutan. Ini ritual wajib sebagai bentuk permohonan ijin kepada roh para leluhur mereka bahwa kita akan bermalam di tempat mereka.
Bangun pagi hari saat matahari terbit adalah sebuah keharusan bagi penikmat pemandangan. Sungguh sempurna suasana pagi itu. Pagi yang damai yang sangat ingin saya nikmati setiap hari untuk beberapa lama. Namum sayang, isi kantong tidak sanggup untuk memenuhi keinginan saya lebih dari semalam di sini.
Satu bangunan Mabru Niang di huni lebih dari 2 keluarga. Ruangan di dalam Mbaru Niang sangatlah luas. Di pisahkan oleh sekat sekat untuk beberapa ruang menyerupai kamar dan 1 kamar di huni 1 keluarga. Sisa ruangnya sebagai ruangan umum yang biasa di gunakan sebagai dapur dan ruang makan. Dari 7 bangunan, hanya ada 1 bangunan yang di peruntukan bagi pengunjung.
Aaah Wae Rebo, seandainya tarifmu bisa lebih bersahabat dengan kantong saya, saya ingin sekali tinggal lebih lama. Seminggu atau 2 minggu. naik turun bukit, makan dari hasil hutan.Â
Sekitar pkl 9 pagi keesokan harinya, sayapun meninggalkan desa ini untuk kembali ke Labuan Bajo setelah sebelumnya menghabiskan beberapa saat mengobrol bersama warga dan bermain bersama anak anak.
- Datanglah di bulan bulan sebelum atau sesudah April – July, saat Flores masih agak sepi dari wisatawan manca negara. Bisa jadi pada saat itu malah wisatawan local yang ramai, tapi setidaknya lebih sepi ketimbangan penuh sama local dan manca negara.
- Jika tidak ingin perjalanan darat terlalu lama, cari penginapan di Ruteng. Dari Ruteng tinggal 2 jam lagi ke desa Denge. Desa Denge adalah desa terakhir sebelum memasuki kawasan perbukitan menuju Wae Rebo.
- Bawa bekal snack, buah untuk mengganjal perut. Karena menunggu saat makan bersama tiba setelah perjalanan jauh, biking ga sabar :D.
- Anak anak di Wae Rebo akan senang sekali jika pengunjung berbaik hati bawakan mereka oleh oleh buku mewarnai (pensil warnanya jangan lupa) serta permen atau snack.
- Saat listrik menyala, siap siap ambil posisi di tempat nge-charge gadget. Space terbatas saat ramai dan hanya ada listrik beberapa jam saja.
- Berada di Wae Rebo saat bulan purnama, pemandangan di sore hari hingga malam jauh lebih indah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H