Nostalgia waktu kecil mencari buah asam saat bulan Ramadan (Sumber: shutterstock)
Mentari baru saja menebarkan cahayanya. Suasana pagi terasa dingin, karena sehabis imsak turun gerimis. Saya sudah menyiapkan ketapel yang saya rakit sendiri. Seperti biasa, saya akan bergabung dengan teman main kecil dari "wetan brug". Sebutan untuk teman kecil yang tinggal di sebelah timur jembatan kecil. Berkelana ala Si Bolang, untuk berburu asam yang berada di pesarean makam desa.
Sebuah ilustrasi yang menjadi nostalgia indah saya waktu kecil. Sebuah kebiasaan yang saya lakukan saat bulan Ramadan tiba. Nostalgia tersebut terjadi saat masih Sekolah Dasar (SD), di salah satu desa di kawasan Pantura Kabupaten Brebes Jawa Tengah.
Saat menulis perjalanan nostalgia ini, pikiran saya mulai menerawang jauh. Berburu ke sebuah waktu pada tahun 1988. Ketika, ritme kehidupan anak kecil begitu indah. Tanpa "direcoki" berbagai game di perangkat smartphone. Bahkan, saya dan teman-teman tidak mengenal apa arti alas kaki. Ke manapun kami melangkah, the nyeker adalah yang terbaik.
Seringkali, kami hepi saat melepas kaos yang lusuh. Dikalungkan di leher, pinggang atau kepala. Badan pun tidak segan-segan beranjak "busik" atau kulit kehitam-hitaman terkena sengatan mentari. Saya berpikir bahwa tayangan yang Si Bolang di televisi belum se-ekstrim apa yang saya lakukan.
Karena, apa yang saya lakukan seringkali menyerempet bahaya. Pernah jatuh dari pohon. Atau, dikejar pemilik sawah, karena kami merusak tanaman jagung yang hendak dipanen. Kejadian tersebut merupakan salah satu nostalgia terindah waktu kecil.
Namun, nostalgia yang bikin kangen waktu kecil saat bulan Ramadan adalah berburu asam. Percaya atau tidak, pohon asam tempat kami berburu berada di kawasan pesarean. Kawasan yang terdapat beberapa makam, dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Dekat dengan pesarean tersebut adalah pemakaman umum.
Biasanya, anak kecil sekarang takut dengan kawasan pemakaman. Tetapi, masa kecil saya, berteman baik dengan kawasan yang menakutkan tersebut. Mengapa? Karena di kawasan pasarean tersebut terdapat 2 pohon asam besar. Di mana, setiap bulan akan berbuah lebat.
Saya tidak merasakan takut sedikit pun. Untuk memanjat pohon asam yang tingginya lebih dari 50 meter. Rasa berani saya karena dipacu teman main yang bernyali tinggi. Kami sering berlomba-lomba, siapa yang mampu mencapai ranting pohon asam tertinggi. Rasa gemetar dan phobia tinggi hilang seketika. Ketika, melihat teman main menikmati asam yang sudah matang di atas pohon.
Tingkah laku kami sering diperingatkan oleh Sang Juru Kunci makam. Agar, tidak terlalu tinggi saat memanjat pohon asam. Tetapi, namanya anak kecil yang nakal. Semakin dilarang, kami semakin terpacu adrenalinnya. Sampai akhirnya Sang juru kunci pun menyerah dengan tingkah nekad kami.
"Saya sudah peringatkan beberapa kali. Tapi, kamu tidak pernah mendengar nasehat saya. Sekarang, kalau ada apa-apa yang terjadi, saya tidak bertanggung jawab".
Kalimat ancaman Sang Juru Kunci sambil memegang sabit, karena habis memotong rumput. Kami pun berjanji kepada Sang Juru Kunci untuk berhati-hati saat memanjat pohon.
MENGECEK KEMATANGAN ASAM
Saya berburu asam pada rentang waktu setelah sholat asar hingga menjelang buka puasa. Gembira banget ketika melihat buah asam yang rimbun bergelantungan tertiup angin. Tidak segan-segan, kaos yang saya pakai berganti fungsi menjadi tempat hasil buruan.
Asam yang saya dapatkan menjadi cemilan saat sehabis buka puasa. Atau, kalau mendapatkan banyak, maka saya menjualnya sebagian ke warung tetangga. Lumayan, bisa buat uang jajan.
Menarik, saya mempunyai cara unik untuk mengecek kematangan asam. Cara unik tersebut, saya dapatkan dari teman main. Â Bagaimana caranya? Saya tinggal menggores kulit asam dengan menggunakan kuku. Asam yang setengah matang atau saya menyebutnya MLADAKIÂ akan menghasilkan bekas goresan berwarna hijau. Sedangkan, asam yang sudah matang akan menghasilkan bekas goresan berwarna coklat tua.
Uniknya, saya dan teman-teman justru lebih senang berburu asam setengah matang. Di mana, warna asam tersebut kekuning-kuningan. Saat dimakan, rasanya asam, empuk dan pulen.
Untuk mendapatkan asam MLADAKI, maka saya mesti rajin menggoreskan kuku saya di setiap kulit asam. Sensasinya sungguh luar biasa, ketika melakukan aksi menggoreskan kuku. Apalagi, disambut dengan terpaan angin yang menggoyang ranting pohon.
Di ketinggian kurang lebih 50 meter tersebut, rasa takut hilang seketika. Pikiran hanya satu, mendapatkan asam MLADAKIÂ sebanyak mungkin. Karena, kalau dijual di warung bisa mendapatkan uang jajan.Â
MENANGIS KARENA ULAT KEKET
Ada 2 pohon asam besar tempat saya bermain. Berada di bagian barat dan timur pesarean. Pohon asam yang berada di bagian barat menjadi idola tempat panjat saya. Selain, batang pohon yang besar dan tinggi. Juga, banyak ranting yang memudahkan untuk berburu asam.
Bahkan, pohon asam di bagian barat tersebut mempunyai cabang pohon utama pada ketinggian 3 meter. Saya sering nongkrong di cabang pohon tersebut sambil mendengarkan lagu dari radio. Ya, saya sering membawa radio kecil dari rumah untuk hiburan.
Meskipun, pohon asam bagian barat menjadi idola tempat memanjat waktu kecil. Pohon asam di bagian timur juga menarik perhatian. Pohon asam tersebut tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pohon asam bagian barat. Dengan kata lain, pohon asam tersebut tumbuh ke atas, bukan ke samping.
Sayang, nyali saya selalu menciut. Ketika, berlomba-lomba memanjat di posisi tertinggi dengan teman main. Menurut saya, ranting pohon asam tersebut terasa mudah terombang-ambing saat tertiup angin. Cabang pohon asam tersebut juga lebih sedikit dibandingkan pohon asam sebelah barat. Saya sering ditantang teman main.
"Ayo, jangan cuma berani panjat pohon yang sebelah barat. Coba buktikan, jika bisa panjat pohon asam yang sebelah timur"
Suatu hari di bulan Ramadan, tantangan untuk memanjat pohon asam sebelah timur pun kembali muncul. Saya menerima tantangan tersebut. Apalagi, pohon asam tersebut sedang berbuah lebat. Saya memanjat pohon sendirian. Sementara, empat teman main hanya menonton dari bawah pohon.
Setelah sampai pada cabang kedua, saya tertarik untuk berburu asam yang terlihat lebat. Untuk mendapatkan asam tersebut, saya harus berani melewati ranting pohon sebesar lengan dewasa.
Ketinggian ranting pohon tersebut kurang lebih 20 meter dari tanah. Saya menikmati sekali, sambil memilih asam MLADAKI. Kedua kaki saya berpijak pada kedua ranting kecil. Tangan kiri saya, berusaha untuk memeluk kuat ranting yang sebesar lengan dewasa. Dengan bantuan tangan kiri, tangan kanan saya menggores setiap kulit asam. Mencari asam setengah matang.
Tidak lupa, kaos yang saya pakai beralih fungsi menjadi wadah hasil buruan. Kaos itu saya ikat di bagian pinggang. Ketika, hasil buruan sudah banyak, maka saya bersiap untuk naik dan kemudian turun. Karena, ranting tempat saya bergelantung semakin melengkung ke bawah. Otomatis, saya harus naik dulu.
Belum beranjak naik, kurang lebih 30 cm di atas kepala. Saya melihat ulat tanduk atau ulat keket yang bergerak pelan ke arah saya. Saat itu, saya phobia ulat keket. Saya benar-benar takut untuk menghindari gerakan ulat keket tersebut. Tidak ada pikir panjang, saya justru bergerak semakin ke bawah. Jika, dilakukan terus, maka saya akan jatuh.
Ketika, teman-teman di bawah melihat kondisi saya. Mereka kaget dan tertawa melihat ketakutan saya. Mereka pun bertanya, apa yang terjadi pada diri saya.
"Ada ulat keket"
Tanpa sadar, saya menjawab pertanyaan teman sambil menangis. Karena, terkurung  ketakutan tidak bisa bergerak sama sekali. Sementara, ulat keket semakin pelan mendekati posisi saya. Teman-teman saya semakin tertawa terbahak-bahak. Saya sendiri merenungi ketakutan. Sambil berpegang erat pada ranting pohon. Kurang lebih 10 menit, saya menangis karena ulah ulat keket tersebut.
Melihat kondisi saya yang sangat ketakutan, akhirnya salah satu teman naik menyusul saya. Dia dengan sabar mengusir ulat keket tersebut menggunakan ranting kecil. Saya tahu bahwa dia tidak takut sedikit pun terhadap ulat keket tersebut. Dia sedikit tertawa melihat kondisi saya.
"Sabar. Kamu pegangan ranting terus. Saya usir ulat keket ini"
Plong, rasanya. Ketika ulat tersebut jatuh ke tanah. Sambil mengusap air mata, saya ikut tertawa. Padahal, saya sedang ditertawai teman sendiri.
"Ulat gitu saja takut. Memalukan"
Itulah komentar salah satu teman lainnya. Sambil guyon, saya pun berjanji tidak akan memberi asam hasil buruan saya padanya. Biarin, wong dia jahat dan tidak ada empati sama saya yang sedang ketakutan. Namanya juga phobia bro bro. Sejak saat itu, saya berlatih untuk tidak takut sama ulat keket tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H