Tahun 2012 lalu adalah awal pertama saya tidak mudik lebaran bersama keluarga. Setelah 3 tahun lamanya, saya tinggal di Bali. Saat, di mana usaha saya mengalami kebangkrutan. Maka, untuk menjaga kondisi keuangan. Saya terpaksa tidak mudik Lebaran. Kondisi yang tidak saya harapkan sebelumnya.
Â
Untuk melepaskan kerinduan, maka saya berniat untuk silaturahmi Idul Fitri yang pertama kali. Yaitu, silaturahmi ke rumah mbak Tuti di kawasan Nusa Dua Bali. Benar-benar, merayakan Hari Raya Idul Fitri di tanah perantauan bersama keluarga. Inilah  Hari Raya Idul Fitri Paling Berkesan dalam hidup saya.
Curhat Keluarga dan Kesehatan
Kebetulan sekali, Mbak Tuti dan keluarga juga tidak mudik ke Ngawi. Sebagai informasi, suami dari Mbak Tuti ini adalah anak dari Pakde istri saya. Jadi, istri saya adalah sepupunya suami Mbak Tuti.
Sebenarnya, silaturahmi Idul Fitri ke rumahnya Mbak Tuti adalah acara dadakan. Karena, saya pikir beliau mudik ke Ngawi. Berhubung ada informasi dari keluarga kami, bahwa Mbak Tuti tidak mudik Lebaran.
Saya mendengar kabar bahwa Mbak Tuti sedang melakukan proses penyembuhan. Setelah menjalani perawatan sakit yang dideritanya selama seminggu di saudaranya, di Tangerang.
Karena, ada informasi beliau tidak mudik. Maka, kami mempunyai inisiatif untuk bersilaturahmi ke rumahnya. Meskipun, kami belum tahu lokasinya. Namun, sebagai patokan, bahwa tempat tinggalnya di kawasan Mumbul Nusa Dua.
Maka, sehabis sholat Idul Fitri, kami pun bergegas pergi ke Nusa Dua. Untungnya, saat itu anak saya masih kecil. Dia bisa naik di bagian depan jok motor. Kami bertiga pun meluncur ke Nusa Dua,
Setelah bertanya ke beberapa orang, kami pun menemukan tempat tinggalnya. Sebuah rumah kos yang berlantai dua. Kebetulan dia tiggal di kamar lantai 2. Dia diberi tanggung jawab untuk mengelola rumah kos oleh pemiliknya.
Pertemuan kami pun berlangsung hangat. Jujur, saya pun belum pernah bertemu suami istri tersebut. Tapi, saya sudah mendengar cerita banyak dari istri saya. Menariknya, istri saya pun baru betemu dengan Mbak Tuti setelah puluhan tahun.
Kedatangan kami disambut dengan jamuan lontong sayur. Cocok banget, menu yang menjadi kesukaan anak saya. Anak saya duduk di lantai sambil menonton televisi. Di depannya, tersaji lontong sayur dan setengah kaleng krupuk udang. Dia benar-benar menikmati lontong sayur tersebut. Â Â
Topik pembicaraan kami lebih ke arah kondisi keluarga Mbak Tuti. Juga, kondisi kesehatan yang baru saja pulih. Meskipun, pulih dari perawatan, dia masih saja mengeluh kesakitan. Dan, rasa sakit tersebut datangnya secara tiba-tiba.Â
Mbak Tuti sangat terbuka menceritakan tentang kondisi kesehatannya kepada istri saya. Dia juga menceritakan kondisi suaminya. Kehadiran orang ketiga sangat mengganggu kondisi rumah tangganya. Dia benar-benar lepas kendali. Dan, mencurahkan isi hatinya yang selama ini terpendam.
Di penghujung acara silaturahmi Idul Fitri, kami pun pamit pulang. Saya berpesan agar beliau tetap bersabar. Dalam menghadapi masalah yang dihadapinya. Juga, tidak lupa untuk berdoa kepada Allah SWT.
Percaya atau tidak, silaturahmi Idul Fitri tersebut adalah yang pertama dan terakhir kali. Di mana, kami bisa berkomunikasi dari hati ke hati.
Kanker Rahim Stadium Akhir
Kurang lebih 3 bulan, sejak kami silaturahmi Idul Fitri ke Nusa Dua. Kami mendapat kabar buruk. Mbak Tuti dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto Denpasar Bali. Kami pun membesuknya pada malam hari, kekira pukul 20.00 WITA.
Saya melihat Mbak Tuti tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Badannya dalam posisi miring ke kanan. Atau, membelakangi posisi kami.
Saya dan istri tak bisa berkomunikasi dengan Mbak Tuti lagi. Karena, kondisi beliau tidak sadar. Sebagai gantinya, kami berkomunikasi dengan suaminya yang bernama Mas Sigit.
Mas Sigit berkeluh kesah masalah kondisi kesehatan Mbak Tuti. Di mana, yang bersangkutan divonis dokter menderita kanker rahim stadium akhir.
Mas Sigit pun sudah pasrah dan putus asa, apapun yang terjadi. Namun, usaha apapun juga dilakukan. Termasuk, proses kemoterapi yang akan dilakukan esok hari.
Masalahnya, kendala biaya menjadi pemicunya. Jadi, Mas Sigit pun berniat untuk meminjam uang kepada saya. Namun, karena kondisi keuangan  saya pun lagi minim. Maka, saya merekomendasikan untuk pinjam uang ke kakak ipar.
Gayung bersambut. Kakak ipar saya pun menyanggupi. Denan dalih melihat kondisi Mbak Tuti. Dan, uang tersebut agar ditransfer melalui rekening saya.
Keesokan harinya, saya pun meluangkan waktu dari pekerjaan saya untuk mengantar uang. Demi membiayai pengobatan Mbak Tuti. Dan, saat itulah menjadi kenangan seumur hidup saya.
Karena, saat perjalanan saya dari kantor di Gianyar menuju Denpasar. Saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Yang membuat lengan kanan dan 2 gigi depan atas saya patah.
Dalam kondisi tangan saya diperban, setelah menjalani proses  perawatan. Saya memaksakan diri mengantar uang demi pengobatan Mbak Tuti. Terpenting, Mbak Tuti bisa sadar dari komanya. Mas Sigit pun merasa bersalah, karena telah merepotkan pekerjaan saya, Yang akhirnya membuat saya celaka.
Sayang sungguh sayang. Allah SWT lebih sayang pada Mbak Tuti. Keesokan malam harinya, nyawanya tidak tertolong lagi. Penyakit kanker stadium akhir telah membuatnya koma di rumah sakit hampir satu minggu lamanya. Dan, akhirnya meninggal dunia.
Almarhumah dimakamkan di pemakaman Islam Bugis Sidakarya Denpasar. Akhirnya, atas keputusan keluarga, makamnya dipindahkan ke Ngawi Jawa Timur. Karena, beban biaya yang harus ditanggung untuk retribusi makam setiap tahunnya.
Sungguh, sebuah keajaiban yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Silaturahmi Idul Fitri tahun 2012 menjadi silaturahmi untuk yang pertama kali dengan Mbak Tuti. Dan, menjadi silaturahmi yang terakhjir kali. Hingga kanker rahim merenggut nyawanya.
Selamat jalan Mbak Tuti. Semoga amal kebaikannya diterima Allah SWT. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H