Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Ditolak Tiga Sekolah, Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah Akhirnya Terwujud

1 Juli 2016   16:59 Diperbarui: 2 Juli 2016   07:10 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya memacu sepeda gayung bekas yang baru dibeli satu minggu yang lalu sebagai sarana transportasi untuk membelah kota Denpasar. Maklum, saya baru menghirup udara Denpasar seminggu yang lalu. Saya sisihkan uang yang ada untuk membeli sepeda gayung agar menghemat pengeluaran dari pada naik angkutan umum. 

Tidak lupa, membonceng anak saya yang duduk di bagian belakang sepeda gayung dengan berpegangan erat pada sadel. Ya, hari itu saya berniat untuk mencari Sekolah Dasar (SD) yang baru buat anak. Saya persiapkan rapor SD dan surat pindahan sebagai alat untuk meyakinkan pihak sekolah agar anak saya bisa diterima di sekolah yang dituju, SD Negeri 1 Ubung Denpasar.

Yang masih menjadi pikiran saya adalah SD yang menjadi tujuan mutasi atau pindahan belum jelas. Oleh karena itu, saya terpaksa harus memasuki setiap SD yang ada, siapa tahu ada bangku kelas tiga yang kosong. Menjadi taruhannya adalah Surat Mutasi resmi dari sekolah asal di Kota Ngawi Jawa Timur sudah keluar. Artinya, jika saya tidak dapat SD yang baru buat anak, maka terpaksa tinggal kelas atau tidak bersekolah. Sebuah resiko yang membuat detak jantung bergerak kencang setiap saat.

Memasuki gerbang sekolah, saya menghampiri guru-guru yang sedang duduk untuk menerima murid baru di teras sekolah. Saya mengatakan maksud kedatangannya, tetapi informasi yang diperoleh adalah sebuah penolakan yang tidak diharapkan.

Selanjutnya, saya direkomendasikan untuk bertemu dengan Kepala Sekolah di rumahnya yang tinggal tidak jauh dari sekolah tersebut. Saya berharap ada keajaiban dari orang yang memegang kebijakan sekolah. Tetapi, sekali lagi hasilnya sungguh setali tiga uang. Sama dan nihil.

“Maaf pak, kami belum bisa terima siswa pindahan. Semua bangku kelas tiga sudah penuh. Bapak bisa cari sekolah lainnya mungkin ada”.

Sebuah kalimat yang seakan-akan menghilangkan harapan untuk masuk sekolah yang baru bagi anak. Saya menyempatkan memandangi hasil rapor anak, sepertinya tidak berharga sama sekali. Dalam hati saya berkata, “coba lihat dulu hasil rapor anak saya, mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk menerima murid pindahan”. Tetapi, harapan itu kenyataannya hampa. Sungguh, pengalaman yang tidak akan saya lupakan betapa sulitnya menjadi siswa pindahan yang belum jelas sekolah mana yang dituju.

Sekolah Dasar (SD) yang menjadi incarannya sudah lepas dari genggaman. Saya katakan sama anak, “sekolah bagus yang kita incar sudah nggak mungkin. Kita cari sekolah sedapatnya saja ya, yang penting kamu diterima dan bisa sekolah”. Anak saya sepertinya tidak terima dengan kenyataan. Saya mencoba membesarkan hatinya agar menerima kenyataan. Betapa tidak, pindah dari sekolah favorit SD Margomulyo 1 Kota Ngawi yang menjadi incaran banyak orang kini harus dilepaskan begitu saja dan terpaksa “mengemis” untuk diterima duduk di bangku sekolah apapun kondisinya. Saya tahan air mata ini agar tidak menetes.

“Yuk, mas kita cari sekolah lagi. Mudah-mudahan ada yang mau menerima”

Kini, putaran roda sepeda gayung melaju ke SD Negeri 5 Ubung Denpasar yang letaknya masuk ke dalam gang dan tidak jauh dari sekolah yang pertama saya incar. Waktu sudah menunjukan pukul satu siang. Kebetulan, saya melihat ada tiga guru yang bersiap-siap mau pulang.

Saya mengatakan maksud kedatangannya dan dirujuk bertemu dengan Kepala Sekolahnya yang secara tidak sengaja masih di ruang kerjanya. Sayangnya, saya pun diberikan dengan harapan yang mengambang antara diterima atau tidak. Saya harus menunggu keputusan 1 minggu kemudian. Sementara, 4 hari kemudian adalah saatnya anak-anak masuk sekolah. Pikiranku kalut tidak karuan.

“Masa, anak-anak sekolah sudah masuk, nasib anak saya masih di ujung tanduk, mungkin ini cara menolak secara halus”, pikir saya.

Saya anggap bahwa sekolah yang kedua tidak menerima kedatangan siswa pindahan. Tanpa pikir panjang dan menunggu waktu lama, saya pun teringat ada SD di kawasan Kampung Jawa Denpasar. Laju sepeda gayung seakan tidak terkendali bersama anak saya. Rasa lelah telah menyelimuti dan keringat dingin mulai menetes. Saya berharap bahwa guru-guru sekolah yang dituju belum pulang.

Kenyataannya, gerbang sekolah tersebut telah terkunci. Saya lihat plang sekolah yang agak tertutup oleh dedaunan, “SD No, 8 Dauh Puri Denpasar”. Saya terkulai lemas tak berdaya, capai, pusing dan jantung berdenyut semakin kencang. Pikirannya cuma satu, bisakah anak saya bersekolah? Petualangan mencari SD yang baru masih berlangsung besok pagi.

****

Seperti biasanya, saya menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mencari sekolah anak. Rapor dan Surat Mutasi tidak ketinggalan. Agenda yang sudah dirancang adalah menemui guru atau Kepala Sekolah SD No. 8 Dauh Puri Denpasar. Kami diterima dengan senang hati oleh guru-guru yang ada. Tetapi, informasi yang kami terima di luar perkiraan. Seorang ibu guru menjawab dengan senyuman.

“Maaf pak, kalau kelas tiganya sudah penuh, tidak ada yang kosong. Malah yang ada kosong satu bangku adalah kelas empat. Anaknya tidak naik kelas. Mau, anak Bapak masuk kelas empat?”

Saya tidak tahu secara persis apakah yang menjawab kegelisahan saya seorang guru biasa atau Kepala Sekolahnya. Tetapi, dengan ketegasan dan penampilannya, saya memprediksi sepertinya memang Kepala Sekolah. Saya dibuat bingung, betapa tidak yang dicari kelas tiga yang kosong malah ditawarin kelas empat.

Andaikata, saya terima penawaran tersebut apa otak anak saya mampu untuk menerimanya. Bukan hanya itu, apakah permasalahan tidak akan timbul di kemudian hari setelah menjalaninya. Oleh karena itu, kesempatan yang ada tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Saya anggap, keberuntungan belum datang. 

Sampai di sini, saya mengalami putus asa dan bingung apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Roman muka anak saya kelihatan semakin putus asa. Gundah gulana seperti apa yang saya alami. Tetapi, sekali lagi saya tetap menyemangati hatinya bahwa masih ada kesempatan di depan. Meskipun, dalam hati kecil sudah campur aduk mau kemana lagi SD yang saya tuju.

Sudah tiga SD menolak Surat Mutasi yang selalu saya bawa ke mana-mana. Apakah nasibnya berakhir tragis, tidak sekolah atau menunggu tahun depan?. Tidak, saya tidak mau hal ini terjadi. Dalam keputusasaan, pedal sepeda gayung sepertinya begitu berat untuk digenjot. Ditambah lagi beban boncengan anak saya. Saya selalu tunjukkan sifat optimis di hadapan anak. Dalam perjalanan pulang tanpa hasil, saya melihat petunjuk nama sekolah. “SD 24 Pemecutan” sebelah kiri jalan yang masuk ke gang kurang lebih 100 meter. Sebenarnya, saya pun sudah tidak bernafsu untuk menjajal keberuntungan karena jarum jam sudah menunjukan waktu pulang sekolah.

Surat mutasi sekolah yang memerlukan perjuangan untuk

mendapatkan sekolah baru (Sumber: dokumen pribadi)

Tetapi, kata hati dan stang sepeda sepertinya harus berbelok ke kiri menuju sekolah tersebut. Saya lihat gerbang sekolah masih terbuka meskipun anak-anak sekolah sudah tidak terlihat sama sekali. Dengan pikiran positif, saya beranikan diri untuk masuk ke dalam sekolah sekedar mendapatkan informasi. Saya melihat, seorang bapak berpostur tinggi besar dan berkumis yang sedang menutup pintu ruangan bertuliskan “Ruang Kepala Sekolah”. Saya menyatakan maksudnya dan diterima di ruangannya dengan baik. Benar, ternyata beliau adalah Kepala Sekolahnya yang kemudian saya kenal bernama Pak Nyoman Kariasa.

“Nilai Rapor dan surat pindahannya di bawa pak?” katanya.

Saya berikan rapor kepadanya dan sejurus kemudian beliau melihat lembar demi lembar rapor anak saya. Selanjutnya, tanpa disuruh saya pun menyerahkan Surat Mutasi sekolah sebagai tanda resmi dan keseriusan untuk pindah sekolah. Bapak Kepala Sekolah tidak menunjukan mimik sama sekali antara menolak atau menerima. Tetapi, jawaban yang diterima membuat saya kaget dan tidak menyangka sama sekali. Beliau mau memberikan kesempatan anak saya untuk menempati bangku kelas tiga.

Banyak hal yang dikatakan kepada saya tentang kedisiplinan sekolah, peningkatan prestasi sekolah dan perlunya memakai rompi sekolah berwarna merah yang merupakan seragam wajib. Sebelum meninggalkan ruangan, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya telah menerima kehadiran anak saya sebagai siswa pindahan. Plong rasanya hati ini, Jujur, setelah keluar dari ruang Kepala Sekolah tersebut saya meneteskan air mata.

Betapa berat mencari sekolah baru buat anak. Sebuah resiko dan tanggung jawab yang harus saya terima. Saya terpaksa mengajak anak untuk pindah sekolah dari Kota Ngawi (Jawa Timur) ke Kota Denpasar (Bali). Tindakan yang sebenarnya tidak mau saya lakukan karena terlalu riskan untuk pindah sekolah menginjak kelas pertengahan, kelas 3. Apalagi, yang membuat saya takut adalah mata pelajaran lokal atau bahasa daerah, Bahasa Bali yang akan membuat anak saya menjadi demam panggung. Saya sendiri pun tidak memahami sama sekali sehingga tidak mampu membantu jika ada pertanyaan yang dilontarkan anak. Tetapi dengan alasan kuat agar selalu dekat dan memantau perkembangan sekolah anak, hal tersebut saya lakukan.

Saya merantau ke Bali karena ingin merubah penghidupan yang lebih baik (alasan ekonomi). Meskipun, ke Kalimantan dan Sulawesi adalah pulau yang pertama saya tuju. Tetapi, atas masukan dari istri, bahwa Bali menjadi alternatif mencari rejeki. Dan, Kota Denpasar menjadi pilihan yang harus saya tinggali.

****

Hari pertama sekolah di SD yang baru pun tiba. Dengan seragam merah putih berbalut rompi yang baru saya beli 2 hari yang lalu sangat berbeda dengan seragam sekolah yang lama. Baju rompi yang harus saya cari dengan memasuki setiap toko baju tidaklah mudah. Puluhan toko saya kunjungi untuk mendapatkan baju rompi tersebut. Dan, saya mendapatkannya secara marathon dari toko ke toko dari jam tiga sore hingga jam Sembilan malam.

Di hari pertama sekolah, saya memahami perasaan anak saya seperti masuk dalam dunia baru. Dunia yang orang-orang di dalamnya belum dikenal satu pun. Saya dan anak hanya diam terpaku di antara ratusan anak-anak lainnya. Semua mata memandang kami. Sekali lagi, saya selalu memberikan semangat padanya.

“Nggak usah takut, nanti juga dapat teman baru kok mas”

Saat kebingungan kami melanda, seorang bapak guru yang kemudian kami kenal sebagai guru olahraga bernama Pak Nyoman Sudarta menyapa kami dan menyambut anak saya untuk bergabung dengan anak-anak lainnya. Selanjutnya, anak saya pun diperkenalkan oleh Pak Nyoman Sudarta dengan Ketua Kelas tiga bernama Artha Utama. Saya melihat anak saya yang dari tadi tidak mampu tersenyum karena tegang menjadi cair karena bisa berbaur dengan teman-teman baru lainnya.

Saya merasakan bahwa anak saya mulai menyelami dunianya yang baru. Dunia yang mulai dikenalnya di kelas tiga. Dari kerumunan anak-anak lainnya, dia pun menghampiri saya.

“Papa pulang saja nggak apa-apa saya ditinggal. Saya tadi kenalan banyak teman baru”.

“Serius, kamu ikhlas papa tinggal”

“Ya” jawabnya mengangguk.

Bel lonceng sekolah pun mulai berbunyi tepat menunjukan pukul 7 pagi. Anak-anak sekolah mulai berbaris berbanjar sesuai dengan kelasnya. Pak Nyoman Sudarta yang bertindak sebagai pemberi aba-aba dan mengatur anak-anak berbaris mulai berteriak melalui pengeras suara. Saya lihat belahan hati mulai memberikan kode anggukan, pertanda saya dipersilahkan untuk meninggalkan sekolah dan berjuang mencari rejeki lagi. Saya pun meninggalkan barisan anak sekolah tersebut dan mohon pamit kepada guru yang ada. Lega rasanya meninggalkan kenangan di Hari Pertama Sekolah anak yang membutuhkan perjuangan penolakan tiga sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun