mendapatkan sekolah baru (Sumber: dokumen pribadi)
Tetapi, kata hati dan stang sepeda sepertinya harus berbelok ke kiri menuju sekolah tersebut. Saya lihat gerbang sekolah masih terbuka meskipun anak-anak sekolah sudah tidak terlihat sama sekali. Dengan pikiran positif, saya beranikan diri untuk masuk ke dalam sekolah sekedar mendapatkan informasi. Saya melihat, seorang bapak berpostur tinggi besar dan berkumis yang sedang menutup pintu ruangan bertuliskan “Ruang Kepala Sekolah”. Saya menyatakan maksudnya dan diterima di ruangannya dengan baik. Benar, ternyata beliau adalah Kepala Sekolahnya yang kemudian saya kenal bernama Pak Nyoman Kariasa.
“Nilai Rapor dan surat pindahannya di bawa pak?” katanya.
Saya berikan rapor kepadanya dan sejurus kemudian beliau melihat lembar demi lembar rapor anak saya. Selanjutnya, tanpa disuruh saya pun menyerahkan Surat Mutasi sekolah sebagai tanda resmi dan keseriusan untuk pindah sekolah. Bapak Kepala Sekolah tidak menunjukan mimik sama sekali antara menolak atau menerima. Tetapi, jawaban yang diterima membuat saya kaget dan tidak menyangka sama sekali. Beliau mau memberikan kesempatan anak saya untuk menempati bangku kelas tiga.
Banyak hal yang dikatakan kepada saya tentang kedisiplinan sekolah, peningkatan prestasi sekolah dan perlunya memakai rompi sekolah berwarna merah yang merupakan seragam wajib. Sebelum meninggalkan ruangan, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya telah menerima kehadiran anak saya sebagai siswa pindahan. Plong rasanya hati ini, Jujur, setelah keluar dari ruang Kepala Sekolah tersebut saya meneteskan air mata.
Betapa berat mencari sekolah baru buat anak. Sebuah resiko dan tanggung jawab yang harus saya terima. Saya terpaksa mengajak anak untuk pindah sekolah dari Kota Ngawi (Jawa Timur) ke Kota Denpasar (Bali). Tindakan yang sebenarnya tidak mau saya lakukan karena terlalu riskan untuk pindah sekolah menginjak kelas pertengahan, kelas 3. Apalagi, yang membuat saya takut adalah mata pelajaran lokal atau bahasa daerah, Bahasa Bali yang akan membuat anak saya menjadi demam panggung. Saya sendiri pun tidak memahami sama sekali sehingga tidak mampu membantu jika ada pertanyaan yang dilontarkan anak. Tetapi dengan alasan kuat agar selalu dekat dan memantau perkembangan sekolah anak, hal tersebut saya lakukan.
Saya merantau ke Bali karena ingin merubah penghidupan yang lebih baik (alasan ekonomi). Meskipun, ke Kalimantan dan Sulawesi adalah pulau yang pertama saya tuju. Tetapi, atas masukan dari istri, bahwa Bali menjadi alternatif mencari rejeki. Dan, Kota Denpasar menjadi pilihan yang harus saya tinggali.
****
Hari pertama sekolah di SD yang baru pun tiba. Dengan seragam merah putih berbalut rompi yang baru saya beli 2 hari yang lalu sangat berbeda dengan seragam sekolah yang lama. Baju rompi yang harus saya cari dengan memasuki setiap toko baju tidaklah mudah. Puluhan toko saya kunjungi untuk mendapatkan baju rompi tersebut. Dan, saya mendapatkannya secara marathon dari toko ke toko dari jam tiga sore hingga jam Sembilan malam.
Di hari pertama sekolah, saya memahami perasaan anak saya seperti masuk dalam dunia baru. Dunia yang orang-orang di dalamnya belum dikenal satu pun. Saya dan anak hanya diam terpaku di antara ratusan anak-anak lainnya. Semua mata memandang kami. Sekali lagi, saya selalu memberikan semangat padanya.
“Nggak usah takut, nanti juga dapat teman baru kok mas”