“Masa, anak-anak sekolah sudah masuk, nasib anak saya masih di ujung tanduk, mungkin ini cara menolak secara halus”, pikir saya.
Saya anggap bahwa sekolah yang kedua tidak menerima kedatangan siswa pindahan. Tanpa pikir panjang dan menunggu waktu lama, saya pun teringat ada SD di kawasan Kampung Jawa Denpasar. Laju sepeda gayung seakan tidak terkendali bersama anak saya. Rasa lelah telah menyelimuti dan keringat dingin mulai menetes. Saya berharap bahwa guru-guru sekolah yang dituju belum pulang.
Kenyataannya, gerbang sekolah tersebut telah terkunci. Saya lihat plang sekolah yang agak tertutup oleh dedaunan, “SD No, 8 Dauh Puri Denpasar”. Saya terkulai lemas tak berdaya, capai, pusing dan jantung berdenyut semakin kencang. Pikirannya cuma satu, bisakah anak saya bersekolah? Petualangan mencari SD yang baru masih berlangsung besok pagi.
****
Seperti biasanya, saya menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mencari sekolah anak. Rapor dan Surat Mutasi tidak ketinggalan. Agenda yang sudah dirancang adalah menemui guru atau Kepala Sekolah SD No. 8 Dauh Puri Denpasar. Kami diterima dengan senang hati oleh guru-guru yang ada. Tetapi, informasi yang kami terima di luar perkiraan. Seorang ibu guru menjawab dengan senyuman.
“Maaf pak, kalau kelas tiganya sudah penuh, tidak ada yang kosong. Malah yang ada kosong satu bangku adalah kelas empat. Anaknya tidak naik kelas. Mau, anak Bapak masuk kelas empat?”
Saya tidak tahu secara persis apakah yang menjawab kegelisahan saya seorang guru biasa atau Kepala Sekolahnya. Tetapi, dengan ketegasan dan penampilannya, saya memprediksi sepertinya memang Kepala Sekolah. Saya dibuat bingung, betapa tidak yang dicari kelas tiga yang kosong malah ditawarin kelas empat.
Andaikata, saya terima penawaran tersebut apa otak anak saya mampu untuk menerimanya. Bukan hanya itu, apakah permasalahan tidak akan timbul di kemudian hari setelah menjalaninya. Oleh karena itu, kesempatan yang ada tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Saya anggap, keberuntungan belum datang.
Sampai di sini, saya mengalami putus asa dan bingung apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Roman muka anak saya kelihatan semakin putus asa. Gundah gulana seperti apa yang saya alami. Tetapi, sekali lagi saya tetap menyemangati hatinya bahwa masih ada kesempatan di depan. Meskipun, dalam hati kecil sudah campur aduk mau kemana lagi SD yang saya tuju.
Sudah tiga SD menolak Surat Mutasi yang selalu saya bawa ke mana-mana. Apakah nasibnya berakhir tragis, tidak sekolah atau menunggu tahun depan?. Tidak, saya tidak mau hal ini terjadi. Dalam keputusasaan, pedal sepeda gayung sepertinya begitu berat untuk digenjot. Ditambah lagi beban boncengan anak saya. Saya selalu tunjukkan sifat optimis di hadapan anak. Dalam perjalanan pulang tanpa hasil, saya melihat petunjuk nama sekolah. “SD 24 Pemecutan” sebelah kiri jalan yang masuk ke gang kurang lebih 100 meter. Sebenarnya, saya pun sudah tidak bernafsu untuk menjajal keberuntungan karena jarum jam sudah menunjukan waktu pulang sekolah.
Surat mutasi sekolah yang memerlukan perjuangan untuk