[caption caption="Makan Miura Jo di Setra Badung Bali (dokpri)"][/caption]Setra merupakan tempat khusus untuk pemakaman atau pembakaran mayat pada saat upacara Ngaben di Bali. Sampai detik ini, setra terbesar di Bali terletak di Kota Denpasar yang dinamakan Setra Badung yang luasnya hampir 8 hektar. Setra Badung terbelah menjadi 2 (dua) bagian oleh jalan Batukaru yang menghubungkan jalan Imam Bonjol hingga kawasan Perumahan Monang Maning.
[caption caption="Plang penunjuk Setra Badung (dokpri)"]
Kita lebih sering mengenal pejuang Bali seperti I Gusti Ngurah Rai dan Gusti Ketut Djelantik. Tetapi, pejuang Bali yang asli Jepang bernama Miura Jo jarang terekspos media. Bahkan, sering terlupakan. Saya sendiri mengetahui makam Miura Jo sebenarnya dalam kondisi tidak sengaja, karena ingin mengambil gambar Makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Khadijah yang berada di sebelah timurnya.
Tanggal 8 Maret, ketika saya berjalan perlahan ke arah barat dari makam Keramat agung Raden Ayu Siti Khadijah, pandangan mata saya tertuju ke arah sebuah penunjuk jalan makam. Saya tertegun sejenak, dan membaca lebih dekat. Ternyata di kawasan setra Badung terdapat makam orang asing yang merupakan pejuang Bali, tetapi kita tidak pernah tahu sosok dan sepak terjangnya.
[caption caption="Plang penunjuk makam Miura Jo (dokpri)"]
Karena jalan menuju makam yang kurang lebih 15 meter tanpa menggunakan pintu pagar makam membuat saya bebas menelusuri setiap jejak kawasan makam. Ketika saya memasuki areal makam yang membuat nyaman adalah keberadaan jalan setapak yang sudah dipaving. Kondisi tersebut menjadi nyaman untuk ditelusuri dan memberikan kesan bersih.
[caption caption="Jalan setapak yang bersih dan asri (dokpri)"]
Andai saja ada sang juru kunci, saya bisa bertanya lebih detil makam siapa sebenarnya. Hal ini yang menjadi penasaran. Tetapi, melihat kondisi makam yang terlihat bersih dan adanya cungkup makam membuat hati saya berkata bahwa makam tersebut tentu merupakan sosok yang sangat dihormati. Entah dari sisi mananya dan masih merupakan tanda tanya besar dalam pikiran saya.
[caption caption="WC Umum di sebelah kiri pintu masuk makam (dokpri) "]
[caption caption="Makam yang ada di sebelah kanan pintu masuk (dokpri)"]
[caption caption="Makam yang terlihat bersih masih misterius (dokpri)"]
Lebih ke dalam lagi, akhirnya saya menemukan makam yang dimaksud. Ternyata, makam Miura Jo berada di balik/belakang makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Khadijah. Pantas, jika kita berada di jalan Batukaru, kita tidak bisa melihat kondisi makam Miura Jo karena terhalang komplek makam Keramat Agung tersebut.
Sekilas, saya seperti sedang melihat makam-makam keturunan Tiongkok (bong Cina). Makam yang memberikan kesan tidak angker karena kondisi bersih dan lapang. Warna makam yang diberi warna dominan hitam memberikan kesan misterius. Apalagi, di depan makam terdapat 2 patung sang penjaga makam seakan-akan mempersilahkan saya untuk menelusuri lebih detil. Luasan makam yang kurang lebih 25m2 memberi kesan lapang dan segar karena di sekelilingnya ditumbuhi berbagai tumbuhan kamboja dan semak-semak.
[caption caption="Komplek makam Miura Jo (dokpri)"]
[caption caption="Komplek makam Miura Jo dari samping (dokpri)"]
Dalam prasasti tersebut memberikan keterangan bahwa Miura Jo lahir di Tokyo tanggal 10 Agustus 1888 dan meninggal di Denpasar pada tanggal 7 September 1945. Yang menarik adalah di prasasti tersebut terdapat kalimat “NIPPON BALIKAI” yang artinya kurang lebih Perkumpulan masyarakat Jepang di Bali (maaf kalau salah mengartikan).
[caption caption="Prasasti penunjuk makam (dokpri)"]
Di samping prasati penunjuk makam, terdapat prasasti besar berwarna hitam yang terdapat di sebelah timur makam tersebut. Prasasti besar yang terpahat dalam 2 bahasa juga yaitu Bahasa Jepang (kanji) dan bahasa Indonesia memberikan pemahaman lebih serius tentang keberadaan Miura Jo di kalangan masyarakat Bali.
Saya mencoba untuk membacanya perlahan dalam huruf bahasa Indonesia. Dan yang membuat saya tertegun adalah tulisan yang ada di prasasti tersebut adalah ungkapan atau ringkasan pidato dari salah satu masyarakat Bali ketika peringatan hari ke-12 setelah wafatnya Miura Jo. Untuk lebih jelasnya, saya bisa paparkan tulisan yang ada di prasasti sebagai berikut:
TENTANG Bp. MIURA
Oleh I Goesti Ketoet Katon
Seluruh penduduk Kabupaten Badung, menjalin Keharmonisan
Bersama Bp.MIURA seperti Keluarga.
Semasa hidup dan sesudah beliau meninggalpun, bukan hanya
penduduk tapi pejabatpun, semuanya menganggap beliau
adalah “Bapak Kami”.
Keramahan hati beliau dikenal oelh seluruh orang, dan
Banyak (beribu-ribu) orang yang meminta bantuan atau
pertolongan kepada beliau. Tapi tidak ada satupun permintaan
yang ditolak. Beliau tidak membedakan pangkat, derajat,
martabat dan kebangsaan untuk membantu orang. Dan hal
sekecil atau tidak penting sekalipun, beliau tetap berussaha
membantu dengan segenap hati. Sejaksaya mengenal beliau,
beliau menganggap saya seperti anak sendiri dan selalu
menasehati kami, oleh karena itu kami merasa tenteram berada
di samping beliau.
Menjelang hari terakhir, banyak orang meminta kepada beliau
untuk tetap hidup dan tetap seperti selama ini,mengasuh,
merawat kami. Tetapi “kepergian saya adalah jalan untuk
kesejahteraan anak-anak, yaitu seluruh penduduk dan tanah
Bali. Meskipun jasmani tidak bersama-sama lagi, tetapi jiwa
tetap bersama selama-lamanya dengan seluruh penduduk Bali.”
Artinya, hal tersebut menjadi ketetapan hati beliau sebagai dasar
Untuk kehidupan penduduk Bali dalam mencapai cita-cita yang
luhur.
Setelah kepergian beliau Sekarang keharuman nama beliau di
Kenal oleh seluruh penduduk Bali.
19 September 1945
Hasil ringkasan
Pidato upacara memperingati hari ke-12
Setelah wafatnya Bp.MIURA
[caption caption="Prasati peringatan (dokpri)"]
[caption caption="Tulisan prasasti yang terpahat dalam dua bahasa (Indonesia dan Jepang/kanji) (dokpri)"]
Miura Jo juga bertugas sebagai penerjemah tentara militer Jepang, ketika Jepang dan Belanda mengekspansi Bali. Saking cintanya terhadap Bali, Miura Jo pun berbalik arah untuk bergabung dengan tentara Indonesia untuk melawan Jepang yang notabene negerinya sendiri. Miura Jo pun berjanji pada masyarakat Indonesia khususnya Bali agar bisa menggenggam kemerdekaan.
Tetapi, kenyataannya Jepang tidak mampu memberikan kemerdekaan sesuai dengan janjinya terhadap masyarakat Bali. Merasa malu di hadapan masyarakat Bali akan janjinya, Miura Jo melakukan bunuh diri dengan menembak pistol di kepalanya pada tanggal 7 September 1945.
Masyarakat Bali merasa kehilangan sosok yang telah memberikan bantuan dan perlindungan selama hidupnya. Sosok yang ramah tanpa membedakan kasta, jabatan dan martabat membuat Miura Jo disukai banyak orang. Masyarakat Bali pun merindukan sosok Miura Jo saat sekarang ini. Yang jelas, masyarakat Bali jangan sampai melupakan jasa-jasa Miura Jo selama hidupnya.
Miura Jo, jasamu akan selalu terkenang ….. Semoga …..
[caption caption="Miura Jo (asahi-net.or.jp)"]
Referensi: Cek disini