Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggagas Revolusi Mental Demi Pembangunan Keluarga yang Berketahanan dan Sejahtera

6 Agustus 2015   20:30 Diperbarui: 6 Agustus 2015   20:44 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata “Revolusi mental” sudah tak asing lagi di telinga kita. Sejak Bapak Ir. H. Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta) yang biasa dipanggil Jokowi mencalonkan Presiden RI untuk periode 2014-2019, kata “Revolusi mental” semakin membahana secara nasional. Apalagi, setelah Bapak Ir. H. Jokowi menjadi Presiden RI, kata tersebut seperti menjadi “tenaga” yang dipakai untuk memacu semangat masyarakat Indonesia dan terlepas dari keterpurukan.


Makna “Revolusi” berarti suatu perubahan struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985). Perubahan mental ke arah yang lebih baik sangat diperlukan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai kemelut bangsa. Selanjutnya, perubahan tersebut merupakan partisipasi aktif masyarakat dalam menyelesaikan ketidakberesan kondisi negeri ini.
Selanjutnya, “Revolusi Mental” seperti menjadi “roh” untuk membangkitkan semangat masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah bangsa. Bahkan, pakar hukum tata negara Margarito Gamis menyatakan,

“Revolusi Mental dibutuhkan. Birokrasi kita sekarang ini kan sudah kacau, anggota dewan kita sudah tidak mencerminkan perilaku mereka sebagai perwakilan rakyat. Itu membuat kita cemas. Untuk itu, kita harus membuat perubahan” (Kompas.com, 15 Mei 2014).


Menurut Presiden Jokowi menegaskan bahwa revolusi mental sangat diperlukan bukan hanya pada urusan birokrasi, tapi membangun karakter bangsa dalam keluarga Indonesia sangatlah penting. Berbagai tindak kejahatan karena masalah ekonomi yang terjadi sekarang ini, baik yang melibatkan anak-anak sampai orang dewasa mengindikasikan perlunya revolusi mental dalam keluarga. Bahkan, Bapak Presiden Joko Widodo, membahasakan “kegalauan kita” dengan menggagasi kembali perlunya Character and Nation Building, melalui rangkaian upaya yang disebut NAWACITA, yang menjadi ruh Kabinet Kerja 2014-2019.


Perlu diketahui bahwa Character and nation building, berawal dan menjadi inti dari Keluarga Indonesia. Ada beberapa peranan penting perlunya perhatian besar terhadap keluarga, yaitu: 1) Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya; 2) Lingkungan pertama & utama dalam pembinaan tumbuh kembang, menanamkan nilai-nilai moral dan pembentukan kepribadian; 3) Tempat belajar bagi anak dalam mengenal dirinya sebagai makluk social; 4) Hanya Keluarga yang ber-Ketahanan yang akan mampu mampu menepis pengaruh negatif yang datang dari luar; dan 5) Keluarga yang berketahanan dan mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dapat menjadi landasan dalam mewujudkan keluarga bahagia sejahtera.


Betapa besarnya fungsi keluarga, Hari Keluarga Nasional (Harganas) menjadi hari bersejarah bagi seluruh keluarga Indonesia sejak tahun 1993. Dan, peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXII pun diperingati secara khidmat. Tidak tanggung-tanggung Presiden Joko Widodo pun berkesempatan menghadiri puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) tanggal 1 Agustus 2015 bertema “Meningkatkan Peran Keluarga sebagai Pilar Utama dalam Pembangunan dan Kesejahteraan Bangsa” yang diadakan di Lapangan Sunburst, Tangerang Selatan, Banten.
Yang menarik adalah peringatan Harganas XXII merupakan momentum upaya membangun karakter bangsa mewujudkan Indonesia Sejahtera. Dan, Harganas tersebut bertujuan untuk meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terkait pentingnya membangun keluarga dengan meningkatkan peran dan fungsi keluarga dalam mewujudkan keluarga kecil berketahanan dan sejahtera.

Presiden Joko Widodo juga menegaskan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam membangun peradaban bangsa. Bangsa kita akan menjadi bangsa yang kuat, yang sejahtera jika keluarga-keluarga kita juga kuat dan sejahtera. Selanjutnya, setiap keluarga di Indonesia harus berupaya untuk menjaga kualitas seutuhnya. Di tengah keluarga pula, anak bangsa memperoleh landasan dasar pendidikan, kesehatan, kasih sayang, rasa tentram dan rasa saling memiliki.


Oleh sebab itu, untuk dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin (UU No. 52/2009).


Perlunya peningkatan fungsi keluarga memang merupakan tanggung jawab setiap elemen. Tetapi, Pemerintah bertanggung jawab terhadap pembangunan keluarga Indonesia agar mampu berketahanan dan sejahtera. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun memberikan ruang terbaik agar keluarga Indonesia mampu berfungsi secara optimal. Apalagi, dasar hukum pembangunan keluarga telah termaktub dalam UU No. 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Pasal 47:
1) Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal.
Pasal 48:
1) Kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan dengan cara:
a. Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak;
b. Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga;
c. Peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga;
d. Pemberdayaan keluarga rentan dengan memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lainnya;
e. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga;
f. Peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi melalui usaha mikro keluarga;
g. Pengembangan cara inovatif untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin; dan
h. Penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan terutama bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.


Peringatan Harganas XXII mengisyaratkan pada kita, bahwa keluarga merupakan benteng terkuat yang akan menangkal dari pengaruh negatif bagi anggota keluarga. Peran masing-masing anggota keluarga, khususnya orang tua sangat berarti untuk menciptakan keluarga berketahanan dan sejahtera. Itulah sebabnya, pelaksanaan fungsi keluarga harus bisa berjalan secara baik. Di mana fungsi keluarga mengandung 8 fungsi keluarga yang sangat penting, yaitu:
1) Fungsi Agama;
2) Fungsi Sosial Budaya;
3) Fungsi Cinta Kasih dan Sayang;
4) Fungsi Perlindungan;
5) Fungsi Reproduksi;
6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan;
7) Fungsi Ekonomi; dan
8) Fungsi Lingkungan.


 

Dengan menjalankan 8 fungsi keluarga, kita berharap agar peran orang tua mampu berjalan maksimal dalam mendidik anak-anaknya. Perlunya persiapan menjadi orang tua yang hebat tentunya menjadi dambaan setiap orang. Banyak hal yang perlu dipahami agar kita mampu menjadi orang tua hebat dalam lingkungan keluarga. Apalagi, orang tua yang kampiun dalam mendidik anak hingga menjadi anak yang bermanfaat bagi keluarga, bangsa dan agamanya. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi orang tua hebat, di antaranya:
1) Bersiap-siap menjadi orang tua;
2) Memahami peran orang tua;
3) Memahami konsep diri orang tua;
4) Melibatkan peran ayah;
5) Mendorong tumbuh kembang anak;
6) Membantu tumbuh kembang balita;
7) Menjaga anak dari pengaruh media;
8) Menjaga kesehatan reproduksi balita; dan
9) Membentuk karakter anak sejak dini.

 

Perhatian Pemerintah terhadap pembangunan keluarga juga disusun dalam RPJPN tahun 2005-2025, di mana dibagi dalam beberapa RPJM yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali. RPJM tahun 2015-2019 termasuk dalam RPJM 3 yang bertujuan untuk tercapainya kondisi penduduk yang mampu tumbuh secara seimbang yang masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) BKKBN tahun 2015-2019. Selanjutnya pada RPJM 4, bangsa Indonesia berusaha untuk mempertahankan kondisi penduduk yang mampu tumbuh secara seimbang. Pengendalian jumlah penduduk dan peningkatan program KB adalah salah satu program yang gencar dilaksanakan Pemerintah.

 

Namun, sekarang ini pembangunan keluarga Indonesia memang banyak menghadapi tantangan yang luar biasa. Pengaruh yang datang dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal) akan berdampak signifikan terhadap program pembangunan keluarga Indonesia. Dengan kata lain, banyak sistem yang mempengaruhi kondisi keluarga, dari orang tua itu sendiri sampai hukum atau regulasi yang menjadi kebijakan negara.

 

 

 

Bukan hanya sistem-sistem di atas yang berpengaruh terhadap pembangunan keluarga, tetapi masalah pelik yang selalu berjalan mengimbanginya adalah masalah kependudukan. Pemerintah mengambil peran penting dalam mensukseskan program pembangunan keluarga melalui BKKBN. Dengan dikeluarkannya UU No. 23/ 2014 yang mengandung arti tentang Pengendalian penduduk dan KB adalah kewenangan wajib yang dilaksanakan secara konkruen oleh pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota, meliputi 4 sub-urusan: (1) Pengendalian Penduduk; (2) Keluarga Berencana; (3) Pembangunan Keluarga; dan (4) Standarisasi pelayanan KB dan Sertifikasi Penyuluh Keluarga Berencana.


Jumlah pencari kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia menjadi polemik besar negeri ini. Dampak yang terjadi adalah jumlah pengangguran yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Apalagi, jumlah kelahiran yang terus bertambah mengakibatkan kebutuhan hidup semakin meningkat pula. Meskipun, jumlah kelahiran masih bisa ditekan, tetapi pertambahan jumlah penduduk menambah masalah baru yang perlu ditangani bangsa ini sejak dini.

Perlu diketahui, jumlah usia produktif yang terus meningkat menjadi permasalahan besar bangsa ini. Prediksi jumlah usia produktif pada tahun 2035 sebesar 207 juta jiwa atau kurang lebih 50 juta jiwa lebih besar dari tahun 2010. Perlunya lapangan pekerjaan menjadi pekerjaan rumah negeri ini.

 

Sebagai informasi, ada beberapa kondisi Indonesia secara nasional, di antaranya:
1. Proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 255,5 juta jiwa (Bappenas, 2013)
2. Proyeksi jumlah balita dan anak pada tahun 2015 adalah 47,4 juta jiwa (Bappenas, 2013)
3. Proyeksi jumlah remaja pada tahun 2015 adalah 66 juta jiwa atau sekitar 27% dati total jumlah penduduk (Bappenas, 2013). Tingginya proporsi penduduk usia produktif ini berkontribusi terhadap potensi bonus demografi.
4. Proyeksi jumlah lansia pada tahun 2015 adalah 21,7 juta jiwa (Bappenas, 2013)
5. Proyeksi jumlah penduduk lansia pada tahun 2010 sebesar 18 juta jiwa, meningkat tajam besar 48,2 juta jiwa atau 167,2% pada tahun 2035
6. Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia sebesar 18,1 juta jiwa (9,6%) pada tahun 2010. Indonesia sudah mendekati aging population.
7. Usia harapan hidup naik dari 70,6 (2010) menjadi 72 (2014).
8. Presentase penduduk miskin Indonesia tahun 2014 mencapai 11,25% atau 28,28 juta jiwa (BPS 2014).


Yang menarik adalah pra-keluarga sejahtera pada tahun 2010 sebesar 27, 9 juta jiwa dan naik menjadi 28,0 juta jiwa pada tahun 2014. Sedangkan sebagai perbandingan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan tahun 2014, jika dilihat dari:
1) Lansia, tahun 2010 berjumlah 18,0 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 20,8 juta jiwa;
2) Usia muda atau remaja (10-24 tahun), tahun 2010 berjumlah 64,7 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 65,7 juta jiwa;
3) Balita, tahun 2010 berjumlah 23 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 24 juta jiwa; dan
4) Anak dan balita, tahun 2010 berjumlah 45,9 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 47, 2 juta jiwa.

 

Masalah kependudukan yang tidak kalah menarik yang dapat mempengaruhi pembangunan keluarga adalah masalah Bonus Demografi. Bonus Demografi adalah peluang (opportunity) kemakmuran ekonomi suatu negara karena besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan dengan pola siklus se-abad sekali. Oleh sebab itu, jika peluang tersebut tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin, maka akan menjadi anti bonus, yaitu badai bom (bomb disaster) demografi. Perlu diketahui bahwa periode bonus demografi Indonesia dimulai tahun 2015-2035 dengan angka ketergantungan (dependency ratio) berkisar antara 0,4-0,5. Angka ketergantungan mengandung arti bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif. Proporsi usia kurang dari 15 tahun (anak-anak) terus berkurang dibandingkan dengan penduduk usia kerja (15-64 tahun).


Menurut Data Sensus Penduduk menunjukkan jumlah ketergantungan tahun 2010 adalah 100 usia produktif/pekerja menanggung 51 anak. Jadi, pada periode 2015-2035, bangsa Indonesia berkesempatan besar memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkatkan saving untuk kemajuan kemakmuran bangsa, khususnya program pembangunan keluarga. Hal ini akan memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan yang terasa hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Dari tabel di bawah ini bahwa pada tahun 2015, angka ketergantungan menunjukan setiap 100 orang usia produktif menanggung 48,6 anak alias naik dari tahun 2010.

 

Keluarga Indonesia juga menghadapi jumlah lansia yang terus meningkat. Secara mayoritas, jumlah lansia laki-laki yang hidup sendiri (duda) lebih kecil dari jumlah lansia perempuan yang hidup sendiri (janda). Sedangkan, jumlah lansia laki-laki yang menikah kembali jumlahnya lebih besar dibandingkan jumlah lansia perempuan. Hal ini menandakan bahwa lansia laki-laki lebih banyak memilih untuk mencari pasangan (menikah) kembali dibandingkan jumlah lansia perempuan. Dengan demikian, lansia-lansia perempuan yang hidup sendiri tersebut akan menjadi beban bagi keluarga atau usia produktif. Karena, permasalahan yang timbul adalah dengan siapa mereka tinggal. Kondisi inilah yang diperlukan revolusi mental agar para lansia mampu hidup mandiri di masa tuanya (sehat fisik dan psikis), seperti: pemberian pelatihan atau konseling perlunya hidup mandiri tanpa ketergantungan orang lain.

 

Peran pemerintah sangat diperlukan dalam program pembangunan keluarga. Kebijakan yang diambil Pemerintah pun perlu direspon secara positif oleh setiap keluarga Indonesia, seperti: 1) penguatan komitmen para pengelola dan pelaksana; 2) peningkatan akses pelayanan; 3) Peningkatan kualitas pelayanan; dan 4) penguatan kemitraan. Bukan hanya itu, perlunya kerangka konsep adanya masukan (input), proses, dan keluaran (output) dalam pembangunan keluarga juga sangat dibutuhkan. Keluarga yang mempunyai balita, remaja dan lansia perlu adanya kualitas dalam pendidikan, kesehatah (gizi), agama dan pengasuhan dalam keluarga. Masalah keluarga yang timbul dalam keluarga juga harus ditangani sebaik mungkin, seperti: pernikahan dini atau perceraian yang tidak diharapkan, kemiskinan, stunting, Narkoba (NAPZA), seks bebas, aborsi dan lain-lain. Dalam proses pembangunan keluarga yang berketahanan dan sejahtera, perlu adanya pembinaan yang baik yang timbul dari masyarakat dan Pemerintah. Pemerintah berperan besar dengan membuat program tepat guna demi meningkatkan keluarga agar berfungsi optimal.

 

 

Jika, revolusi mental sudah dilakukan sebaik-baiknya oleh semua kalangan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, maka tujuan mewujudkan keluarga Indonesia yang berketahanan dan sejahtera bukan mimpi belaka. Kualitas keluarga Indonesia yang menjadi idaman bisa diwujudkan.

 

Referensi:
Alimoeso, Sudibyo. 2015. Kebijakan Pembangunan Keluarga Sebagai Implementasi Revolusi Mental. Jakarta: BKKBN.
Noviani, Ana. (2015, 1 Agustus). Hadiri Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional, Ini Pesan Jokowi. Diambil dari http://kabar24.bisnis.com/read/20150801/186/458384/ hadiri-puncak-peringatan-hari-keluarga-nasional-ini-pesan-jokowi
Siregar, Abidinsyah. (2015, 8 Juli). Deputi Bidang Advokasi, Penggerakkan dan Informasi BKKBN Membangun Keluarga Membangun Bangsa Sebagai Wujud Revolusi Mental. Jakarta: Disampaikan pada acara Nangkring bareng Kompasiana.


---- Salam hangat dari Pulau Seribu Pura ----

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun