Sebagai informasi, ada beberapa kondisi Indonesia secara nasional, di antaranya:
1. Proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 255,5 juta jiwa (Bappenas, 2013)
2. Proyeksi jumlah balita dan anak pada tahun 2015 adalah 47,4 juta jiwa (Bappenas, 2013)
3. Proyeksi jumlah remaja pada tahun 2015 adalah 66 juta jiwa atau sekitar 27% dati total jumlah penduduk (Bappenas, 2013). Tingginya proporsi penduduk usia produktif ini berkontribusi terhadap potensi bonus demografi.
4. Proyeksi jumlah lansia pada tahun 2015 adalah 21,7 juta jiwa (Bappenas, 2013)
5. Proyeksi jumlah penduduk lansia pada tahun 2010 sebesar 18 juta jiwa, meningkat tajam besar 48,2 juta jiwa atau 167,2% pada tahun 2035
6. Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia sebesar 18,1 juta jiwa (9,6%) pada tahun 2010. Indonesia sudah mendekati aging population.
7. Usia harapan hidup naik dari 70,6 (2010) menjadi 72 (2014).
8. Presentase penduduk miskin Indonesia tahun 2014 mencapai 11,25% atau 28,28 juta jiwa (BPS 2014).
Yang menarik adalah pra-keluarga sejahtera pada tahun 2010 sebesar 27, 9 juta jiwa dan naik menjadi 28,0 juta jiwa pada tahun 2014. Sedangkan sebagai perbandingan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan tahun 2014, jika dilihat dari:
1) Lansia, tahun 2010 berjumlah 18,0 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 20,8 juta jiwa;
2) Usia muda atau remaja (10-24 tahun), tahun 2010 berjumlah 64,7 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 65,7 juta jiwa;
3) Balita, tahun 2010 berjumlah 23 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 24 juta jiwa; dan
4) Anak dan balita, tahun 2010 berjumlah 45,9 juta jiwa dan tahun 2014 berjumlah 47, 2 juta jiwa.
Masalah kependudukan yang tidak kalah menarik yang dapat mempengaruhi pembangunan keluarga adalah masalah Bonus Demografi. Bonus Demografi adalah peluang (opportunity) kemakmuran ekonomi suatu negara karena besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan dengan pola siklus se-abad sekali. Oleh sebab itu, jika peluang tersebut tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin, maka akan menjadi anti bonus, yaitu badai bom (bomb disaster) demografi. Perlu diketahui bahwa periode bonus demografi Indonesia dimulai tahun 2015-2035 dengan angka ketergantungan (dependency ratio) berkisar antara 0,4-0,5. Angka ketergantungan mengandung arti bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif. Proporsi usia kurang dari 15 tahun (anak-anak) terus berkurang dibandingkan dengan penduduk usia kerja (15-64 tahun).
Menurut Data Sensus Penduduk menunjukkan jumlah ketergantungan tahun 2010 adalah 100 usia produktif/pekerja menanggung 51 anak. Jadi, pada periode 2015-2035, bangsa Indonesia berkesempatan besar memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkatkan saving untuk kemajuan kemakmuran bangsa, khususnya program pembangunan keluarga. Hal ini akan memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan yang terasa hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Dari tabel di bawah ini bahwa pada tahun 2015, angka ketergantungan menunjukan setiap 100 orang usia produktif menanggung 48,6 anak alias naik dari tahun 2010.
Â
Keluarga Indonesia juga menghadapi jumlah lansia yang terus meningkat. Secara mayoritas, jumlah lansia laki-laki yang hidup sendiri (duda) lebih kecil dari jumlah lansia perempuan yang hidup sendiri (janda). Sedangkan, jumlah lansia laki-laki yang menikah kembali jumlahnya lebih besar dibandingkan jumlah lansia perempuan. Hal ini menandakan bahwa lansia laki-laki lebih banyak memilih untuk mencari pasangan (menikah) kembali dibandingkan jumlah lansia perempuan. Dengan demikian, lansia-lansia perempuan yang hidup sendiri tersebut akan menjadi beban bagi keluarga atau usia produktif. Karena, permasalahan yang timbul adalah dengan siapa mereka tinggal. Kondisi inilah yang diperlukan revolusi mental agar para lansia mampu hidup mandiri di masa tuanya (sehat fisik dan psikis), seperti: pemberian pelatihan atau konseling perlunya hidup mandiri tanpa ketergantungan orang lain.
Â
Peran pemerintah sangat diperlukan dalam program pembangunan keluarga. Kebijakan yang diambil Pemerintah pun perlu direspon secara positif oleh setiap keluarga Indonesia, seperti: 1) penguatan komitmen para pengelola dan pelaksana; 2) peningkatan akses pelayanan; 3) Peningkatan kualitas pelayanan; dan 4) penguatan kemitraan. Bukan hanya itu, perlunya kerangka konsep adanya masukan (input), proses, dan keluaran (output) dalam pembangunan keluarga juga sangat dibutuhkan. Keluarga yang mempunyai balita, remaja dan lansia perlu adanya kualitas dalam pendidikan, kesehatah (gizi), agama dan pengasuhan dalam keluarga. Masalah keluarga yang timbul dalam keluarga juga harus ditangani sebaik mungkin, seperti: pernikahan dini atau perceraian yang tidak diharapkan, kemiskinan, stunting, Narkoba (NAPZA), seks bebas, aborsi dan lain-lain. Dalam proses pembangunan keluarga yang berketahanan dan sejahtera, perlu adanya pembinaan yang baik yang timbul dari masyarakat dan Pemerintah. Pemerintah berperan besar dengan membuat program tepat guna demi meningkatkan keluarga agar berfungsi optimal.
Â