Bergerak dengan Adil dan Aman
Saat ini setiap kota di dunia dihadapkan kepada dua pilihan, ingin tetap kembali ke kondisi normal seperti dahulu atau kondisi new normal yang lebih berkelanjutan. Membuat kota Jakarta yang lebih adil dalam memastikan pergerakan warganya bukanlah perkara mudah.Â
Perencanaan transportasi yang sudah berpuluh-puluh tahun mengutamakan kendaraan pribadi harus dapat dijungkirbalikkan menjadi lebih baik, namun pekerjaan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.Â
Langkah-langkah jangka pendek yang bisa dilakukan dapat dilihat pada tulisan saya sebelumnya, saat ini saya lebih akan menekankan pola pikir yang seharusnya kita miliki.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kita sebagai manusia sudah harus berlaku adil semenjak dalam pikiran, mari kita terapkan pola pikir yang adil dalam menjamin pergerakkan warga yang lebih baik, berikut beberapa pola pikir yang bisa kita ubah [8]:
- Perencanaan berdasarkan jumlah kendaraan -> fokus pada visi kota: perencanaan suatu kota tidak lagi hanya bergantung dengan menyediakan ruang sebanyak-banyaknya kepada jumlah kendaraan yang terus meningkat. Perencanaan kota harus lebih berfokus kepada kesejahteraan manusia yang ada di dalamnya terlebih dahulu.
Proyek seperti pembuatan jembatan layang, jalan tol dalam kota seharusnya tidak perlu lagi dibangun, karena hal tersebut hanya melayani kepentingan kendaraan bukan manusia.
Seperti penekanan Perpres 60 tahun 2020 yang baru-baru ini menetapkan pembangunan dua jalan layang (di saat pandemi seperti ini, anggaran itu seharusnya bisa lebih diprioritaskan untuk penambalan anggaran transportasi umum).
- Berskala besar -> berskala lokal: inisiasi untuk mewujudkan pergerkkan yang lebih beroritentasi kepada manusia dapat dimulai dari skala rumahan. Jika kita lihat warga kampung kota yang ada di Jakarta sudah banyak inisiasi skala lokal seperti penutupan jalan khusus untuk pejalan kaki, bahkan untuk pengadaan acara arisan. Di saat kondisi pandemi, ketua-ketua RW sudah berinisiatif untuk mengisolasi kawasan RW sehingga memberikan ruang lebih kepada pejalan kaki
- Jalan sebagai jalan -> jalan sebagai ruang publik: ketika jalan sudah diorientasikan kepada manusia, maka kecepatan kendaraan harus dipelankan untuk mengormati pejalan kaki sebagai manusia yang ada di jalan.
Ruang-ruang jalan yang sebelumnya dijadikan tempat parkir kendaraan dapat dialokasikan untuk aktivitas masyarakat sebagai ruang publik untuk berinteraksi. Langkah ini dapat menurunkan jumlah kecelakaan pejalan kaki yang sangat tinggi dan tersebar di kawasan perkotaan.
- Kendaraan bermotor pribadi -> semua jenis moda transportasi: hirarki jalan sudah harus diubah dengan menjadikan pejalan kaki dan pesepeda di tingkat tertinggi, pengguna transportasi umum, lalu kendaraan pribadi di tingkat paling bawah. Alokasi anggaran harus diprioritaskan berdasarkan hirarki kepentingan itu, termasuk juga ketika kondisi pandemi.
Saat ini kita diminta untuk bertahan dalam kondisi new normal, semoga saja para pemangku kebijakan dapat bertindak secara adil semenjak dari pikiran.
Amin. Selamat lebaran. Â
[1] cnbcindonesia.com (2020, 22 April). Ternyata, Ini Alasan Kemenhub Tolak Hentikan Operasional KRL. Diakses pada 26 Mei 2020
[2] cnnindonesia.com (2020, 18 Mei). Pemerintah Bantah Atur Pekerja di Bawah 45 Tahun Balik Kantor. Diakses 26 Mei 2020
[3] itdp.org (2014, 28 Maret). Principles for Transport in Urban Life. Diakses 26 Mei 2020.
[4] reason.org (2020, 21 Mei). In Coping With the Coronavirus Pandemic, Mass Transit Agencies May Need to Reinvent Themselves. Diakses 26 Mei 2020
[5] megapolitan.kompas.com (2020, 6 Mei). Subsidi MRT, Transjakarta, hingga LRT Diusulkan Dipotong 50 persen. Diakses 26 Mei 2020.
[6] LTA Academy. (2014). Passenger Transport Mode Shares in World Cities. LTA Academy, 54-64
[7] bps.go.id (2019, 4 Desember). Statistik Komuter Jabodetabek 2019. Diakses 26 Mei 2020.
[8] Banister, D. (2008). The Sustainable Mobility Paradigm. Transport Policy, 73-80.