Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Menyambut New Normal, Sesiap Apa Kondisi Transportasi Kita?

26 Mei 2020   16:31 Diperbarui: 27 Mei 2020   16:50 2423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga menggunakan masker saat menumpangi bus transjakarta di Jl. Letjen S. Parman, Jakarta Barat, Senin (4/5/2020). (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Jargon #dirumahaja sepertinya akan kehilangan kesaktiannya dalam beberapa waktu ke depan.

Pemerintah sudah ancang-ancang untuk membuka kembali aktivitas seperti biasa atau yang biasa dikenal sebagai kondisi New Normal. Bahkan sebenarnya jauh sebelum kondisi new normal tiba, ada kelompok masyarakat yang tetap bergerak ke luar dari rumahnya. 

Mereka adalah pekerja yang pergi untuk memenuhi kebutuhan pangan Anda dan mengantar barang dari online shop ke depan pintu rumah Anda. Kebanyakan golongan masyarakat yang tetap bekerja ke luar rumah ini adalah kelompok pekerja kerah biru yang tidak bisa work from home seperti pekerja kantoran kebanyakan. 

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas sedikit banyak tentang pentingnya penyediaan moda transportasi yang terjangkau dan aman bagi seluruh warga Jakarta, terutama bagi pekerja kerah biru yang harus berjibaku menggunakan transpotasi umum.

Dilema Penyediaan Transportasi Umum di Kala Pandemi
Beberapa waktu yang lalu pemerintah daerah sempat akan menggulirkan kebijakan penutupan sementara layanan KRL. Namun hal tersebut tidak jadi diberlakukan karena pertimbangan banyaknya pekerja yang masih bergantung dalam menggunakan KRL[1]. 

Saat inipun pemerintah telah melakukan langkah antisipatif dengan memberlakukan protokol physical distancing, sehingga hanya 50% kapasitas penumpang di setiap moda transportasi. 

Penumpang yang berjarak saat melakukan physical distancing, sumber: mediaindonesia.com/
Penumpang yang berjarak saat melakukan physical distancing, sumber: mediaindonesia.com/
Perlu diperhatikan ketika kapasitas angkut moda transportasi umum dikurangi hingga 50%, maka akan semakin besar terjadinya peristiwa penumpukkan penumpang di stasiun ataupun halte. 

Hal ini akan kontraproduktif karena meningkatkan kemungkinan penyebaran virus. Terlebih lagi pemerintah telah “berancang-ancang” memperkerjakan kembali pekerja di bawah usia 45 tahun kembali ke kantor [2]. 

Lalu apakah ada alternatif selain bergantung terhadap transportasi umum? Kendaraan pribadi mungkin dapat menjadi opsi, namun jika Anda memiliki uang yang cukup. 

Kendaraan pribadi adalah privilege bagi Anda yang datang dari kelas ekonomi yang berkecukupan, maka tidak perlu ada kekhawatiran bagi Anda untuk bergerak dengan aman. 

Namun kondisinya sekarang adalah tidak semua orang memiliki uang yang cukup untuk membeli motor ataupun mobil dengan kondisi ekonomi yang semakin menjepit.

Dalam beberapa waktu mendatang, kita akan disuguhkan alternatif-alternatif new normal oleh pemerintah untuk memastikan warga bisa beraktivitas namun dengan tetap menjaga jarak. Lalu seberapa siapkah kita menghadapi new normal dalam memastikan pergerakan masyarakat?

 Moda Transportasi Beragam yang Berorientasi Publik

Konsep Transportasi Berkelanjutan di Perkotaan (Dok: ITDP)
Konsep Transportasi Berkelanjutan di Perkotaan (Dok: ITDP)
Transportasi yang berkelanjutan menganjurkan sebuah kota untuk tidak menggantungkan pergerakan warganya kepada kendaraan pribadi saja[3]. Sebaliknya, pergerakan warga harus dilandasi pada prinsip keadilan dan berkelanjutan yang beroritentasi pada penyediaan transportasi umum dan jaringan pejalan kaki serta sepeda yang baik. 

Hal ini dibarengi dengan manajemen guna lahan yang bertujuan agar warga kota dapat meminimalisir pergerakannya di dalam kota. Dengan pendekatan seperti ini, maka dapat dipastikan pengembangan kota sudah berorientasi kepada manusianya bukan kepada kendaraan.

Ketersediaan pelayanan transportasi umum yang memadai dapat menjamin warga tetap bergerak, terutama di dalam kondisi menyambut new normal. Nantinya, kota-kota yang mampu bertahan adalah kota-kota yang telah siap dengan pelayanan transportasi umum yang mumpuni. 

Dalam artian, intensitas armada yang cukup sehingga tidak menimbulkan antiran penumpang. Kesiapan ini dapat tercerminkan dari upaya komitmen pemerintah dalam memastikan pelayanan transportasi umum tetap dapat berjalan optimal dalam waktu mendatang.

Salah satu komitmen pemerintah yang cukup mengejutkan datang dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Cuitan Donald Trump mengenai subsidi kepada operator transportasi umum (Sumber: Twitter/@realdonaldtrump)
Cuitan Donald Trump mengenai subsidi kepada operator transportasi umum (Sumber: Twitter/@realdonaldtrump)
Donald Trump mengungapkan bahwa pemerintah pusat telah mengucurkan dana hingga ratusan milliar dollar kepada pemerintah kota New York, Portland, Seattle, San Francisco, Washington DC[4]. Hal ini bertujuan untuk menutupi kerugian yang dialami operator transportasi umum dan memastikan pelayanan transportasi umum tetap berjalan dengan optimal (cukup mengejutkan bukan, bahkan Trump bisa melakukan hal yang masuk akal di bidang transportasi). 

Hal bertentangan justru datang dari dalam negeri, seperti pada provinsi DKI Jakarta yang berencanan akan memotong subsidi anggaran PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), PT Mass Rapid Transit (MRT), dan PT Lintas Rel Terpadu (LRT) sebanyak 53,65%[5].

Selayang Pandang Kota-kota di Dunia
Sekarang waktunya kita berkaca dari kota-kota di dunia, tentang kondisi penggunaan moda transportasi, manakah yang lebih berorientasi kepada penggunaan kendaraan pribadi atau transportasi umum, berjalan kaki, dan bersepeda. 

Grafik di bawah ini menggambarkan persebaran dengan sumbu y presentase moda transportasi umum, pejalan kaki, dan sepeda. Sedangkan sumbu x menggambarkan moda transportasi pribadi.

Mode shares kota-kota (dok: LTA Academy)
Mode shares kota-kota (dok: LTA Academy)
Kita dapat amati bersama, kota-kota seperti Tokyo, Hongkong, Paris, dan Barcelona dapat dikatakan memiliki infrastruktur transportasi umum, pejalan kaki, dan sepeda yang baik dengan proporsi penggunaan moda yang sangat tinggi (proporsi mencapai lebih dari 80%) [6]. 

Kota seperti London dan kota/negara tetangga seperti Singapura juga memiliki pembagian moda transportasi yang cukup baik dengan proporsi penggunaan kendaraan pribadi yang hanya tidak lebih dari 45%.

Mode shares Jabodetabek (dok: LTA Academy)
Mode shares Jabodetabek (dok: LTA Academy)
Lalu bagaimana dengan kota di Indonesia? Kita ambil contoh di kota Jakarta, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statisik mengenai data Komuter Jabodetabek tahun 2019[7].

Didapatkan bahwa pergerakan dari rumah ke kantor yang menggunakan kendaraan pribadi mencapai 78,4% (mencakup motor, ojek online, mobil, mobil online, mobil jemputan), dengan penggunaan transportasi umum sebesar 20,4% dan pejalan kaki serta bersepeda yang hanya mencapai 1,2%! 

Gambaran penggunaan moda transportasi ini menggambarkan warga Jakarta yang masih sangat amat bergantung dengan penggunaan transportasi pribadi dalam bergerak.

Lalu jika dikontekskan dengan kondisi pandemi sekarang, bukannya hal itu menunjukkan kabar baik, bahwa banyak warga Jakarta yang bisa menggunakan kendaraan pribadi sehingga terhindar dari penyebaran virus?

Kembali ke argumen di awal. Pertama, tidak semua kelompok masyarakat mampu memiliki kendaraan pribadi. Jikapun mampu maka hal tersebut akan memberatkan ekonomi hariannya. 

Banyaknya orang yang menggunakan kendaraan pribadi bukan menunjukkan tingkat ekonomi yang semakin baik, malah justru terjadi kebalikannya. Sebanyak 63,3% komuter yang menggunakan kendaraan motor dapat diasumsikan berasal dari kelompok ekonomi menengah, dan menengah bawah. 

Pengeluaran per bulan yang harus disisihkan untuk kebutuhan transportasi mulai dari cicilan, servis motor, bensin, dapat menguras kocek cukup dalam. Grafik di bawah menunjukkan semakin tinggi tingkat ekonomi masyarakat maka akan semakin tinggi pula pengeluaran untuk melakukan pergerakan selama sebulan.

Presentase pengeluran masyarakat di bidang transportasi berdasarkan pemasukan per bulan (dok: LTA Academy)
Presentase pengeluran masyarakat di bidang transportasi berdasarkan pemasukan per bulan (dok: LTA Academy)
Pada kelompok masyarakat berpendapatan di bawah 1 juta rupiah, sebanyak 36,15% (23,17%+12,98%) mengeluarkan biaya bulanan lebih dari 300.000 atau sebesar 30% dari total pendapatan mereka. Bayangkan jika pengeluaran ini bisa diminimalisir dengan penyediaan transportasi umum sehingga pengeluaran bisa difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan dasar.

Bergerak dengan Adil dan Aman
Saat ini setiap kota di dunia dihadapkan kepada dua pilihan, ingin tetap kembali ke kondisi normal seperti dahulu atau kondisi new normal yang lebih berkelanjutan. Membuat kota Jakarta yang lebih adil dalam memastikan pergerakan warganya bukanlah perkara mudah. 

Perencanaan transportasi yang sudah berpuluh-puluh tahun mengutamakan kendaraan pribadi harus dapat dijungkirbalikkan menjadi lebih baik, namun pekerjaan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. 

Langkah-langkah jangka pendek yang bisa dilakukan dapat dilihat pada tulisan saya sebelumnya, saat ini saya lebih akan menekankan pola pikir yang seharusnya kita miliki.

Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kita sebagai manusia sudah harus berlaku adil semenjak dalam pikiran, mari kita terapkan pola pikir yang adil dalam menjamin pergerakkan warga yang lebih baik, berikut beberapa pola pikir yang bisa kita ubah [8]:

  • Perencanaan berdasarkan jumlah kendaraan -> fokus pada visi kota: perencanaan suatu kota tidak lagi hanya bergantung dengan menyediakan ruang sebanyak-banyaknya kepada jumlah kendaraan yang terus meningkat. Perencanaan kota harus lebih berfokus kepada kesejahteraan manusia yang ada di dalamnya terlebih dahulu.

    Proyek seperti pembuatan jembatan layang, jalan tol dalam kota seharusnya tidak perlu lagi dibangun, karena hal tersebut hanya melayani kepentingan kendaraan bukan manusia.

    Seperti penekanan Perpres 60 tahun 2020 yang baru-baru ini menetapkan pembangunan dua jalan layang (di saat pandemi seperti ini, anggaran itu seharusnya bisa lebih diprioritaskan untuk penambalan anggaran transportasi umum).

Perpres 60 tahun 2020
Perpres 60 tahun 2020
  • Berskala besar -> berskala lokal: inisiasi untuk mewujudkan pergerkkan yang lebih beroritentasi kepada manusia dapat dimulai dari skala rumahan. Jika kita lihat warga kampung kota yang ada di Jakarta sudah banyak inisiasi skala lokal seperti penutupan jalan khusus untuk pejalan kaki, bahkan untuk pengadaan acara arisan. Di saat kondisi pandemi, ketua-ketua RW sudah berinisiatif untuk mengisolasi kawasan RW sehingga memberikan ruang lebih kepada pejalan kaki
  • Jalan sebagai jalan -> jalan sebagai ruang publik: ketika jalan sudah diorientasikan kepada manusia, maka kecepatan kendaraan harus dipelankan untuk mengormati pejalan kaki sebagai manusia yang ada di jalan.
    Ruang-ruang jalan yang sebelumnya dijadikan tempat parkir kendaraan dapat dialokasikan untuk aktivitas masyarakat sebagai ruang publik untuk berinteraksi. Langkah ini dapat menurunkan jumlah kecelakaan pejalan kaki yang sangat tinggi dan tersebar di kawasan perkotaan.

Jalan di kampung kota yang menjadi ruang interaksi warga, sumber: dokumentasi pribadi
Jalan di kampung kota yang menjadi ruang interaksi warga, sumber: dokumentasi pribadi
  • Kendaraan bermotor pribadi -> semua jenis moda transportasi: hirarki jalan sudah harus diubah dengan menjadikan pejalan kaki dan pesepeda di tingkat tertinggi, pengguna transportasi umum, lalu kendaraan pribadi di tingkat paling bawah. Alokasi anggaran harus diprioritaskan berdasarkan hirarki kepentingan itu, termasuk juga ketika kondisi pandemi.

Saat ini kita diminta untuk bertahan dalam kondisi new normal, semoga saja para pemangku kebijakan dapat bertindak secara adil semenjak dari pikiran.

Amin. Selamat lebaran.  

[1] cnbcindonesia.com (2020, 22 April). Ternyata, Ini Alasan Kemenhub Tolak Hentikan Operasional KRL. Diakses pada 26 Mei 2020
[2] cnnindonesia.com (2020, 18 Mei). Pemerintah Bantah Atur Pekerja di Bawah 45 Tahun Balik Kantor. Diakses 26 Mei 2020
[3] itdp.org (2014, 28 Maret). Principles for Transport in Urban Life. Diakses 26 Mei 2020.
[4] reason.org (2020, 21 Mei). In Coping With the Coronavirus Pandemic, Mass Transit Agencies May Need to Reinvent Themselves. Diakses 26 Mei 2020
[5] megapolitan.kompas.com (2020, 6 Mei). Subsidi MRT, Transjakarta, hingga LRT Diusulkan Dipotong 50 persen. Diakses 26 Mei 2020.
[6] LTA Academy. (2014). Passenger Transport Mode Shares in World Cities. LTA Academy, 54-64
[7] bps.go.id (2019, 4 Desember). Statistik Komuter Jabodetabek 2019. Diakses 26 Mei 2020.
[8] Banister, D. (2008). The Sustainable Mobility Paradigm. Transport Policy, 73-80.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun