Bagi anda yang asing dengan istilah kampung kota, cobalah berjalan-jalan ke belakang bangunan-bangunan tinggi dan cantik di pusat kota.
Contoh saja kampung kota di belakang Jalan Braga, yang ada di Kota Bandung. Jalan ini dikenal sebagai kawasan yang memiliki bangunan bernilai sejarah tinggi dan sangat menarik untuk melakukan swafoto disana. Tidak hanya itu, di sini juga terdapat hiburan berupa caf dan bar-bar yang siap menyuntikkan kesenangan bagi siapa saja yang mampir.
Bagi anda yang pernah ke sana, pernahkah untuk menyempatkan diri berjalan ke bagian belakang Jalan Braga. Di belakang jalan tersebut terdapat permukiman yang padat penduduknya, dihuni oleh 543 keluarga (Kelurahan Braga, 2018). Jumlah yang sangat tinggi untuk wilayah yang sekecil itu. Kondisi inilah yang disebut sebagai kampung kota.
Berbicara tentang kampung kota, kita tidak hanya berbicara tentang apa yang dilihat mata. Kampung kota di Braga memiliki karakteristik yang kumuh dari lebar gangnya yang sempit, atap rumah yang terbuat dari seng, drainase yang tidak ada, dan letak rumah yang persis di samping sungai.Â
Atau ketika berbicara tentang hal yang tidak terlihat, banyak kabar-kabar yang menyatakan bahwa penduduk kampung kota mayoritas berpenghasilan di bawah UMR, mata pencaharian di sektor informal sebagai pedagang, berpendidikan rendah, ataupun tempat yang memili tingkat kriminalitas tinggi.
Asumsi-asumsi di atas mungkin ada yang benar di sebagian kampung kota di Indonesia. Tapi tidak semua kampung kota selalu berstigma negatif. Pengalaman saya meneliti fenomena kampung kota di Kelurahan Braga, Kota Bandung memberikan begitu banyak cerita baru yang membawa harapan baik tentang kampung kota.
Kampung kota merupakan kelompok masyarakat yang termajinalkan dari proses pembangunan kota karena kerentanan konteks politik. Kerentanan dalam konteks politik di Kampung Braga diukur melalui status kepemilikan yang dimiliki. Sebanyak setengah dari sampel populasi di Kampung Braga tinggal menetap dengan tidak memiliki status kepemilikan lahan formal.Â
Hal ini sangat berdampak terhadap kemampuan untuk dapat menerima bantuan dari pemerintah kota dalam pemenuhan kebutuhan dasar.Â
Dinas yang berperan untuk memberikan bantuan infrastruktur umum dan perbaikan rumah tidak dapat memberikan bantuan kepada rumah yang tidak memiliki status lahan formal karena terhambat aspek legalitas lahan. Sehingga ketika kondisi lingkungannya sudah buruk, sulit untuk ditingkatkan kecuali dengan kemampuan swadaya sendiri (hal ini dapat dilakukan namun sulit mengingat penghasilan keluarga tergolong rendah). Ditambah lagi dengan ancaman penggusuran yang membayang-bayangi untuk merelokasi penduduk.
Penduduk kampung kota terpaksa hidup dalam kondisi yang terus mengancam setiap harinya. Jumlah penduduk kampung kota di Kota Bandung, tidaklah sedikit. Setidaknya terdapat 429 kampung yang diketahui di Kota Bandung (Widjaja, 2013). Jumlah yang tergolong banyak ini menunjukkan masih begitu banyak anggota keluarga yang tinggal dalam kampung kota yang berada dalam kerentanan terus menerus. Hambatan terbesar yang harus dihadapi adalah status informalitas yang menghadang segala bentuk pengembangan lebih lanjut.
Pemerintah memiliki kewajiban dalam menyediakan permukiman yang layak secara tidak terkecuali bagi setiap keluarga. UUD 1945 Negara Republik Indonesia sudah dengan sangat gamblang menyatakan bahwa setiap dari kita berhak sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat.Â
Kesejahteraan kondisi ideal baru dapat tercapai ketika rencana, proses, hasil dan pemeliharaan. Pengembangan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh pemerintah diprioritaskan dalam UU No.1 Tahun 2011 untuk mendukung penataan dan pengembangan wilayah yang proporsional.
Berkaca dari kondisi saat ini di saat penduduk kampung kota tidak bisa mendapat bantuan karena statusnya informal, maka menjadi pertanyaan bagi kita semua bagaimana pemerintah memposisikan masyarakat informal dalam pemenuhan kebutuhan tinggalnya yang layak ? Salah satu contoh konsep pengembangan permukiman yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Social Habitat Production.Â
Konsep ini menetapkan pengembangan permukiman sebagai proses terus menerus dan bukan sebagai produk akhir, serta sebagai produk sosial dan kultural. Pengembangan ini dilakukan dengan memanfaatkan potensi setempat yang disesuaikan dengan karakteristik kawasan urban. Social Habitat dapat terwujud melalui semangat kolektif dengan melakukan pelatihan, proses partisipatif, dan organisasi di dalam komunitas masyarakat tersebut.
Jika di kota-kota Indonesia, rumah-rumah seperti itu akan sangat mungkin digusur, di kota ini semua terjadi melalui proses musyawarah. Bahwa mereka tidak akan digusur, sebagai bentuk hormat terhadap pemilik bangunan yang lama, pemilik bangunan yang baru lah yang harus menyesuaikan terhadap rencana baru yang ditetapkan.Â
Konsep sederhanyanya adalah bangunan-banguan di kawasan ini lebih tua dari peraturan tata ruang, sehingga perlu dilakukan negosiasi bersama antara pemilik bangunan dan pemerintah sebagai penyusun rencana ruang.Â
Selain itu, jika di kota-kota Indonesia penduduk kampung kota yang tidak memiliki status lahan formal tidak mendapat bantuan pemenuhan sarana pribadi atau umum, tidak demikian dengan kenyataan yang terjadi di Jepang. Kepemilikan status lahan tidak membatasi masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah kota.
Sedangkan kampung kota mendominasi keseluruhan kawasan permukiman di kota-kota besar Indonesia seperti Kota Bandung. Jika di Indonesia kampung kota belum mendapat pengakuan formal dari pemerintah, tidak demikian kasusnya di Taiwan, Kota Taipei, Desa Xizhou.Â
Desa ini terletak di bantaran Sungai Danshui yang membelah kota Taipei. Berdasarkan peraturan yang berlaku sudah seharusnya area bantaran sungai ini bersih dari bangunan-bangunan. Keadaan ini menempatkan Desa Xizhou berada dalam ancaman penggusuran.Â
Untuk menanggapi hal ini pemerintah Kota Taipe mengatasinya dengan menggunakan konsep Cultural Ecosystem (CES). Nilai yang dipegang adalah pengutamaan social capital yang muncul dari ruang vernacular hasil keunikan ekosistem kultural kota. Secara singkat, pemerintah harus dapat menghargai nilai nilai spiritual, emosional, estetika, dan moral lingkungan setempat.
Penduduk Desa Xizhou memercayai bahwa aliran sungai yang ada berasal dari para leluhur, sehingga mereka memutuskan untuk tinggal dekat sungai.Â
Masyarakat ini juga memiliki ikatan sosial yang kuat antar satu sama lain, mereka memiliki upacara adat yang selalu dilakukan di Sungai Danshui. Kondisi-kondisi ini lah yang menjadi alasan pemerintah setempat memutuskan untuk mempertahankan Desa Xizhou.Â
Alih-alih digusur karena menempati lahan informal, mereka mendapatkan bantuan perbaikan dan pengembangan permukiman. Pemerintah menganggap nilai-nilai yang mereka pegang dapat menjadi contoh yang baik sebagai preseden nilai-nilai komunal dan nilai untuk menghargai lingkungan setempat.
Contoh-contoh tersebut mengungkapkan bahwa permukiman informal dihargai dengan baik dalam pembangunan. Pemerintah berusaha menemukan jalan tengah bersama dengan masyarakat sekitar. Bukan hanya sekedar proses partisipatif saja, tetapi juga dalam tataran kebijakan serta eksekusi di lapangan.Â
Begitu pula dengan kampung kota yang ada di dekat lingkungan kita. Permukiman informal ini juga memiliki nilai-nilai yang dapat menjadi teladan bagi seluruh penduduk kota dan sudah sebaiknya mendapatkan perlakuan yang tidak hanya adil tetapi juga baik adanya.
Pemerintah jangan setengah hati memenuhi hak bermukim bagi masyarakat!