Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyembunyikan Kampung Kota dari Kita?

13 September 2018   20:32 Diperbarui: 16 September 2018   19:03 2582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Penduduk Kampung Braga Bermain Voli - Sumber : Hasil Observasi, 2018

Kesejahteraan kondisi ideal baru dapat tercapai ketika rencana, proses, hasil dan pemeliharaan. Pengembangan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh pemerintah diprioritaskan dalam UU No.1 Tahun 2011 untuk mendukung penataan dan pengembangan wilayah yang proporsional.

Berkaca dari kondisi saat ini di saat penduduk kampung kota tidak bisa mendapat bantuan karena statusnya informal, maka menjadi pertanyaan bagi kita semua bagaimana pemerintah memposisikan masyarakat informal dalam pemenuhan kebutuhan tinggalnya yang layak ? Salah satu contoh konsep pengembangan permukiman yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Social Habitat Production. 

Konsep ini menetapkan pengembangan permukiman sebagai proses terus menerus dan bukan sebagai produk akhir, serta sebagai produk sosial dan kultural. Pengembangan ini dilakukan dengan memanfaatkan potensi setempat yang disesuaikan dengan karakteristik kawasan urban. Social Habitat dapat terwujud melalui semangat kolektif dengan melakukan pelatihan, proses partisipatif, dan organisasi di dalam komunitas masyarakat tersebut.

Gambar 2. Jalan Lingkungan Nakazakicho - Sumber : https://insideosaka.com/nakazakicho/
Gambar 2. Jalan Lingkungan Nakazakicho - Sumber : https://insideosaka.com/nakazakicho/
Contoh nyata dari pengembangan permukiman yang melibatkan masyarakat sebagai proses berkelanjutan dapat kita amati di Negara Jepang, Kota Osaka, kawasan Nakazaki. Dapat dikatakan kawasan Nakazaki merupakan kampung kota di Osaka. Letak satu sama lain antar perumahan tidak mengikuti aturan standar jalan selebar 4 meter. 

Jika di kota-kota Indonesia, rumah-rumah seperti itu akan sangat mungkin digusur, di kota ini semua terjadi melalui proses musyawarah. Bahwa mereka tidak akan digusur, sebagai bentuk hormat terhadap pemilik bangunan yang lama, pemilik bangunan yang baru lah yang harus menyesuaikan terhadap rencana baru yang ditetapkan. 

Konsep sederhanyanya adalah bangunan-banguan di kawasan ini lebih tua dari peraturan tata ruang, sehingga perlu dilakukan negosiasi bersama antara pemilik bangunan dan pemerintah sebagai penyusun rencana ruang. 

Selain itu, jika di kota-kota Indonesia penduduk kampung kota yang tidak memiliki status lahan formal tidak mendapat bantuan pemenuhan sarana pribadi atau umum, tidak demikian dengan kenyataan yang terjadi di Jepang. Kepemilikan status lahan tidak membatasi masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah kota.

Gambar 3. Nilai Sosial Desa Xizhou - Sumber : Chang, S. E. (2014). The Danshui River Cultural Ecosystem as The Amis Tribal Landscape : An Asian Green-Grassroots Aprroach. Asian Confrence on Environment-Behaviour Studies, 463-473.
Gambar 3. Nilai Sosial Desa Xizhou - Sumber : Chang, S. E. (2014). The Danshui River Cultural Ecosystem as The Amis Tribal Landscape : An Asian Green-Grassroots Aprroach. Asian Confrence on Environment-Behaviour Studies, 463-473.
Lebih fundamental lagi, bagaimana sebenarnya pemerintah memandang posisi kampung kota dalam proses pengembangan kota. Produk perencanaan kita masih memandang secara general permukiman kita dengan membaginya berdasasrkan tingkat kepadatan. Pada kenyataannya terdapat jenis permukiman berupa kampung kota yang sama sekali tidak bisa diwakilkan oleh kawasan permukiman padat semata. 

Sedangkan kampung kota mendominasi keseluruhan kawasan permukiman di kota-kota besar Indonesia seperti Kota Bandung. Jika di Indonesia kampung kota belum mendapat pengakuan formal dari pemerintah, tidak demikian kasusnya di Taiwan, Kota Taipei, Desa Xizhou. 

Desa ini terletak di bantaran Sungai Danshui yang membelah kota Taipei. Berdasarkan peraturan yang berlaku sudah seharusnya area bantaran sungai ini bersih dari bangunan-bangunan. Keadaan ini menempatkan Desa Xizhou berada dalam ancaman penggusuran. 

Untuk menanggapi hal ini pemerintah Kota Taipe mengatasinya dengan menggunakan konsep Cultural Ecosystem (CES). Nilai yang dipegang adalah pengutamaan social capital yang muncul dari ruang vernacular hasil keunikan ekosistem kultural kota. Secara singkat, pemerintah harus dapat menghargai nilai nilai spiritual, emosional, estetika, dan moral lingkungan setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun