Kesejahteraan kondisi ideal baru dapat tercapai ketika rencana, proses, hasil dan pemeliharaan. Pengembangan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh pemerintah diprioritaskan dalam UU No.1 Tahun 2011 untuk mendukung penataan dan pengembangan wilayah yang proporsional.
Berkaca dari kondisi saat ini di saat penduduk kampung kota tidak bisa mendapat bantuan karena statusnya informal, maka menjadi pertanyaan bagi kita semua bagaimana pemerintah memposisikan masyarakat informal dalam pemenuhan kebutuhan tinggalnya yang layak ? Salah satu contoh konsep pengembangan permukiman yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Social Habitat Production.Â
Konsep ini menetapkan pengembangan permukiman sebagai proses terus menerus dan bukan sebagai produk akhir, serta sebagai produk sosial dan kultural. Pengembangan ini dilakukan dengan memanfaatkan potensi setempat yang disesuaikan dengan karakteristik kawasan urban. Social Habitat dapat terwujud melalui semangat kolektif dengan melakukan pelatihan, proses partisipatif, dan organisasi di dalam komunitas masyarakat tersebut.
Jika di kota-kota Indonesia, rumah-rumah seperti itu akan sangat mungkin digusur, di kota ini semua terjadi melalui proses musyawarah. Bahwa mereka tidak akan digusur, sebagai bentuk hormat terhadap pemilik bangunan yang lama, pemilik bangunan yang baru lah yang harus menyesuaikan terhadap rencana baru yang ditetapkan.Â
Konsep sederhanyanya adalah bangunan-banguan di kawasan ini lebih tua dari peraturan tata ruang, sehingga perlu dilakukan negosiasi bersama antara pemilik bangunan dan pemerintah sebagai penyusun rencana ruang.Â
Selain itu, jika di kota-kota Indonesia penduduk kampung kota yang tidak memiliki status lahan formal tidak mendapat bantuan pemenuhan sarana pribadi atau umum, tidak demikian dengan kenyataan yang terjadi di Jepang. Kepemilikan status lahan tidak membatasi masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah kota.
Sedangkan kampung kota mendominasi keseluruhan kawasan permukiman di kota-kota besar Indonesia seperti Kota Bandung. Jika di Indonesia kampung kota belum mendapat pengakuan formal dari pemerintah, tidak demikian kasusnya di Taiwan, Kota Taipei, Desa Xizhou.Â
Desa ini terletak di bantaran Sungai Danshui yang membelah kota Taipei. Berdasarkan peraturan yang berlaku sudah seharusnya area bantaran sungai ini bersih dari bangunan-bangunan. Keadaan ini menempatkan Desa Xizhou berada dalam ancaman penggusuran.Â
Untuk menanggapi hal ini pemerintah Kota Taipe mengatasinya dengan menggunakan konsep Cultural Ecosystem (CES). Nilai yang dipegang adalah pengutamaan social capital yang muncul dari ruang vernacular hasil keunikan ekosistem kultural kota. Secara singkat, pemerintah harus dapat menghargai nilai nilai spiritual, emosional, estetika, dan moral lingkungan setempat.