Ummi Kultsum Ketiga tidak memiliki hubungan geneologi dengan Nabi Muhammad SAW. Ia hanya perempuan biasa dari pasangan Bapak Bisri dan Emak Ratminah di kampung kecil, Jeruk Leueut Sindangwangi Majalengka Jawa Barat.
Perjalanan hidupnya pun tidak memiliki hal penting yang perlu dicatat sejarah.
Sebagaimana orang biasa yang berusaha bertahan hidup dengan kerja keras, Ia memiliki prinsip seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, "Selama orang masih suka bekerja, dia masih suka hidup dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut".
Kisah pernikahan Ceu Ucum, demikian orang-orang terdekat menyapanya, berjalan wajar dan datar.
Sang suami hanya seorang laki-laki sederhana yang memiliki keahlian menyembelih hewan dan mengolah kulit domba.
Keduanya disatukan oleh karakter yang sama: kesetiaan dalam cinta, kesederhanaan dan kerja keras untuk menaikan taraf kehidupan.
Sampai tahun 70 an, keluarga sederhana ini masih bekerja pada kerabatnya yang kerap mengekspoitasi tenaga bahkan harga dirinya. Perlakuan yang membuat keduanya sering menangis di Tengah malam, munajat pada Allah SWT Sang Pemilik kehidupan.
Kemauan keras untuk mengubah kehidupah mendorong keduanya berikhtiar keras dengan silaturahmi ke para Kyai, istiqomah tahajud dan dhuha serta mencoba membuka usaha sendiri.
Sebuah warung kecil dengan dua bangku panjang yang terbuat dari bambu berdiri di bawah pohon beringin di daerah Langensari Ciborelang.
Warung yang dibangun dengan cinta, usaha dan doa Ceu Ucum dan Mang Kosim, sang suami, terus berkembang dengan penuh berkah.
Menu utamanya sangat terkenal dan mengundang banyak orang datang menikmatinya. Bahkan para petinggi negeri ini tidak ketinggalan datang membuktikan kenikmatan Sop Kikil langensari yang hangat, sehat dan nikmat.