Eksistensi Partai Politik dalam negara yang menganut sistem demokrasi merupakan suatu hal yang lumrah, dimana pada dasarnya partai politik merupakan pilar dari demokrasi untuk senantiasa mengimplementasikan makna demokrasi itu sendiri yakni kebebasan, keadilan, kemerdekaan, keseimbangan, serta kebijaksanaan.Â
Partai politik sendiri juga menjadi alat penghubung antara negara dan masyarakat sehingga dalam hal ini, partisipasi yang juga menjadi krusial bagi demokrasi untuk menciptakan partisipasi masyarakatnya. Mengutip pendapat Mayer pada Rohaniah (2015),Â
Partai politik memiliki posisi strategis dalam hal demokrasi dibandingkan dengan lembaga politik lainnya disebabkan oleh dua faktor, yang pertama ialah partai politik merupakan satu-satunya wadah penghubung masyarakat dan pemerintah untuk mengkompromikan kepentingan-kepentingan yang berbeda sehingga apa yang diperjuangkan partai politik ini berorientasi pada kesejahteraan umum untuk senantiasa menghidupkan eksistensi dirinya pula melalui suara, selain itu juga partai politik mampu melaksanakan tuntutan masyarakat baik dari sisi manapun mereka pada pemerintahan, apakah mereka berlawanan atau justru berdampingan dengan pemerintah (Ramadhanti, 2018).Â
Hal ini berarti peran sentral partai politik dalam wacana demokrasi bisa kita lihat perannya yang mana mamou menjadi perwakilan dari masyarakat itu sendiri serta mampu menjadi media utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang mampu menjaga akuntabilitas demokrasi itu sendiri.
Baik partai politik maupun demokrasi, keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Tak hanya demokrasi saja yang tak bisa hidup tanpa partai politik, maka partai politik juga harus tetap memegang teguh unsur demokrasi itu sendir pada intra partainya.Â
Dengan demikian, untuk senantiasa mengembangkan demokrasi di dalam partai politik itu sendiri, maka diperlukannya gagasan manajemen partai politik modern (Sinaga, Hasibuan, Sinaga, Gea, & Zega, 2018).Â
Hofmeister dan Grabow (2011: 26-55) membagi studinya mengenai manajemen partai politik modern yang terdiri dari (1) keanggotaan dan organisasi (2) kualitas anggota partai politik (3) Rekrutmen anggota baru partai politik (4) Pendidikan dan Pelatihan Anggota Partai Politik (5) Program partai politik (6) Komunikasi internal dan eksternal partai politik (7) Demokrasi internal partai politik (8) konflik partai dan resolusi konflik (9) Kuota untuk perempuan dan Minoritas dalam Partai Politik (10) Pembiayaan Partai Politik (Sinaga, Hasibuan, Sinaga, Gea, & Zega, 2018).Â
Konsep yang telah dijabarkan oleh Hofmeister dan Grabow dapat kita lihat relevansinya dengan fenomena politik masa kini, terlebih mengenai demokrasi dan partai politik khususnya di Indonesia.
Perjuangan menempatkan demokrasi sesuai dengan esensinya yakni berada di tangan rakyat di Indonesia akhirnya menemukan babak baru ketika rezim Orde Baru runtuh di Indonesia yang mulai memunculkan banyak dinamika baru di kancah perpolitikkan di Indonesia.Â
Beberapa diantaranya dapat kita lihat yakni mengenai kebebasan berserikat yang termasuk kepada pembentukkan partai politik, dimana seperti yang kita tahu sebelumnya, Orde Baru memiliki ciri khas yang tak mungkin terlupakan dari sejarah berkembangnya partai politik di Indonesia, yakni penggabungan atau fusi partai politik dimana di Indonesia partai politik yang mengikuti kontestasi politik atau pemilu hanya terdiri dari tiga partai, yakni PDI, PPP, dan Golkar.Â
Sebagai negara demokrasi, sejatinya negara harus membuka wadah sebesar-besarnya di ranah politik untuk memastikan kembali bahwa partisipasi rakyat merupakan yang terdepan, mengingat rakyatlah pemegang tombak utama dalam kedaulatan suatu negara. Hingga pada akhirnya, era reformasi mulai melahirkan perkembangan kebebasan berserikat masyarakat serta mewujudkan pemenuhan hak politik masyarakat yakni dipilih dan memilih.
Selain pembukaan kran terhadap pembentukan partai politik yang mulai muncul secara sporadic untuk senantiasa mengikuti pemilihan umum, pembaruan yang terjadi di era reformasi ini juga bisa kita lihat juga pada perluasan demokrasi yakni mulai munculnya desentralisasi pemerintahan dengan membuka ruang seluas-luasnya melalui pemilihan umum secara langsung bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah, baik di provinsi, kabupaten/kota. Hingga merambah ke ranah desa melalui calon yang diusung oleh partai politik (Halim & Hakim, 2020).Â
Tentunya hal ini membawa dampak baik bagi kemajuan demokrasi di Indonesia dengan mulai membagikan kewenangan di setiap daerah sehingga ketimpangan kekuasaan atau sentralisasi seperti apa yang telah ada di era orde baru tidak terulang kembali.
Namun, perlu kita ketahui bahwa di era reformasi ini selain munculnya perubahan positif, fenomena politik lain justru muncul banyak yang ke arah negative.Â
Seperti apa yang diungkapkan oleh Agustino (2010), demokratisasi selalu berwujud ganda, dimana perubahan yang terjadi selalu menunjukkan adanya perbaikan nyata daripada yang telah terjadi sebelumnya, tetapi ada kelompok berkuasa lainnya yang senantiasa memanfaatkan perubahan tersebut untuk kepentingan diri dan kelompoknya (Agustino, 2010).Â
Hal ini bisa kita lihat melalui partai kerajaan Orde Baru yakni Golkar, nama partai tersebut masih mengepakkan sayap kekuasaannya di era reformasi yang tak kunjung selesai dari adanya permasalahan, mulai dari politik dinasti hingga korupsi. Hasil riset Nagara Institute menunjukkan bahwa pada pemilihan kepala daerah 2020, Partai Golkar menjadi partai pengusung politik dinasti terbanyak (republika.co.id, 2020). Sekaligus diantaranya, Partai Golkar menempati posisi ketiga sebagai partai terkorup di Indonesia (Kompas.com, 2022).Â
Kedua bukti tersebut sejalan denga napa yang dikemukakan kembali oleh Agustino (2010) bahwa Golkar mengincar dinasti politiknya dengan pembangunan dinasti ekonomi melalui kekuasaan politik (Agustino, 2010).
Politik dinasti bukan lagi hal yang baru di Indonesia. Politik dinasti merupakan tindakan yang dapat didasari dari pemikiran familisme, dimana dengan mengutip pendapat Garzon, Djati (2013) menyebutkan bahwa familisme merupakan suatu budaya politik dengan tingkat depedensi yang besar terhadap ikatan keluarga atau kekerabatan yang kemudian menjadikan pihak dengan hubungan kekerabatan yang kuat diberikan kedudukan yang tinggi (Sukri, 2020).Â
Politik dinasti merupakan hal yang berbahaya dan menjadi penyakit bagi demokrasi akibat fenomena politik dinasti ini memunculkan keterbatasan bagi partisipasi masyarakat akibat hubungan kekerabatan dalam kontestasi politik sehingga jabatan diisi oleh segelintir elit yang masih memiliki hubungan kekeluargaan serta sumber daya finansial yang kuat, memiliki popularitas yang tentunys lebih mudah untuk memobilisasi massa.Â
Modal popularitas merupakan modal yang menguntungkan bagi calon politik dinasti, dan apabila dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan, nama keluarga yang dimiliki oleh calon politik dinasti mampu menjadikan branding bagi mereka yang tentunya menjadikan mereka mudah untuk dipilih (Fitriyah, 2020) Pelanggengan kekuasaan melalui tindak politik dinasti dari kekeluargaan ini mampu menjadikan pihak yang melakukan politik dinasti ini menjadi penguasa yang mengontrol dan berwenang penuh di dalam semua hal.
Keluarga sebagai institusi sosial dianggap krusial untuk mengetahui orientasi politik seseorang di tahap awal dan seterusnya yang nantinya berusaha untuk memenuhi kembali tuntutan dari keluarga tersebut.Â
Melalui orang terdekat, proses rekrutmen akan dirasa lebih mudah apabila kita mengetahui seluk beluk serta orang terdekat didalamnya, yang nantinya akan membuat rantai untuk mengajak kembali keluarga dan kerabatnya demi mendpatkan posisi dengan tingkat prestise yang tinggi dan keuntungan ekonomi serta politik sehingga lingkaran ini akan terjadi secara terus menerus.Â
Jejaring kekeluargaan inilah yang nantinya akan mempengaruhi orientasi politik seseorang yang nantinya akan melahirkan politik dinasti.Â
Jalinan kekeluargaan politik yang terbentuk nantinya akan dijaga secara benar oleh mereka agar jabatan tersebut hanya dipegang oleh keluarga mereka sebagai tanda tidak ada penguasa selain mereka. Cikal bakal politik dinasti inilah yang akan diijaga dengan baik oleh mereka sehingga mampu melahirkan politik dinasti yang memperlihatkan orientasi lingkaran keluarga mereka dengan mengatasnamakan suatu institusi dan jabatan formal.
Menarik apabila kita melihat politik dinasti melalui indikator manajemen partai politik. Sekiranya terdapat 4 indikator manajemen politik dari 10 indikator yang berkaitan dengan politik dinasti, diantaranya ialah Rekrutmen anggota, dimana utama rekrutmen politik merupakan salah satu fungsi partai politik yang juga menyangkut manajemen partai politik modern, dimana rekrutmen politik ini bisa dikatakan sebagai fungsi yang paling esensial apabila ingin menguatkan internal organisasi partai politik, mengingat rekruitmen partai politik akan menghasilkan kader-kader dan anggota partai politik yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan daya saling serta elektabilitas yang dimiliki oleh partai politik itu sendiri.Â
Proses yang dilalui dalam rekruitmen partai politik tersebut akan terus bersinergi pada penciptaan kader yang berintegritas, memiliki wawasan luas, bersih, dan memiliki kapabilitas tinggi.Â
Asumsi dasar mengenai rekrutmen politik ini juga diungkapkan oleh Siavelis&Morgenstern (2008), dimana rekrutmen politik dapat didefinisikan sebagai cara calon kandidat tertarik untuk bersaing demi mendapatkan jabatan politik dengan calon kandidat terpilih dipilih melalui pemilihan antara kumpulan calon potensial (Rusnaedy, Fatma, & Faris, 2021).Â
Selanjutrnya terkait dengan kualitas anggota partai politik yang kemudian bersinambungan dengan rekrutmen anggota partai politik.Â
Kita bisa melihat bahwa anggota partai politik merupakan aspek yang sangat penting dalam menjalankan manajemen partai politik modern, untuk menciptakan kemajuan dalam partai politik sekiranya perlu ada upaya dari anggota- anggota yang direkrut, dimana kualitas anggota partai politik sendiri harus mengedepankan kualifikasi serta integritas yang dimiliki oleh anggota partai politik.Â
Manajemen partai politik selanjutnya yang terpengaruh ialah kelembagaan partai politik, dimana Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa institusionalisasi politik menurut Huntington (2004: 16) merupakan kemampuan organisasi partai dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar (Purwaningsih & Subekti, 2017).Â
Randall dan Svasand (2002: 143) kemudian mengungkapkan kembali aspek institusionalisasi partai politik yang terdiri dari 4 macam diantaranya ialah 1) derajat sistem yang terkait dengan pola rekrutmen yang sesuai prosedur AD/ART; 2) derajat identitas nilai, dimana partai politik memiliki ideologi yang mencirikan dirinya; 3) derajat otonomi, dimana partai politik diuji kemandiriannya untuj mengambil keputusan tanpa banyak intervensi dari aktor luar seperti pemerintah, pegusaha, dan masyarakat; 4) Citra publik, dimana gambaran umum mengenai partai politik di mata masyarakat. Indikator terakhir yang terdampak dari politik dinasti ialah demokrasi intra partai politik yang mana dikemukakan oleh Morgenstern dan Siavelis (2008:12-17) bahwa demokrasi intrapartai mencakup kelembagaan dan keuangan partai , inklusivitas, dan desentralisasi (Purwaningsih & Subekti, 2017).
Kita bisa melihat contoh politik dinasti di Indonesia melalui kasus dinasti di Banten, yang bisa kita lihat melalui peta politik dinasti keluarga Ratu Atut Chosiyah selaku mantan Gubernur Banten. Politik Dinasti di Banten diawali oleh Tuan Besar Tubagus Chasan Sochib merupakan petinggi Golkar yang statusnya sebagai pengusaha dengana memiliki jabatan Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia 9Kadin) Provinsi Banten, Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI), serta pimpinan beberapa asosiasi serta lembaga besar di Indonesia yang juga menjadi tokih penting dalam pembangunan sarana prasarana di Banten (Agustino, 2010).Â
Pengaruh besar dari ayahnya ini membuat Ratu Atut selaku putrinya maju pada tingkat politik lokal dengan menjabat sebagai Wakil Gubernur Banten di tahun 2002-2005, lalu kembali mencalonkan dirinya menjadi Gubernur Banten dengan diusung oleh Golkar di tahun 2006 dan berhasil menjadi gubernur.Â
Setelahnya di tahun 2011, Ratu Atut mencalonkan diri kembali untuk menjadi Gubernur dan berhasil memperoleh jabatannya sehingga aia berhasil menjadi gubernur 2 periode meskipun ditengah jalan Ratu Atut terkena kasus korupsi. Suami Ratu Atut sendiri, Alm. Hikmat Tomet juga merupakan seorang politisi Golkar yang menjabat sebaga Ketua DPD Golkar Provinsi Banten di tahun 2009-2014.Â
Selain suaminya, anak dan menantu Ratu Atut juga berkarier di kancah politik, yakni anak pertamanya Andika Hazrumy yang menjabat sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022, Istri dari Andika yaitu Adde Rosi Khoerunnisa juga terjun ke ranah politik sebagai anggota DPR RI Fraksi Golkar periode 2019-2024. Anak
Keduanya yakni Andiara Aprilia Hikmar juga telah menjabat sebagai anggota DPD selama dua periode yakni mulai dari 2014 dengan masa akhir jabatannya di tahun 2024. Suami dari Andiara juga merupakan politisi Golkar yang menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang sejak tahun 2016 dan di tahun 2020, ia maju kembali sebagai calon wakil bupati ang berhasil memenangi pemilihan.Â
Adik iparnya yakni Airin Rachmi Diany juga menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan selama dua periode, yang mana ia merupakan istri dari adik Ratu Atut yakni Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan, yang sebelumnya ditangkap KPK dalam OTT Oktober 2013. Adik dari Ratu Atut, Ratu Tatu juga pernah menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Banten yang mengantikan suami ratu Atut dan pada saat ini, di Pilkada 2020 Ratu Tatu berhasil menjadi Bupatii Serang.Â
Saudara tiri Ratu Atut, Ratu Ria Maryana juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Serang dan mnjabat sebagai Ketua DPD Golkar Kota Serang dan Ratu Lilis yang menjadi mantan ketua DPD Golkar Kota Serang yang ditangkap Korupsi sebesar 19 miliar di Lebak. Keponakan Ratu Atiut, Pilar Saga Ichsan juga turut mewatnai dinasti dari kelluarga ratu Atut dengan mencalonkan diri di Pilkada 2020 lalu menjadi Calon Wali Kota Tangerang Selatan yang berhasil memenangkan suara (Kabar24.bisnis, 2020).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat perluasan kekuasaan yang dimiliki oleh Ratu Atut dan keluarganya. Tak jarang juga anggota keluarganya yang terjun di dunia politik terjerat kasus korupsi. Hal ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan, mengapa kandidat-kandidat yang telah terjerat masalah korupsi dan dinasti ini masih tetap dipilih masyarakat? Dan pertanyaan utamanya ialah mengapa partai politik yang bersangkutan (Golkar) masih tetap mererkrut anggota partai yang demikian bermasalahnya?
Hal yang demikian menjadi tujuan rekrutmen politik berbeda apabila kita hadapkan dengan contoh permasalahan kasus politik dinasti di dalam keluarga Ratu Atut.Â
Tentunya hal in memperlihatkan bagaimana buruknya pola rekrutmen politik di Indonesia itu berlangsung yang juga berpengaruh terhadap indikator manajemen partai politik lainnya yakni kualitas anggota partai. Hal ini bisa dikatakan demikian karena perilaku Golkar mengusung kembali calon-calon yang berasal dari lingkaaran politik dinasti tersebut menunjukkan bahwa adanya kepentingan penguasaan sumber daya (modal) yang dimiliki oleh keluarga Ratu Atut yang tentunya diperlukan oleh partai politik, dan hal ini juga sejalan denga napa yang dikemukakan oleh Agustino (2010) bahwa Golkar membangun dinasti politiknya dengan pembangunan dinasti ekonomi melalui kekuasaan politik. Hal ini juga beriringan dengan temuan Harris (2006: 54) bahwa partai politik memiliki kecenderungan untuk mencalonkan kandidat yang memiliki modal (Fitriyah, 2020).Â
Bagaimana bisa segelintir orang dengan track record dinasti keluarganya dalam politik rata-rata terjerat kasus korupsi dan ditahan oleh KPK kemudian masih terus bergilir keturunan- keturunannya oleh partai yang sama dan bahkan diperluas kembali kekuasaannya dengan Modus Operandi melaui mekanisme pemilu atas kehendak masyarakat?Â
Tentunya ini menjadi masalah bagi rekruitmen politik di Golkar karena tidak mampu menghasilkan kandidat dengan kualitas serta kapabilitas yang mumpuni dalam melakukan kepemimpinan dengan Golkar yang merekrut kandidatnya berdasarkan dengan kekuatan modal yang dimiliki dibandingkan dengan kemampuan serta kapasitas yang dimiliki oleh calon. Dari sinilah pola pragmatism partai politik muncul.
Tentu politik dinasti yang dibangun oleh kerajaan Ratu Atut di dalam Partai Golkar tersebut amat sangat melukai demokrasi, dimana bentuk pengawasan dalam suatu partai politik menjadi lemah dan tak dapat kita nampikkan bahwa kelahiran oligarki akan lebih mungkin untuk muncul. Fenomena yang telah dijabarkan ini juga menunjukkan bahwa terdapat kepentingan pragmatis dari partai Golkar selaku partai politik dalam merekrut serta mencalonkan kandidat-kandidat politik, mengingat modal serta popularitas dari keluarga ratu Atut tersebut juga mampu menaikkan citra Golkar.Â
Golkar dengan lingkaran Ratu Atut didalamnya, terlihat jelas bahwa adanya relasi timbal balik yang terjadi antara Golkar selaku Partai Politik dan kerajaan dinasti ratu Atut didalamnya, dimana terjadi pertukaran benefit dari keluarga Ratu Atut selaku pengusaha dan memberikan modal dengan Golkar melalui praktik balas budi melalui kekuasaan. Hal ini juga sejalan dengan temuan banyak ahli kontemporer dimana pengusaha kemudian masuk menjadi lingkaran elit kekuasaan dari partai politik atau penguasa yang kemudian diberikan bantuan finansial serta dukungan politik (Azhar, 2012).Â
Hal ini berarti bahwa Golkar juga gagal dalam menerapkan manajemen partai politik modern yakni Kelembagaan (Institusionalisasi) serta Keanggotaan Partai Politik. Kita bisa melihat bahwa sumbangsih yang diberikan oleh keluarga Ratu Atut terhadap golkar sangatlah besar sehingga Golkar masih memiliki ketergantungan terhadap elit luar partai politik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pola rekrutmen Golkar yang cenderung melahirkan kepemimpinan Oligarki tersebut juga disebabkan oleh bagaimana sifat rekrutmen yang dianut oleh Partai Golkar. Perlu kita ketahui bahwa pola rekrutmen terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana dikembangkan oleh Rahat (2007) bahwa sistem rekrutmen yang dimiliki di dalam partai Indonesia ialah sistem terbuka (inklusif) dan sistem tertutup (sentralisasi) (Rusnaedy, Fatma, & Faris, 2021).Â
Kedua sistem ini akan menjawab pertanyaan, dimana bentuk rekrutmen inklusif akan menjawab pertanyaan seberapa terbuka penyeleksian anggota partai politik, dan pola tertutup akan menjawab sebagaimana terpusatnya rekrutmen anggota politik tersebut. Kita perlu mengetahui bahwa saat ini pola rekrutmen partai politik di Indonesia masih bersifat tertutup dengan keputusan yang berada di tingkat pusat. Hal ini juga berlaku bagi Golkar, dimana sifat rekrutmen yang dimiliki ialah semi-terbuka dengan bentuk pengambilan keputusan berada di bawah DPP (Fitriyah, 2020). Tentunya ini jjuga menjadi salah satu faktor utama mengapa dinasti politik Ratu Atut terus terjadi hingga Pilkada 2020.
Tertutup dan terpusatnya pengambilan keputusan saat rekrutmen partai politik juga mampu mencederai indikator manajemen partai politik modern lainnya yakni demokrasi intra partai politik.Â
Ketiga aspek yang sebelumnya disebut mengenai demokrasi intra partai politik yakni imklusivitas, kelembagaan, dan desentralisais amat sangat tidak mencerminkan pola rekrutmen yang dilakukan di Golkar. Pola patronase didalam rekrutmen tertutup juga diperlihatkan dari kasus dinasti Ratu Atut.Â
Keterlibatan anggota partai politik lain juga dibutuhkan dalam memperoleh keputusan akhir. Hal ini juga sejalan dengan studi yang dikembangkan oleh Norris& Lovenduski (1995) bahwa rekrutmen tertutup akan mencederai demokrasi internal partai politik akibat berpotensi bersifat elitis serta tertutup disini berarti hal ini sudah mengarah kepada calon politik yang berasal dari keluarga dinasti.
Sejatinya, partai politik sebagai elemen utama demokrasi harus menerapkan manajemen partai politik modern untuk segera menciptakan demokratisasi didalamnya.Â
Fenomena politik dinasti seperti ini mencederai perkembangan partai politik yang seharusnya bersikap demokratis menjadi elitis sehingga kemudian banyak hal yang perlu dibenahi dari partai politik di Indonesia. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki setiap orang harus dibatasi, sejalan dengan hal ini, adagium terkenal Power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely menjadi gambaran sederhana dari kasus dinasti oleh ratu Atut dan keluarganya. Dengan demikian, diperlukan kembali perbaikan rekrutmen serta demokrasi internal partai politik melalui regenerasi keanggotaan serta pendidikan bagi anggota partai politik. Menghindari politik dinasti di Indonesia merupakan hal yang sulit, maka dari itu permasalahan dinasti partai politik di Indonesia setidaknya tidak akan begitu mencederai demokrqasi apabila kandidat yang diusung juga memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H