Selain pembukaan kran terhadap pembentukan partai politik yang mulai muncul secara sporadic untuk senantiasa mengikuti pemilihan umum, pembaruan yang terjadi di era reformasi ini juga bisa kita lihat juga pada perluasan demokrasi yakni mulai munculnya desentralisasi pemerintahan dengan membuka ruang seluas-luasnya melalui pemilihan umum secara langsung bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah, baik di provinsi, kabupaten/kota. Hingga merambah ke ranah desa melalui calon yang diusung oleh partai politik (Halim & Hakim, 2020).Â
Tentunya hal ini membawa dampak baik bagi kemajuan demokrasi di Indonesia dengan mulai membagikan kewenangan di setiap daerah sehingga ketimpangan kekuasaan atau sentralisasi seperti apa yang telah ada di era orde baru tidak terulang kembali.
Namun, perlu kita ketahui bahwa di era reformasi ini selain munculnya perubahan positif, fenomena politik lain justru muncul banyak yang ke arah negative.Â
Seperti apa yang diungkapkan oleh Agustino (2010), demokratisasi selalu berwujud ganda, dimana perubahan yang terjadi selalu menunjukkan adanya perbaikan nyata daripada yang telah terjadi sebelumnya, tetapi ada kelompok berkuasa lainnya yang senantiasa memanfaatkan perubahan tersebut untuk kepentingan diri dan kelompoknya (Agustino, 2010).Â
Hal ini bisa kita lihat melalui partai kerajaan Orde Baru yakni Golkar, nama partai tersebut masih mengepakkan sayap kekuasaannya di era reformasi yang tak kunjung selesai dari adanya permasalahan, mulai dari politik dinasti hingga korupsi. Hasil riset Nagara Institute menunjukkan bahwa pada pemilihan kepala daerah 2020, Partai Golkar menjadi partai pengusung politik dinasti terbanyak (republika.co.id, 2020). Sekaligus diantaranya, Partai Golkar menempati posisi ketiga sebagai partai terkorup di Indonesia (Kompas.com, 2022).Â
Kedua bukti tersebut sejalan denga napa yang dikemukakan kembali oleh Agustino (2010) bahwa Golkar mengincar dinasti politiknya dengan pembangunan dinasti ekonomi melalui kekuasaan politik (Agustino, 2010).
Politik dinasti bukan lagi hal yang baru di Indonesia. Politik dinasti merupakan tindakan yang dapat didasari dari pemikiran familisme, dimana dengan mengutip pendapat Garzon, Djati (2013) menyebutkan bahwa familisme merupakan suatu budaya politik dengan tingkat depedensi yang besar terhadap ikatan keluarga atau kekerabatan yang kemudian menjadikan pihak dengan hubungan kekerabatan yang kuat diberikan kedudukan yang tinggi (Sukri, 2020).Â
Politik dinasti merupakan hal yang berbahaya dan menjadi penyakit bagi demokrasi akibat fenomena politik dinasti ini memunculkan keterbatasan bagi partisipasi masyarakat akibat hubungan kekerabatan dalam kontestasi politik sehingga jabatan diisi oleh segelintir elit yang masih memiliki hubungan kekeluargaan serta sumber daya finansial yang kuat, memiliki popularitas yang tentunys lebih mudah untuk memobilisasi massa.Â
Modal popularitas merupakan modal yang menguntungkan bagi calon politik dinasti, dan apabila dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan, nama keluarga yang dimiliki oleh calon politik dinasti mampu menjadikan branding bagi mereka yang tentunya menjadikan mereka mudah untuk dipilih (Fitriyah, 2020) Pelanggengan kekuasaan melalui tindak politik dinasti dari kekeluargaan ini mampu menjadikan pihak yang melakukan politik dinasti ini menjadi penguasa yang mengontrol dan berwenang penuh di dalam semua hal.
Keluarga sebagai institusi sosial dianggap krusial untuk mengetahui orientasi politik seseorang di tahap awal dan seterusnya yang nantinya berusaha untuk memenuhi kembali tuntutan dari keluarga tersebut.Â
Melalui orang terdekat, proses rekrutmen akan dirasa lebih mudah apabila kita mengetahui seluk beluk serta orang terdekat didalamnya, yang nantinya akan membuat rantai untuk mengajak kembali keluarga dan kerabatnya demi mendpatkan posisi dengan tingkat prestise yang tinggi dan keuntungan ekonomi serta politik sehingga lingkaran ini akan terjadi secara terus menerus.Â