Mohon tunggu...
Tarsih Ekaputra
Tarsih Ekaputra Mohon Tunggu... Konsultan - PR Consultant & Komporis Bela Negara

Seorang yang selalu ingin belajar, saat ini sebagai Pemimpin Redaksi belaindonesiaku.id dan juga sebagai seorang Trainer untuk Public Relations, Seorang PR Consultant dan mengelola gerakan sosial Ayo BelaIndonesiaku dan Cangkrukan Bela Negara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan featured

Peristiwa Demokrasi dan Komunikasi Publik Ugal-ugalan

9 Juni 2019   03:14 Diperbarui: 3 November 2019   00:46 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengulang pertanyaan seorang sahabat, Apakah polah ugal-ugalan ada dalam ilmu komunikasi, khususnya yang terkait ranah publik? Jika ada, apakah yang membuat hal itu bisa terjadi serta apa solusinya? Benarkan efek komunikasi publik seperti teori peluru, tajam dan berdampak ke audiensnya seketika?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, agar lebih menarik daripada sekedar paparan teori, coba saya sampaikan dengan menyodorkan berbagai hal yang terjadi dalam kekinian kita. Selalu kita terima melalui ragam media, mulai dari media elektronik, media online dan yang paling populis saat ini adalah medsos.

Contoh paling dekat dan anyar adalah pemandangan proses demokrasi kita yang konon dihiasi dengan ragam info kecurangan namun itu ditampik oleh pihak penyelenggara.

Bagaimana ratusan petugas pemilu yang meninggal dan ribuan yang sakit tanpa ada penjelasan resmi dan terperinci dari pemerintah? Bagaimana hasil pemilu yang secara tegas tidak diterima oleh pihak 02 namun diapresiasi oleh Pihak 01 yang dinyatakan menang oleh KPU.

Peristiwa 21-22 mei 2019 yang begitu banyak menyimpan fakta yang tak dikuak secara gamblang di depan publik Indonesia. Dan disusul dengan jalur konstitusional yang ditempuh oleh pihak 02 di Mahkamah Konstitusi.

Tentu sepakat, hal-hal tadi masih belum secara terang dapat diungkap oleh pihak berwenang dalam hal ini pemerintah. Bahkan ada kesan yang dirasakan oleh sebagian publik ditutup-tutupi.

Melihat peristiwa-demi peristiwa tersebut kemudian bagaimana komunikan publik dalam hal ini para pejabat pemerintah maupun dari aparat hukum serta para komunikan publik di luar lingkar pemerintahan berkomunikasi ke publik melalui medium-medium yang ada tampaknya justru kesimpangiuran yang kita dapatkan.

Jika mengacu pada komunikasi sebelum pilpres hingga paska 21-22 mei, secara pribadi yang saya tangkap adalah kesimpangsiuran. Dan tentu gaduh komunikasi atau bisa kita sebut komunikasi yang ugal-ugalan tersebut Alih-alih mempersatukan warga sebagai komunikan yang baru melewati masa-masa terpanas kiita, melainkan justru semakin mempertebal jarak pemisah antarpublik di Indonesia.

Saya jadi teringat sebuah catatan yang menyatakan bahwa Ketika publik gusar atas intranparansi komunikasi para komunikan public yang muncul justru gelombang penolakan/demo ada dimana-mana. Dan ini kita bisa lihat paska pemilu 17 April lalu hingga sekarang.

Bagaimana kita melihat masyarakat di berbagai kota melakukan aksi untuk pembentukan tim pencari fakta atas kematian para petugas pemilu yang mencapai lebih dari 500 orang dan bahkan Demokrasi kita ini dianggap berubah sebagai tragedi. Bahkan ada yang menyebut sebagai pesta demokrasi terburuk sepanjang sejarah republik ini.

Oke kita coba ambil contoh satu dari rentetan peristiwa yang ada, yakni kasus 21-22 Mei 2019. Dari sisi komunikan publik yang berwenang atas masalah ini beberapa kali menegaskan bahwa dalang dibalik peristiwa 21-22 mei tersebut sudah diketahui. Bahkan beberapa kali baik pihak pemerintah maupun kepolisian mencoba menyajikan ragam informasi terkait peristiwa tersebut. Apa yang kita dapat dari suguhan ragam informasi baik bersifat klarifikasi maupun penjelasan atas peristiwa tersebut?

Sebagian publik atau bahkan media melihat masih belum ada kejelasan fakta dari apa yang disajikan pihak kepolisian maupun pemerintah. Fakta yang diungkap melalui ragam media terkait peristiwa 21-22 mei tersebut begitu deras melalui saluran media yang bersifat pribadi, whatsapp secara khusus dan socmed.

Memang sedikit media mainstream yang secara gamblang mengangkat permasalahan-permasalahan seperti penganiayaan yang dilakukan aparat, perlakuan represif aparat keamanan, soal peluru tajam yang ada di peristiwa 21-22 mei, tidak adanya klarifikasi resmi dari pemerintah tingkat atas terkait jumlah korban meninggal, luka dan bahkan hilang yang ada dalam peristiwa 21-22 Mei. Dan bahkan saat dari Pemprov DKI merelease jumlah korban pada 21-22 Mei justru tak sedikit yang menyerang Gubernur DKI.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Narasi yang dibangun paska peristiwa ini dari sisi media justru pertarungan elit politik dan sangat minim yang mengangkat korban-korban pada peristiwa 21-22 mei 2019. Mungkin hanya Tempo Edisi 03-09 Juni 2019 yang mencoba membuka permasalahan 21-22 Mei ini dengan tajuk utama Rusuh Oleh Siapa.

Arif Zulkifli selaku Pemred Tempo di CNN Indonesia 8 Juni 2019 menjelaskan bahwa kepolisian dan intelijen menemukan keterlibatan para purnawirawan namun seberapa jauh keterlibatan itu masih butuh kejelasan lebih jauh. Arif menjelaskan juga apa yang disampaikan media itu adalah semacam warning atau lampu kuning jika hal tersebut tidak diikuti dengan penegakan hukum hanya akan jadi sebatas syak wasangka saja.

Baiklah kembali pada 21-22 Mei, viral di media ada penganiayaan yang begitu sadis dilakukan aparat keamanan di depan sebuah masjid. Kemudian Polisi selaku komunikan publik merelease pengakuan orang yang di aniaya untuk menjelaskan bahwa yang dianiaya itu bukanlah nama yang viral di media tersebut. Namun disisi lain banyak media yang menyuguhkan fakta berbeda dengan apa yang disampaikan polisi.

Kemudian saat polisi merelease senjata yang digunakan perusuh dengan menunjukkan senjata tersebut di depan awak media. Hal itupun mendapat tanggapan yang berbeda dari para Purnawirawan TNI yang sangat tahu akan senjata dan menyatakan bahwa senjata yang diperlihatkan tersebut adalah senjata baru bukan yang konon diselundupkan.

Tentu banyak sekali pekerjaan rumah dari komunikator publik dari pemerintah kita juga dari aparat kepolisian untuk menjawab perbedaan data dan fakta yang ada. Dan kita sebagai warga negara tentu harus menagih hutang pengungkapan kasus 21-22 mei ini yang konon pemerintah sudah mengantongi siapa dalangnya.

Tentu kita berharap apa yang dilakukan dan disajikan oleh para komunikator publik selaku representasi dari pemerintah ini disajikan secara tertib, jelas, rinci, jujur dan adil. Dan untuk hal tersebut tentu bukan hal yang terlalu mengada-ada untuk dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta yang berisi oleh orang-orang yang independen.

Karena ketidak tertiban komunikasi publik ini bahkan dapat menular secara destruktif. Dalam contoh lain di negeri kita sendiri, hingar bingar berkepanjangan pada Oktober 2017 lalu juga banyak disumbangkan komunikator ugal-ugalan. Dan tentu paska 21-22 Mei juga tak jauh berbeda. Bagaimana komunikan publik dengan mudah berbicara tak cermat dengan konten irelevan di ruang publik, enggan mengkoreksi saat konten direspon komunikan, tapi akhirnya memohon maaf ketika kerusakan nyata terjadi (the damage has been done). Begitu terus.

Di era post truth ini, ada dua patokan terutama bagi pejabat publik saat melakukan komunikasi pemerintahan di ruang publik. Pertama, sebagaimana hipotesa Frederickson H. George (Komunikasi Pemerintahan: 2016), berkomunikasilah dengan bertumpu pada pilar komunikasi pemerintahan yakni partisipatif, akuntabilitas, ketanggapan, dan transparansi.

Dari empat pilar itu, paling penting adalah partisipatif yaitu publik dirangsang memberi respon komunikasi sehingga kontrol sosial berjalan sendirinya serta akuntabilitas memiliki titik tekan semua komunikasi berdasar data dan informasi yang jujur dan penuh tanggungjawab.

Belajar dari apa yang dilakukan TRUM pada saat awal memimpin jelas tak membuka ruang kontrol sosial karena selalu membela diri dan menyerang pada rakyatnya yang kritis, sekaligus berbicara kebijakan pada dasar data yang lemah, kental subyektivitas, dan tak berdasar.

Tentu apa yang terjadi di kekuasaan trum jangan sampai terjadi di negeri tercinta kita Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun