Oke kita coba ambil contoh satu dari rentetan peristiwa yang ada, yakni kasus 21-22 Mei 2019. Dari sisi komunikan publik yang berwenang atas masalah ini beberapa kali menegaskan bahwa dalang dibalik peristiwa 21-22 mei tersebut sudah diketahui. Bahkan beberapa kali baik pihak pemerintah maupun kepolisian mencoba menyajikan ragam informasi terkait peristiwa tersebut. Apa yang kita dapat dari suguhan ragam informasi baik bersifat klarifikasi maupun penjelasan atas peristiwa tersebut?
Sebagian publik atau bahkan media melihat masih belum ada kejelasan fakta dari apa yang disajikan pihak kepolisian maupun pemerintah. Fakta yang diungkap melalui ragam media terkait peristiwa 21-22 mei tersebut begitu deras melalui saluran media yang bersifat pribadi, whatsapp secara khusus dan socmed.
Memang sedikit media mainstream yang secara gamblang mengangkat permasalahan-permasalahan seperti penganiayaan yang dilakukan aparat, perlakuan represif aparat keamanan, soal peluru tajam yang ada di peristiwa 21-22 mei, tidak adanya klarifikasi resmi dari pemerintah tingkat atas terkait jumlah korban meninggal, luka dan bahkan hilang yang ada dalam peristiwa 21-22 Mei. Dan bahkan saat dari Pemprov DKI merelease jumlah korban pada 21-22 Mei justru tak sedikit yang menyerang Gubernur DKI.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Narasi yang dibangun paska peristiwa ini dari sisi media justru pertarungan elit politik dan sangat minim yang mengangkat korban-korban pada peristiwa 21-22 mei 2019. Mungkin hanya Tempo Edisi 03-09 Juni 2019 yang mencoba membuka permasalahan 21-22 Mei ini dengan tajuk utama Rusuh Oleh Siapa.
Arif Zulkifli selaku Pemred Tempo di CNN Indonesia 8 Juni 2019 menjelaskan bahwa kepolisian dan intelijen menemukan keterlibatan para purnawirawan namun seberapa jauh keterlibatan itu masih butuh kejelasan lebih jauh. Arif menjelaskan juga apa yang disampaikan media itu adalah semacam warning atau lampu kuning jika hal tersebut tidak diikuti dengan penegakan hukum hanya akan jadi sebatas syak wasangka saja.
Baiklah kembali pada 21-22 Mei, viral di media ada penganiayaan yang begitu sadis dilakukan aparat keamanan di depan sebuah masjid. Kemudian Polisi selaku komunikan publik merelease pengakuan orang yang di aniaya untuk menjelaskan bahwa yang dianiaya itu bukanlah nama yang viral di media tersebut. Namun disisi lain banyak media yang menyuguhkan fakta berbeda dengan apa yang disampaikan polisi.
Kemudian saat polisi merelease senjata yang digunakan perusuh dengan menunjukkan senjata tersebut di depan awak media. Hal itupun mendapat tanggapan yang berbeda dari para Purnawirawan TNI yang sangat tahu akan senjata dan menyatakan bahwa senjata yang diperlihatkan tersebut adalah senjata baru bukan yang konon diselundupkan.
Tentu banyak sekali pekerjaan rumah dari komunikator publik dari pemerintah kita juga dari aparat kepolisian untuk menjawab perbedaan data dan fakta yang ada. Dan kita sebagai warga negara tentu harus menagih hutang pengungkapan kasus 21-22 mei ini yang konon pemerintah sudah mengantongi siapa dalangnya.
Tentu kita berharap apa yang dilakukan dan disajikan oleh para komunikator publik selaku representasi dari pemerintah ini disajikan secara tertib, jelas, rinci, jujur dan adil. Dan untuk hal tersebut tentu bukan hal yang terlalu mengada-ada untuk dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta yang berisi oleh orang-orang yang independen.
Karena ketidak tertiban komunikasi publik ini bahkan dapat menular secara destruktif. Dalam contoh lain di negeri kita sendiri, hingar bingar berkepanjangan pada Oktober 2017 lalu juga banyak disumbangkan komunikator ugal-ugalan. Dan tentu paska 21-22 Mei juga tak jauh berbeda. Bagaimana komunikan publik dengan mudah berbicara tak cermat dengan konten irelevan di ruang publik, enggan mengkoreksi saat konten direspon komunikan, tapi akhirnya memohon maaf ketika kerusakan nyata terjadi (the damage has been done). Begitu terus.