Beragam model dan cara unik rakyat Indonesia memperingati HUT ke-76 Kemerdekaan RI, tepatnya pada 17 Agustus 2021 kemarin. Sebagian orang ada yang terasa sangat haru, gembira, bahkan ada pula yang pura-pura sedih dan tak peduli.
Mereka yang terharu karena pikirannya nelangsa saat mengenang kembali perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan darah dan nyawanya untuk Indonesia.
Tidak sanggup mereka bayangkan seandainya hingga sekarang ini rakyat Indonesia masih dibawah penjajahan kolonialis Belanda, Sekutu, dan Jepang termasuk juga Portugis yang ingin menikmati kekayaan negeri ini.
Kesedihan mereka semakin memuncak manakala bait-bait lagu kebangsaan menggema seantero tanah air pada waktu yang bersamaan. Seakan ikut larut dalam kisah Bung Karno dan Hatta membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia 76 tahun lalu.
Air mata haru tak terbendung, embun-embun air mata membasahi wajah-wajah lusuh yang mencoba menghargai jasa orang-orang terdahulu yang rela berkorban demi generasi bangsa, anak cucu mereka saat ini.
Dalam butiran air mata yang terjatuh dari sudut bola matanya seakan ada pesan ingin disampaikan. Namun mereka tidak tahu kepada siapakah berita itu hendak dipersembahkan.
Gejolak di dalam batin kian bergemuruh, 76 tahun usia Indonesia tetapi negeri ini masih saja dibalut selimut kemiskinan dan kebodohan, pengangguran, dan korupsi yang merajalela.
Ada perasaan terluka yang menganga saat melihat wajah negeri ini yang dipenuhi dengan gubuk-gubuk reok, pengemis jalanan, dan nyanyian memelas rakyat kecil yang tidak berdaya.
Padahal negeri ini adalah sebongkah tanah surga yang diberkati dengan begitu banyak pundi-pundi, tidak hanya di laut, darat, bahkan di dalam perut bumi tersimpan kekayaan yang melimpah.
Ironisnya penduduk negeri hidup dalam kelaparan dan keterbelakangan, sulit mencari pekerjaan, dan kemiskinan yang menyakitkan. Ada apa dengan negara ini? Seketika mulai muncul pertanyaan-pertanyaan.
Sambil terus mengikuti bait-bait selanjutnya, lagu kebangsaan yang heroik itu terus dilantunkan. Namun perlahan air mata mulai kering, kata demi kata mulai terasa hambar dan tak bermakna.
Pekikan merdeka seolah hanya sebuah drama yang diparodikan oleh aktor-aktor protogonis dalam upacara HUT ke-76 Kemerdekaan RI.
Tidak terlihat di wajah mereka rasa malu dengan kekuasaan yang disalahgunakan. Tidak ada perasaan bersalah karena politik yang terlanjur dilacurkan, dan selangkah lagi negeri ini akan berganti nama.
Mereka berdiri tegak seperti merekalah pahlawan itu. Sorotan tajam kepalsuan yang ditutupi dengan kebohongan-kebohongan. Namun rakyat diujung sana dapat dengan jelas membuka tabir itu.
Mereka bukanlah pejuang itu, mereka bukan pula tangan-tangan yang menabur kesejahteraan untuk rakyat. Mereka justru vampir yang mengisap darah rakyat, namun bertopeng kan malaikat.
Tembang kemerdekaan bagi mereka hanyalah sebuah nyanyian tanpa makna, tanpa perlu dihiraukan. Indonesia Raya tidak lebih sebagai kamuflase semata.
Lelaki paruh baya itu terus mengumandangkan lagu kebangsaan dengan tubuh yang mulai gemetar. Gemetar menahan gejolak dan amarah yang tidak dapat tertumpah.
Pikirannya lagi-lagi menerawang jauh ke puncak Monas. Tugu bersejarah itu kini terdiam menyaksikan rumah-rumah kumuh yang tak jauh dari istana.
Dia mulai teringat kabar yang disampaikan oleh tetangganya soal panen jenazah dan rekor kuburan dilindas Covid-19 di seantero negeri. Tak perduli di Jakarta hingga ke Papua jenazah bergelimpangan karena diterjang peluru.
Inikah Indonesia tumpah darah itu? Inikah yang dimaksud ibu pertiwi tumpah darah Indonesia? Lelaki yang khusuk mengikuti upacara itu terdiam dalam keputusasaan diri.
Seperti ada rasa penyesalan dalam hati, ada sesuatu yang menyesaki dadanya. Mengapa aku terlahir di tengah-tengah bangsa yang tidak mampu mensyukuri? Mengapa penguasa negeri tidak lagi mencintai rakyatnya?
Tak sadar tiba-tiba tangannya yang dijunjung menghormati sang saka Merah Putih perlahan mulai terkulai, jatuh seiring tubuhnya yang mulai kelelahan.
Dalam hatinya bergumam, ini hanyalah sebuah seremonial belaka. Upacara ini bukan untuk dirinya tetapi bagi mereka yang mabuk kuasa. Pekikan lagu kebangsaan tak lebih hanya sebuah nyanyian tanpa makna.
Lelaki paruh baya itu pun kembali ke rumah nya dengan linangan air mata. Ia memanjat doa agar anak cucunya tidak dimurka karena keangkuhan dan kesombongan dalam berkuasa.
Dirgahayu Republik Indonesia, Jadilah negeri yang sebagaimana diharapkan oleh pendiri bangsa. Lantunkan lagu Indonesia Raya dengan segenap aksi nyata dalam bekerja, bijaksana dalam berkuasa, dan kekayaan hanyalah untuk kemakmuran rakyat semata. Semoga...! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H