Sambil terus mengikuti bait-bait selanjutnya, lagu kebangsaan yang heroik itu terus dilantunkan. Namun perlahan air mata mulai kering, kata demi kata mulai terasa hambar dan tak bermakna.
Pekikan merdeka seolah hanya sebuah drama yang diparodikan oleh aktor-aktor protogonis dalam upacara HUT ke-76 Kemerdekaan RI.
Tidak terlihat di wajah mereka rasa malu dengan kekuasaan yang disalahgunakan. Tidak ada perasaan bersalah karena politik yang terlanjur dilacurkan, dan selangkah lagi negeri ini akan berganti nama.
Mereka berdiri tegak seperti merekalah pahlawan itu. Sorotan tajam kepalsuan yang ditutupi dengan kebohongan-kebohongan. Namun rakyat diujung sana dapat dengan jelas membuka tabir itu.
Mereka bukanlah pejuang itu, mereka bukan pula tangan-tangan yang menabur kesejahteraan untuk rakyat. Mereka justru vampir yang mengisap darah rakyat, namun bertopeng kan malaikat.
Tembang kemerdekaan bagi mereka hanyalah sebuah nyanyian tanpa makna, tanpa perlu dihiraukan. Indonesia Raya tidak lebih sebagai kamuflase semata.
Lelaki paruh baya itu terus mengumandangkan lagu kebangsaan dengan tubuh yang mulai gemetar. Gemetar menahan gejolak dan amarah yang tidak dapat tertumpah.
Pikirannya lagi-lagi menerawang jauh ke puncak Monas. Tugu bersejarah itu kini terdiam menyaksikan rumah-rumah kumuh yang tak jauh dari istana.
Dia mulai teringat kabar yang disampaikan oleh tetangganya soal panen jenazah dan rekor kuburan dilindas Covid-19 di seantero negeri. Tak perduli di Jakarta hingga ke Papua jenazah bergelimpangan karena diterjang peluru.
Inikah Indonesia tumpah darah itu? Inikah yang dimaksud ibu pertiwi tumpah darah Indonesia? Lelaki yang khusuk mengikuti upacara itu terdiam dalam keputusasaan diri.
Seperti ada rasa penyesalan dalam hati, ada sesuatu yang menyesaki dadanya. Mengapa aku terlahir di tengah-tengah bangsa yang tidak mampu mensyukuri? Mengapa penguasa negeri tidak lagi mencintai rakyatnya?