"Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat", HR. Bukhari, 631).
Ada Ada Saja (AAS)! Metode ganjil genap (gage) tidak hanya diterapkan di jalan-jalan protokol ibukota Jakarta untuk mengurai kemacetan.
Kini model gage itu pun diadopsi oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) diberlakukan pada salat Jumat di masjid.
Pelaksanaan shalat Jumat model baru yang diperkenalkan dengan membagikan shift atau shalat berjamaah dua gelombang.
Konon menurut penggagasnya untuk mengikuti protokol kesehatan Covid-19 meskipun "melawan" protokol ibadah shalat berjamaah yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
Apa urgensinya
Dari informasi yang beredar di media massa baik cetak maupun elektronik, Dewan Masjid Indonesia (DMI) telah mengeluarkan surat edaran mengenai tata cara shalat Jumat yang dibuat dua gelombang dengan aturan ganjil-genap yang didasarkan pada nomor ponsel.
Surat edaran yang dikeluarkan pada tahun lalu itu kini mencuat dan menghebohkan jagad maya dan menjadi topik hangat pembicaraan umat Islam Indonesia karena dianggap tidak lazim.
Sejenak orang akan berpikir apa subtansi dan kepentingan menerapkan shalat Jumat berjamaah model seperti itu.
Apa dikira ini jalanan kota Jakarta?
Kalau aturan diluar ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah, dalam Islam diperbolehkan untuk dilakukan penyesuaian.
Namun untuk urusan shalat tidak boleh sembarang.
Melakukan shalat ada tuntunannya sebagimana diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Diluar dari apa yang telah digariskan atau mengada-ada, maka haram melakukannya walaupun itu dipandang perbuatan baik.
Aturan membagi shift seperti ganjil-genap itu bentuk kesesatan berpikir dalam mempraktikkan ibadah shalat Jumat.
Itu tidak ada dasar Nash (ayat Alquran) maupun hadits.
Dengan kata lain tidak ada dalilnya.
Sesuatu yang tidak diatur dalam Alquran dan hadist, maka tidak boleh diada-adakan fatwa atau pemikiran dengan alasan fiqih modern.
Sekali lagi shalat aturannya sudah cukup jelas dan terang benderang.
Jika alasannya demi protokol kesehatan, sungguh sangat naif karena hukum mengikuti protokol kesehatan itu mubah bukan wajib.
Namun bila perkara itu untuk menjaga kesehatan dan melindungi diri dan orang lain dari potensi terkena penyakit, maka yang menjadi wajib adalah menjaga diri dan kesehatan diri, dan itu tidak mesti dengan protkes.
Jadi jangan dipertentangkan aturan Prokes Covid-19 itu dengan aturan shalat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kita heran dengan kemajuan berpikir ulama-ulama Indonesia yang agak sekuler.
Kelihatannya memandang urusan dunia itu lebih penting dan mengesampingkan urusan akhirat.
Untuk urusan shalat berjamaah model jaga jarak hingga satu meter itu pun sebenarnya tidak layak dilaksanakan oleh umat Islam.
Itu sebuah kekeliruan kalau menurut Ustadz Ikhsan Tanjung.
Tidak ada dasar hukum yang kuat dan syar'i.
Tapi ya sudahlah! Karena mengikuti keinginan penguasa (pemerintah) agar umat Islam merubah ibadahnya sendiri akhirnya jadi begini.
Tapi jangan lagi diteruskan dengan model yang aneh-aneh lain lagi seperti ganjil-genap nomer HP atau tanggal lahir.
Bagaimana bisa PPKM dapat mereduksi aturan Rasulullah mengenai ibadah salat berjamaah khususnya shalat Jumat. Secara hirarki mana sih lebih tinggi derajatnya?
Tadinya kita sangat berharap agar DMI menjadi garda terdepan untuk membawa umat Islam ke jalan yang lurus. Mengadvokasi umat dari ancaman sekulerisme dan komunisme.
Nyatanya DMI justru larut dalam euforia model baju ibadah shalat berjamaah dan terbawa arus gelombang pemikiran kaum liberalis. Sungguh sangat mengkuatirkan.
Lagi pula sejauh ini belum ada bukti konkrit atau ditemukannya masjid sebagai cluster penyebaran Covid-19.
Belum ada, dan mestinya kita percaya bahwa rumah Allah akan terlindungi dari hal-hal demikian.
Kita tidak mengatakan bahwa virus itu tidak ada. Kita tidak menafikan ribuan korban yang sudah meninggal barangkali ada hubungannya dengan covid.
Tetapi sejumlah hasil penelitian juga menunjukkan bahwa korban yang meninggal penyebab utama adalah karena penyakit bawaan yang dideritanya.
Lantas, mengapa memaksa diri untuk takut sekali? Toh ganjil genap itu juga tidak teruji dan tidak membuktikan apa-apa.
Yang ada hanyalah merusak tatanan ibadah shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah yang mestinya kita ikut dan istiqamah.
Akan lebih baik bila takut ke masjid kemudian silakan shalat sendirian di rumah masing-masing.
Artinya tidak perlu mengubah tata cara shalat yang tidak ada tuntunannya.
Apalagi menutup masjid.
Semoga DMI sadar jika SE nya itu telah meresahkan kaum muslimin. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H