Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Pilpres 2019, Kesesatan Politik Politisi Indonesia

4 Februari 2019   08:50 Diperbarui: 4 Februari 2019   09:21 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase Jokowi dan Prabowo Subianto (pendidikanpositif.com)

Pergesaran diskursus politik pada pilpres 2019 kian melebar. Subtansi politik kini tidak lagi mengikuti ilmu politik yang diajarkan oleh ilmuan politik. 

Konseptual politik bukan lagi menjadi dasar pemikiran para politisi Indonesia. Fenomena ini termasuk gejala baru model berpolitik di Indonesia yang mulai terjadi pada pilpres 2019.

Menurut Roger F.  Soltou ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu, hubungan antara negara dengan warga negara, hubungan antara negara dengan negara lain. 

Jadi berdasarkan pandangan Soltou berpolitik seyogyanya dekat dengan diskursus kenegaraan.

Namun mengapa politisi Indonesia terutama capres enggan berbicara tentang negara dan bangsa? Bahkan ketika salah satu kubu menawarkan bicara tentang negara dan bangsa, tetapi kubu yang lain menarik diri? 

Ironinya kubu tersebut lebih suka berbicara hal-hal diluar konteks politik berdasarkan ilmu politik? Apakah politisi Indonesia tersesat?

Apabila kita berkaca pada literasi politik yang banyak dipelajari oleh mereka yang mendalami ilmu politik, kesesatan politik itu dapat terjadi ketika orang-orang tidak paham tentang ilmu politik. 

Sehingga prilaku mereka cendrung tidak sejalan dengan esensi politik sebagai suatu kemampuan untuk berpikir tentang konsep negara, kekuasan, dan kebangsaan.

Pada tataran politik praktis distorsi politik juga berpotensi terjadi. Dalam bahasa sederhana mungkin bisa dikatakan 'lain yang dikatakan, dan lain pula dilakukan,' dan itulah sikap yang sekarang ini melekat pada capres kita yang sedang bersaing pada pilpres 2019. 

Misalnya pemerintah mengajak masyarakat agar bersuka ria menyambut pesta demokrasi, tidak boleh bersikap intoleran dengan yang tidak sama pilihan.

Tetapi pada kenyataannya, petahana yang notabene pelaksana pemerintahan justru selalu mengulang-ulang kalimat yang memicu ketegangan dikalangan masyarakat. Sehingga memancing sikap intoleran kelompok tertentu. 

Termasuk yang paling anyar adalah pernyataan Wali Kota Semarang [pendukung Jokowi] meminta masyarakat yang tidak mendukung Jokowi untuk tidak menggunakan tol yang dibangun pemerintah. Bukankah ini pernyataan sesat seorang pejabat publik?

Gejala politik seperti itu harus sudah dihentikan. Kita harus kembali kepada khitoh politik kebangsaan. Dimana yang menjadi perhatian utamanya adalah memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, aktif menjaga perdamaian dunia, membela hak-hak negara tertindas, dan membawa negara ini kepada negeri yang 'baldatun toyyibatun warabbul ghafur.'

Wacana capres dan politisi Indonesia haruslah berbasis ideologi besar NKRI. Mengelaborasi pemikiran-pemikiran dasar dan besar demi memajukan Indonesia sampai satu abad kedepan tentu lebih elegan dan terhormat daripada mereka bicara tentang apa pekerjaan mereka di masa lalu, keturunannya, bahkan mengeksploitasi keluarga untuk kepentingan politik sesaat.

Kita sangat sepakat apabila tradisi politik dalam setiap pemilu selalu diisi dengan konten-konten yang mencerdaskan. Sehingga narasi yang dibangun memiliki argumentasi yang kuat. 

Argumentasi yang logis, sahih, dan berkualitas. Bukan sekedar alibi atau menambatkannya pada cara pandang yang keliru. Dalam konteks inilah pemilu akan bermakna, karena siapapun yang terpilih berarti memang sudah teruji.

Oleh karena itu sekarang mari kita bicara tentang ekonomi negara, keuangan global, pembangunan manusia Indonesia, yuk kita bedah sistim hukum yang berkeadilan, mari pikirkan strategi menghilang korupsi di negara ini. 

Dengan begitu, generasi muda dan rakyat akan merasa bahwa politik, pemilu, berarti hajatan penting bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara.

Kita harus membuka cakrawala publik dengan informasi yang berbobot. Bukan sebaliknya, politisi menyajikan pentas drama keluarga yang bikin baper dan menghilangkan nalar. Itu bukan politik, tetapi badut politik. 

Bagaimana badut politik? Mereka dihadirkan untuk menghibur penonton dan yang membayar dengan berlindung dibalik baju "kebesarannya". Badut tampil bukan seperti karakter asli pemainnya. Badut politik juga begitu, mereka berpolitik berdasarkan pesanan.

Bila mencermati kondisi terkini tentang dinamika politik, patut kita sedih dan risau. Pasalnya, pilpres terlihat mulai bergerak kepada perpecahan bangsa. Mungkin hal terjadi secara perlahan. 

Yang tanpa disadari suatu saat akan terakumulasi menjadi sebuah pemicu kehancuran bangsa Indonesia. Siapa yang menghancurkan? Bangsa kita sendiri.

Kehancuran negara bisa dimulai dari kehancuran konsolidasi politik dan demokrasi pada tingkat elit. Konsolidasi yang dimaksud adalah adanya komitmen bersama yang kuat dalam mengawal politik yang didasari pada ilmu politik, dan mengawal demokrasi yang sehat, adil, dan saling menghormati serta penuh toleransi.

Konsolidasi politik dan demokrasi akan terwujud mana kala para elit bersedia menempatkan kepentingan negara dan bangsa jauh lebih penting daripada memperturutkan hawa nafsu kekuasaan dan ngotot mempertahankan kekuasaan oleh segelintir kelompok atau golongan.

Bahkan Arkand Bodhana Zeshaprajna, Doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat yang sudah belasan tahun mempelajari metafisika memprediksi Indonesia akan hancur di tahun 2020 jika tak segera berganti menjadi Nusantara. Menurut Arkand, gejala kehancuran Indonesia bisa dirasakan di tahun ini dan tahun depan.

Pun demikian, apa yang dikatakan Arkand hanyalah sebuah prediksi. Artinya bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Dan tentu saja kita harus percaya dan yakin pada niat baik pendiri bangsa terdahulu. Bahwa negara ini akan tetap berdiri kokoh sampai selamanya.

Akan tetapi memiliki keyakinan saja tidaklah cukup. Kita perlu juga bahkan penting untuk menjaga komitmen tersebut dalam tindakan nyata. 

Dan tanggung jawab paling utama ada pada pundak politisi dan pemegang kedaulatan rakyat. Mengapa? Karena merekalah yang meminta kekuasaan dari rakyat untuk mengawal negara ini.

Oleh sebab itu pada poin terakhir dari tulisan sederhana ini adalah, hentikan politik sesat dengan narasi yang menyesatkan. Tumbuhkan pemikiran tentang negara, bangsa, dan masa depan negeri ini dalam setiap wacana dan diskursus yang dibangun. 

Kita bicara tentang kepentingan 300 juta orang, bukan perihal tentang keluarga saudara, bisnis keluarga saudara, bukan pula siapa saudara. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun